Oleh Dwi Pranoto

Setelah jadwal pertemuan dengan Bupati Jember terus mengalami penundaan, pertemuan di pendopo sore itu sungguh melegakan hati. Sebagai orang yang ditunjuk sebagai salah satu anggota Tim Caretaker Dewan Kesenian Kabupaten Jember (DKKJ), meskipun keputusan penetapannya ditandatangani Kepala Dinas Pariwisata, yang salah satu tugasnya adalah membenahi DKKJ secara kelembagaan, pertemuan dengan Bupati menjadi pintu penting untuk memaparkan konsep kelembagaan baru DKKJ kepada pengambil kebijakan utama Pemerintahan Kabupaten. Selain itu, pertemuan dengan Bupati juga diharapkan dapat melepangkan jalan untuk mewujudkan pembenahan DKKJ, dari konsep menjadi lembaga aktual.

Sepanjang malam sebelum hari pertemuan, ia membayangkan bagaimana pertemuannya dengan Bupati nanti akan berlangsung. Ia menduga-duga pertanyaan apa saja yang mungkin akan diajukan Bupati dan bagaimana ia akan menjelaskannya.

Di salah satu ruangan pendopo yang terang ia mendapati dirinya berjabat tangan dengan Bupati. Dengan seulas senyum yang ramah di wajah yang putih bersih, Pak Bupati menggenggam erat tangan si anggota Tim Caretaker sambil mengajukan beberapa pertanyaan perkenalan. Selepas itu mereka duduk berhadapan dan si anggota Tim Caretaker mulai membuka paparannya dengan melaporkan tugas apa saja yang telah diselesaikan oleh Tim Caretaker. Pak Bupati dengan penuh perhatian mendengarkan paparan si anggota Tim Caretaker sampai akhirnya ia memotongnya dengan satu pertanyaan pendek yang tidak diduga-duga oleh si anggota Tim Caretaker.

Bapak Bupati (BB)                               : Apa itu seni?

Anggota Tim Caretaker (ATC) : E . . . Produk artistik yang diciptakan oleh seniman, Pak.

BB          : Yang aku maksud itu bukan hanya benda seni. Tapi bagaimana seni itu diciptakan atau diproduksi dan apa fungsinya?

ATC       : Seni itu diciptakan oleh seniman dengan mengimajinasikan suatu inspirasi yang mendatanginya. Karena seni itu keindahan, fungsi seni itu untuk mengasah kepekaan akan rasa keindahan dan untuk hiburan.

BB          : Bagaimana misalnya jika seniman tidak kunjung didatangi inspirasi? Apakah ia kemudian tidak dapat menciptakan seni?

ATC       : Jika betul-betul seniman tidak mungkin ia tidak mendapat inspirasi, Pak. Seniman itu individu yang punya kepekaan akan keindahan yang merupakan bakat bawaan. Ia berbeda dengan orang pada umumnya. Inspirasi keindahan mendatangi seniman bukan orang biasa. Jika seorang seniman buntu, atau tidak mendapat inspirasi, berarti ada yang tidak beres pada dirinya. Salah satu ciri khas kehidupan seniman adalah bebas, tanpa kebebasan seorang seniman akan sulit mendapat inspirasi. Jadi seniman yang tidak kunjung mendapat inspirasi adalah seniman yang kehilangan kebebasan.

BB          : Lalu untuk apa seniman membutuhkan lembaga seni tersendiri, Dewan Kesenian? Bukankah organisasi, suatu lembaga, memiliki aturan-aturan yang harus dipatuhi? Bukankah aturan-aturan yang harus dipatuhi itu berarti belenggu bagi kebebasan?

ATC       : Betul, Pak. Tetapi Dewan Kesenian tidak mengatur metode penciptaan. Itu wilayah seniman. Dewan Kesenian lebih mengatur bagaimana produk seni diterima khalayak, meningkatkan apresiasi khalayak terhadap produk seni. Ini berkaitan dengan kesejahteraan seniman.

BB          : Apakah itu berarti Dewan Kesenian membantu menciptakan pasar bagi produk seni yang diciptakan seniman?

ATC       : Betul, Pak. Tapi tidak hanya itu. Karena secara kualitatif produk seni dan seniman di Jember ini tidak mungkin difasilitasi, maka Dewan Kesenian harus menetapkan suatu mekanisme penyeleksian yang didasarkan kepentingan yang lebih luas, yakni identitas daerah. Dalam konteks ini produk-produk seni yang difasilitasi oleh Dewan Kesenian adalah produk-produk seni yang dapat memicu kebanggan kedaerahan atau yang dapat diolah secara naratif sebagai kebanggaan daerah. Artinya, kesenian-kesenian yang mempunyai akar di dalam masyarakat. Kesenian yang dapat merefleksikan masyarakatnya. Dengan cara seperti ini kebutuhan pasar dan kepentingan ideologis dapat berjalan seiring. Teladan pengelolaan seni yang baik adalah Banyuwangi, Pak. Banyuwangi mengelola kesenian dengan didasarkan pada akar sejarah sosial budaya daerahnya. Nah, kita dapat menggali sejarah sosial budaya kita sendiri untuk menjadi landasan pengembangan kesenian Jember. Menggali narasi sejarah yang membanggakan atau dapat ditafsirkan sebagai kebanggaan daerah.

