“Sebentar lagi aku berangkat ke rumahmu, kau sudah berjanji menyiapkan semuanya!” Hitler menutup telepon saat aku menjawab dering yang kira-kira ke seratus satu kali. Pada panggilan pertamanya, Hitler juga mengatakan hal yang sama. Kata ‘sebentar’ dalam perkataan Hitler sungguh, sungguh membuatku bingung.
Dua menit selanjutnya telepon berdering lagi. “Hitler, Hitler, Hitler, Hitler,” aku menggumamkan namanya seraya meraih telepon.
“Ya, ya. Aku sedang mempersiapkan semuanya. Bisakah kau tidak usah sebentar-sebentar meneleponku, Berengsek?”
“Sayang, ini ibu. Apa keadaanmu baik-baik saja?”
Ternyata ibuku yang menelepon. Suaranya terdengar cemas. Suatu kemungkinan dalam dimensi waktu yang tidak kupikirkan sebelumnya.
“Bayangkanlah, Ibu. Bayangkanlah, sekarang anakmu mengalami flu, tapi dipaksa menulis surat cinta oleh temanku untuk diberikan kepada pacarnya.”
“Apa temanmu itu hendak melamar pacarnya?”
Terdengar suara mesin tank memasuki halaman rumahku.
“Sepertinya dia sudah sampai. Dan, ya, benar, dia akan melamar pacarnya….”
“Martin! Demi alam semesta! Musik apa yang sedang kau dengar?” Hitler berkacak pinggang di hadapan pemutar vinyl yang kuletakkan di meja dekat gantungan baju.
“Di mana perempuan itu?” tanyaku, masih setengah terkejut karena kehadirannya yang begitu tiba-tiba.
“Di luar. Dia menunggu di luar, jadi cepat berikan padaku.”
“Begini, bisakah kau tenang? Aku bahkan belum selesai menulis paragraf pertama ceritaku.”
“Tapi kau sudah berjanji padaku kalau surat itu akan selesai saat aku datang.”
“Kau hanya perlu bersabar sebentar di rumahmu sambil minum vodka. Lagi pula kita bertetangga, aku bisa mengantarnya sendiri kalau sudah beres.”
Hitler mengernyitkan dahinya.
“Kata ‘sebentar’ yang kau maksud benar-benar membuatku bingung!”
“Aku yang harusnya mengatakan itu,” batinku.
“Betapa malangnya pacarku selama dua jam hanya berdiam-diam saja di dalam kamar tanpa agenda yang jelas selain bercinta dan minum vodka. Ginjalnya bisa-bisa pecah karena kebanyakan alkohol.”
“Martin sayang….” Sebuah suara memanggil namaku. Aku dan Hitler sontak menengok ke sumber suara itu; gagang telepon yang menggantung dari tepi meja.
“Ibu, maafkan aku. Nanti kuhubungi lagi. Temanku sangat payah untuk urusan percintaan.”
“Ibu sedang demam. Maukah kau menemani ibu pergi mencari obat? Sepertinya di luar akan sangat berbahaya kalau ibu pergi sendirian.”
“Temanku akan membawakan dokter untukmu, dia seorang kanselir. Tunggulah. Kau tak perlu ke mana-mana. Aku berjanji.”
Kali ini aku memastikan gagang telepon sudah kembali tertutup.
“Mari buat kesepakatan,” kataku. “Bawakan ibuku dokter dan pastikan besok pagi dia sudah sembuh dari demam, dan aku juga akan memastikan surat itu selesai secepat mungkin.”
Hitler diam sebentar, seolah-olah sedang memikirkan hal baru, yang akan disampaikannya.
“Dan pastikan juga musik sialan ini tidak ada lagi,” jawab Hitler. Dia memberi penekanan pada kata ‘tidak ada lagi’.
“Apa yang kau pahami tentang ‘ada’ dan ‘tidak ada’, Kamerad?”
“Pertanyaan bodoh macam apa itu? Tentu saja mati. Kau harus mematikan musik ini saat aku datang lagi. Apakah itu kurang jelas?”
“Tapi musik ini, maksudku si Wladyslaw Szpilman, tetap akan berputar-putar di kepalaku. Artinya sekali pun kau mengubur vinylku di dasar tumpukan mayat orang-orang Yahudi, musik ini akan tetap ada, karena ia terus dan akan tetap ada di kepalaku. Apakah kau ingin aku bunuh diri sekalian?”
“Sebentar, Kamerad Filsuf. Kau sepertinya salah paham. ‘Ada’ dalam pengertianku, adalah sesuatu yang dapat dijangkau dalam sebuah ruang. Untuk membuatnya tidak ‘ada’ lagi, kau hanya perlu melenyapkannya dari ruangan itu.”
“Biar kutambahkan, Kamerad Kanselir. Musik ini sekarang menjalar ke kepalaku, ia tidak terikat lagi dengan ruangan ini.” Aku menunjuk ke arah vinylku, lalu ganti menunjuk lantai ruanganku. “Rumahku yang miskin dan hanya terdiri dari satu kamar ini. Nah, saat aku atau kau keluar dari rumahku, musik ini akan tetap ‘a-d-a’ karena ia mengendap di kepala salah satu dari kita, atau bahkan kita berdua sekaligus.”