BB          : Kalau begitu kita tidak butuh Dewan Kesenian, Mas. Gak DKJ-DKJ-an.

ATC       : Kenapa, Pak?

BB          :  Pengelolaan seni semacam itu sudah menjadi wilayah Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten.

ATC       : Tugas Dewan Kesenian tentu membantu Disparbud untuk memperluas wilayah pengelolaan dan memperkuat narasi ideologisnya, Pak.

BB          : Maksudnya bagaimana?

ATC       : Kita dapat menggali narasi-narasi kecil yang tersebar di pedesaan dan/atau menafsirkan bentuk-bentuk tradisi atau ritual yang ada di wilayah-wilayah pedesaan untuk dikembangkan sebagai landasan penciptaan seni; dapat dengan memperkuat narasi atau tradisi yang sudah ada atau menciptakan konstruksi seni populer baru berdasarkan narasi atau tradisi yang sudah ada sehingga masyarakat mudah mengidentifikasikan diri dengan mengacu pada elemen-elemen dalam konstruksi seni tersebut. Konstruksi seni semacam ini dapat diselenggarakan secara in situ atau dapat berupa pagelaran di tempat lain, semisal gedung pertunjukan. Selain itu, dapat dikonstruksi secara kolektif, melibatkan anggota-anggota masyarakat dalam penciptaannya atau diciptakan oleh kelompok seniman atau secara individual. Hal paling penting lagi, model penciptaan seni semacam ini berdasarkan teori mutakhir hari ini, Pak. Teori seni yang mungkin tidak dikenal oleh Disparbud. Teorinya Bourdieu tetang anti-estetik dan teori budayanya Homi K. Bhabha. 

BB          : Apa yang dibilang Bourdieu tetantang estetik?

ATC       : Bourdieu menghapus estetik, Pak. Penghapusan estetik mengimplikasikan penghapusan pemilahan antara seni tinggi dan seni rendah. Seni apapun mempunyai nilai yang sama, sebab penghapusan estetik berarti meniadakan landasan evaluasinya. Dengan demikian, seni dapat dimiliki siapapun dan penciptaan seni dapat dilakukan oleh siapapun.

BB          : Kenapa Bourdieu menghapus esetetik?

ATC       : Sebab estetik dibikin oleh kelas menengah, yakni kaum intelektual, yang tidak sadar dengan posisi dirinya di dalam struktur sosial masyarakat. Konsep dan pengetahuan estetik dibikin untuk menyokong kebudayaan kaum elit, kebudayaan kelompok penguasa. Pada konteks ini kaum intelektual berperan sebagai bantalan atau bumper kaum elit dengan menyokong kebudayaan yang menjadi kondisi untuk berlakunya kekuasaan kaum elit.

BB          : Bagaimana dengan teori kebudayaannya Homi Bhabha?

ATC       : Bagi Homi Bhabha, pandangan kebudayaan kita hari ini dibentuk oleh sejarah kita dalam mengalami kolonialisme selama selama bertahun-tahun. Pengalaman kolonialisme itu membuat kita tercerabut dari akar kebudayaan kita sendiri. Oleh karena itu kita harus menggali kebudayaan kita sendiri dan menemukan jatidiri kebudayaan kita yang asli.

BB          : Jadi menurutmu orientasi Dewan Kesenian adalah kesenian rakyat; yakni kesenian yang digali dari kebudayaan masyarakat kita sendiri sehingga masyarakat bukan hanya dapat mengidentifikasikan dirinya dan terlibat pada kesenian tersebut, pun sekaligus masyarakat dapat menjadi pasar?

ATC       : Persis, Pak. Pasar dalam konteks ini bukan hanya masalah bagaimana mengubah produk seni menjadi produk ekonomi. Pasar di sini juga berkait dengan pasar politik; bagaimana melalui produk seni kita dapat membentuk persepsi masyarakat mengenai pelayanan budaya pemerintah. Kalau kita tidak melakukan, wilayah pelayanan budaya ini akan dimanfaatkan pihak oposisi, Pak.

BB          : Kalau begitu kita gak perlu DKJ, Mas. Gak DKJ-DKJ-an!

ATC       : . . . . . . . . . . . . . . . . . .