Seseorang mengetuk pintu, secara tidak langsung juga telah melerai perdebatan kami. Hitler bergegas membukanya, seolah-olah dia adalah pemilik rumah yang tak sabar mau langsung mengusir tamunya.
“Maafkan aku, Sayang. Kau pasti bosan menunggu di dalam tank.”
Hitler berbicara seraya merapikan mantel perempuan berambut pirang itu. Dari cara berpakaiannya yang sedikit norak, pastilah ia bukan perempuan berpendidikan. Biar kuperjelas kecurigaanku; perempuan mana yang mengenakan high heels saat salju begini?
“Aku tidak bermaksud mengganggu pertengkaran kalian. Aku tahu kalian sedang memperdebatkan sesuatu yang tidak boleh disela. Aku tadi sempat tidak sengaja mendengarnya. Tapi bolehkah aku menunggu di satu tempat selain di dalam tank? Karena para prajurit terus-menerus menelepon sampai ratusan kali dan deringnya itu berisik sekali. Tampaknya mereka mencarimu.” Perempuan itu mengelus kumis Hitler dengan gerakan jari yang nakal, khas perempuan norak.
“Baik, Sayang. Ini tidak akan lama, tunggulah di depan pintu, sebentar saja. Perdebatan ini agak rahasia.” Hitler melirikku. Dari caranya menatapku, aku bisa mengerti; dia ingin aku tidak memberitahukan soal surat cinta itu.
Perempuan itu lantas berjalan ke luar, wajahnya tak menunjukkan kekesalan seperti yang kubayangkan. Ia berjalan tanpa beban bagaikan siap menerima perintah sekejam apa pun.
“Kau lihat perempuan tadi?” tanya Hitler, setelah kali ini memastikan palang pintu terpasang, lalu berjalan ke arahku.
“Perempuan norak tadi? Tentu saja.”
“Dan apakah sekarang kau melihatnya?”
“Dia di luar.”
“Begitulah cara mendefinisikan ‘ada’ dan ‘tidak ada’.” Hitler menatapku dengan sorot tajam. Dia seperti ingin menegaskan bahwa kali ini situasi berpihak padanya. “Kau hanya perlu menyingkirkannya dari ruangan ini.” Hitler membuat tanda-kutip dengan tangannya pada bagian ‘menyingkirkan’, sambil melirik ke arah pemutar vinylku.
“Kamerad, kau terlalu sederhana mendefinisikan ruang. Kepalaku juga ruang, dan kau hampir tidak menyinggung soal keterlibatan ‘waktu’.”
Kali ini wajah Hitler mendadak terkejut. Pikirku dia sudah membayangkan kebenaran dari pernyataanku barusan.
“Kau paham maksudku? Baguslah,” kataku lagi, “waktu akan mengabadikan ‘keber-ada-an’, sebab waktu mengalir dari satu ruang ke ruang lain. Dari satu orang ke orang lain. Ruang hanya jembatan yang memperpanjang perjalanan waktu, dan ada miliaran jembatan di dunia ini yang akan mengabadikan Wladyslaw Szpilman hingga ke masa depan!”
“Aku tidak peduli dengan masa depan!” bentak Hitler, seperti gerak refleks. “Aku hanya tahu masa kini! Waktu tidak memberikanku kendali terhadap apa yang terjadi sesaat lagi. Kenapa aku harus repot-repot memikirkan keabadian dan segala macamnya itu kalau aku bisa membuat perubahan saat ini juga!”
“Aduh-aduh! Pernyataanmu agak tidak konsisten, Kamerad! Kau bilang tidak peduli terhadap masa depan, tapi kau menawarkanku untuk mematikan musik ini setelah mengantar dokter ke ibuku. Apakah ini semacam demi susu dibalas susu, dan mata dibalas mata?”
“Bila mencukil mata dibalas dengan mencukil mata, seluruh dunia akan menjadi buta. Selanjutnya kau pasti akan bertanya, untuk apa perubahan kalau mata orang-orang itu dicukil, bukan?”
Hitler mendesak, dan membuatku menarik langkah sampai menyentuh meja kerjaku.
“Kamerad,” Hitler melanjutkan. “ Dunia ini berubah hanya untuk orang-orang yang mencukil, bukan yang dicukil. Dan aku, tidak keberatan menjadi keduanya asalkan perubahan itu bisa terjadi, asalkan Wladyslaw Szpilman tidak terdengar lagi!”
“Analogimu terlalu berlebihan, Kamerad.”
Aku mendorong dada Hitler menggunakan kedua tanganku.
“Baiklah kalau begitu. Kita cari analogi yang lebih sederhana,” kata Hitler, masih berusaha mendesakku. “Jadi, apakah sebaiknya kita tak perlu membawakan dokter untuk ibumu? Karena kalau terjadi sesuatu yang buruk, katakanlah ibumu mati, dia akan tetap abadi dalam pikiranmu.” Hitler kembali membuat tanda kutip dengan tangannya saat mengatakan ‘abadi’.
“Bisakah kita melanjutkan perdebatan ini nanti saja, Kamerad?” Aku bisa mendengar suaraku sedikit gemetar. Pertama karena perkataan Hitler membuatku terpojok. Kedua aku memang mengkhawatirkan kondisi ibuku kalau benar akan terjadi sesuatu yang buruk.
Hitler menyeringai. Tampak puas. Tanpa berkata-kata lagi dia berjalan menuju pintu. Dari langkahnya yang angkuh, dia seperti ingin memamerkan kemenangannya yang mungkin sama pentingnya dengan kemenangan perang melawan negara fasis paling kejam di dunia.
Saat Hitler membuka pintu, tubuh perempuan–yang norak tadi–yang ternyata sejak tadi bersandar di pintu, jatuh ke belakang. Tubuhnya mengalami kejang-kejang semacam orang yang sedang disengat listrik.
“Dia sepertinya terkena hipotermia. Hitler, pastikan tubuhnya dalam keadaan hangat,” kataku, dan bergegas membuat air panas. Yang kulakukan ini semata-mata agar tidak ada orang mati di rumahku.
“Aku akan memerintahkan para prajurit untuk membawa dokter kemari.”
“Bisakah kau menambah prajurit untuk menjemput ibuku?”
Hitler meraih alamat yang kuberikan dan masuk ke dalam tank untuk menghubungi para prajurit.
Hitler mengambil handuk dari gantungan bajuku, lalu merendamnya ke dalam panci berisi air yang sudah mendidih. Dia tak ragu merendam tangannya untuk memastikan semua bagian dari handuk menyerap panas.
“Kamerad, tanganmu akan melepuh.”
Hitler tak menghiraukan peringatanku. Dia mulai membasuh tubuh perempuan itu mula-mula dari kakinya, perut, hingga leher. Hitler juga memastikan denyut leher pacarnya saat tangannya membasuh ke bagian itu.
Sejam kemudian saat sebuah tank memasuki halaman rumahku, perempuan berambut pirang itu sudah tidak memberikan tanda-tanda kehidupan lagi. Padahal aku belum sempat berkenalan dengannya, selain melalui tatapan sinisku yang, mungkin, membuatnya merasa lebih baik menunggu di depan pintu.
BACA JUGA J-Art Festival, Sepekan untuk Seni dan Seniman Jember
“Dia terkena hipotermia,” kata dokter yang segera melakukan pekerjaannya sembari diawasi prajurit yang datang bersamanya. Sementara Hitler tampak kesulitan menerima kenyataan.
Ketika aku menengok halaman rumahku, hanya ada dua tank–milik Hitler dan milik prajurit–yang terparkir di depan dan nyaris tertutup salju.
“Apakah tidak ada tank lagi yang menyusul bersama kalian?” tanyaku.
Prajurit itu menjelaskan bahwa salah satu tank terkena serangan bom musuh saat menuju ke sini. “Tadinya mereka ada di belakang kami, kemudian terdengar suara ledakan. Kemungkinan mereka tidak akan sampai ke sini.” Cara prajurit itu memberi penjelasan, ketenangannya, seakan-akan apa yang diberitakannya tidak berarti apa-apa.
Tangis Hitler pecah, menandingi suara musik Wladyslaw Szpilman, keduanya menjadi paduan kesedihan. Tanpa diduga-duga, Hitler mengambil gunting operasi dari tas dokter yang memeriksa pacarnya, kemudian nyaris menancapkannya ke lehernya sendiri. Andai saja dokter itu tidak terlambat menghadang gunting itu menggunakan tangannya, malam ini, pasti sudah ada dua mayat terbaring di rumahku.
Teleponku berdering, sesaat setelah pikiranku– tiba-tiba–terlempar ke kenangan masa kecil bersama ibuku.
“Martin,” ibuku memanggil. Aku mendekatkan gagang telepon ke kupingku. “Ibu sudah dapat obat, ibu bahkan menitipkan obat flu untukmu, teman-temanmu sudah membawanya. Sampaikan ucapan terima kasih ibu kepada kanselir itu. Ibu tidak akan mengganggu kalian lagi. Terlebih perkiraan ibu keliru, di luar ternyata tidak berbahaya seperti yang sebelumnya ibu bayangkan. Apakah temanmu masih ada di sana? Mestinya obatmu juga sudah sampai.”
Mulutku terkunci, sekuat pelukan Hitler pada tubuh pacarnya. Aku tak mampu menyemburkan jawaban.
“Martin, kau baik-baik saja?” tanya ibuku, lagi. “Martin? Bisakah kau matikan musik itu sebentar? Ibu tidak bisa mendengar suaramu dengan jelas. Apa kau masih ada di sana?” (*)

Robbyan Abel Ramdhon, aktif menulis cerpen dan bekerja sebagai wartawan. Turut bergiat di Komunitaas Akarpohon Mataram. Robbyan Abel R (Facebook) / @Robbyan.abel (Instagram)