BB          : Katanya DKJ “tidak mengatur metode penciptaan”, sebab dalam mencipta seniman membutuhkan inspirasi yang hanya dapat diperoleh seniman jika seniman dalam keadaan bebas. Betul, DKJ tidak mengatur metode penciptaan secara langsung, tetapi DKJ menentukan bagaimana seni diorientasikan yang pada gilirannya juga mengatur metode penciptaan. Seni diorientasikan untuk dapat menyesuaikan diri dengan pasar dan sekaligus dapat melayani suatu ideologi atau kepentingan politik identitas tertentu. Dengan cara seperti ini DKJ berarti menciptakan suatu mekanisme untuk mengeluarkan dan memasukan seni pada ruang pengelolaannya. Persoalannya bukan pada mekanisme mengeluarkan dan memasukan, karena ini tidak terhindarkan, tapi atas dasar apa mekanisme mengeluarkan dan memasukan itu ditetapkan. Jika didasarkan pada pasar dan politik identitas, artinya DKJ tidak mengelola seni, tapi mengelola kepentingan ekonomi dan kepentingan politik tertentu. Artinya, DKJ tidak dapat merumuskan wilayah tugas kerjanya secara spesifik, secara khas. Apa bedanya DKJ dengan Disparbud yang berupaya memonetisasi produk-produk budaya, termasuk kesenian, atas nama pariwisata dan mengidentifikasi produk-produk budaya dalam kerangka pelestarian dan narasi kedaerahan? Apa bedanya DKJ dengan Dinas Pendidikan yang wilayah tugas kebudayaannya mencakup pelestarian, formalisasi/kodefikasi untuk kepentingan regeneratif, dan menarasikannya untuk kepentingan ketahanan budaya? Untuk apa membentuk DKJ untuk kepentingan pasar dan politik identitas?

ATC       : Tapi DKJ memperluas wilayah pengelolaan seni yang menjadi domain Disparbud dan Dinas Pendidikan, Pak.

BB          : Perluasan pengelolaan kesenian yang kamu maksud itu didasarkan pada Bourdieu dan Bhabha. Mari kita bahas satu-satu. Anti-estetik Bourdieu mengimplikasikan hapusnya pemilahan hirarkis antara seni tinggi dan seni rendah untuk menciptakan kesetaraan seni atau demokratisasi seni. Rumusan anti-estetik Bourdieu itu diasalkan pada kaum intelektual, sebagai anggota kelas menengah, yang tidak menyadari posisinya. Pertama-tama kamu harus tahu bahwa konsep kelas dalam Bourdieu ini perlu dimaknai dalam struktur sosial dalam masyarakat kapitalis yang kelas utamanya adalah borjuasi dan proletarian. Kelas menengah berada di antara kelas utama itu dan mempunyai sifat ambivalen, artinya punya kecenderungan untuk berafiliasi baik dengan borjuasi maupun dengan proletarian. Jika kemudian konsep estetik itu dihasilkan oleh ketaksadaran kaum intelektual karena menjadi bantalan kelas borjuis, ini jelas keliru karena kelas intelektual sebagai anggota kelas menengah, atau borjusi kecil, kadangkala pendulum posisionalnya memang bergerak ke kelas borjuasi. Tapi ini bukan poinnya. Permasalahannya adalah apakah “pengetahuan” estetik itu dihasilkan oleh ketaksadaran akan posisi diri? Estetik di dalam dirinya sendiri itu adalah perkara sensibilitas (kepekaan pemerasaan), suatu fakultas yang mestinya dimiliki setiap manusia, tak peduli kelas sosialnya. Mengapa kelas jelatah dianggap tidak punya kepekaan estetik? Sebab kelas jelatah dipaksa untuk hanya berpikir memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan tidak boleh memikirkan di luar kebutuhan hidupnya sendiri. Jika kemudian produk kesenian kelas jelatah yang dihasilkan dalam kondisi semacam itu diapresiasi sebagai suatu seni yang pantas atas nama kesetaraan atau demokrasi, maka kamu membenarkan penindasan yang dialami kelas jelatah itu. Kamu juga memproduksi pengetahuan kesetaraan sebagai pengetahuan ilusif, karena kesetaraan tidak pernah boleh dianggap sebagai semua sama. Kesetaraan atau demokrasi adalah suatu gerak terus-menerus untuk memisahkan antara akal manusia/logos dari hasrat binatang/ochlos (hanya memikirkan kebutuhannya sendiri). Estetik, sebagai sensibilitas yang dimiliki setiap orang, sesungguhnya adalah tenaga pembebasan itu sendiri. Aku akan bikin gampang: orang yang hidup di rumah bobrok di lingkungan kumuh berbeda dengan orang yang hidup di rumah bagus di lingkungan yang juga bagus. Jika kamu katakan sama saja, maka kamu mengekalkan atau membenarkan adanya kehidupan dalam rumah bobrok di lingkungan kumuh. Bukankah seharusnya setiap orang berhak untuk hidup di rumah yang layak (rumah yang bagus di lingkungan yang bagus)?

Perluasan yang kamu pikirkan melalui Bourdieu, dengan menghapus pemilahan seni tinggi dan seni rendah pada dasarnya adalah perluasan ilusif. Perluasan seni sesungguhnya mestinya sama dengan pembebasan, menggerakan setiap orang untuk merasa dan berpikir melampaui posisi sosialnya dalam masyarakat kapitalis.

ATC       : Homi Bhabha?

BB          : Kamu menyelewengkan pemikiran Homi Bhabha. Pemikiran budaya pasca-kolonial Bhabha tidak bernada heroik seperti yang kamu artikulasikan. Pemikiran budaya pasca-kolonial berakait erat dengan konsep “ruang ketiga” di mana batas-batas antar kebudayaan meleleh, ciri-ciri kebudayaan terbaurkan dan menembus perbedaan-perbedaannya yang melahirkan identitas hybrid kebudayaan. Jika kamu menggali kebudayaan atau kesenian untuk menyingkapkan originalitasnya – apa yang kamu sebut menemukan akar budaya – dengan demikian mengasumsikan adanya keberadaan budaya asli/murni yang khas, maka kamu justru menggunakan tatapan eksotisme dan tatapan multikulturalisme yang dibentuk oleh kolonialisme dan post-kolonialisme. Kebudayaan atau tradisi yang dianggap warisan lelulur semestinya dibaca dengan menyingkapkan arsip kolonial dan pasca-kolonial yang bersamayam di dalamnya agar kebudayaan dapat memiliki hidup baru yang aktual. Ini berarti, kita harus mengkritisi diri kita sendiri, menyadari bahwa cara pandang kita terhadap kebudayaan kita sendiri dipengaruhi oleh tumpukan arsip kolonial di dalam diri kita. Mengenyahkan ketaksadaran berarti menantang motif resistensi dan glorifikasi yang tak pantas dalam memandang kebudayaan kita sendiri sebagai yang khas, unik, dan murni.

ATC       : Terus, bagaimana nasib DKJ, Pak?

BB          : Konsep kamu untuk pembentukan DKJ tumpang tindih dengan pengelolaan seni oleh lembaga-lembaga yang sudah ada, yakni Disparbud dan Dinas Pendidikan. Untuk apa dibentuk, kalau DKJ tidak dapat menetapkan wilayah dan arah pengelolaan seni sendiri. Apa lagi kamu dengan kurang ajarnya hendak mengarahkan DKJ sebagai lembaga yang akan diarahkan untuk mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap pemerintah melalui kesenian. Mas, pemerintahanku ini bukan rezim politik tontonan!

Hangat cahaya matahari sore yang menerobos kamar melalui jendela kaca yang tak tertirai membuatku terbangun. Aku teringat, sepekan lalu surat pengunduran diriku sebagai anggota Tim Caretaker sudah aku kirimkan ke Kepala Disparbud. Aku sudah bukan anggota Tim Caretaker DKKJ hari ini. Namun, yang terus-menerus membuatku penasaran adalah, apakah konsep tata kelola DKKJ sudah terinformasi secara tepat kepada pihak Pemerintah? Apakah draft Peraturan Bupati tentang DKKJ yang ditawarkan Tim Caretaker sudah dibaca dan dipahami oleh Pemerintah Kabupaten? Apakah laporan hasil Focus Group Discussion mengenai Tata Kelola DKKJ dan rekomendasinya sudah dibaca dan dipahami oleh Pemerintah Kabupaten? Selama berbulan-bulan Tim Caretaker tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk menyampaikan pikirannya kepada Pemerintah Kabupaten.

Aku duduk di pinggiran kasur dan bergumam sendiri: “Ah, andai saja Bupati Jember punya wawasan yang luas tentang seni dan budaya seperti sosok Bupati yang aku temui di mimpi tadi . . . pastilah Pemerintah Kabupaten bukan rezim politik tontonan. Bukan saja DKKJ akan punya kesempatan terbentuk dan terkelola dengan konsep yang layak. Lebih dari itu, Jember pasti sudah rampung menyusun Pokok-Pokok Pikiran Kebudayaan yang diamanatkan dalam Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan No.5 Tahun 2017. Jember pasti sudah menyelesaikan Rancangan Detil Tata Ruang yang sudah bertahun-tahun terpendam”. Sekarang, apa yang aku perlukan hanya mandi, membersihkan diri dari mimpi lancung.

Unduh laporan FGD

Surat Pengunduran Diri


Dwi Pranoto, Kritikus Seni asal Jember