Sumir dan teman lamanya, yang baru datang dari tempat yang sangat jauh, duduk berhadapan di sebuah berugak bambu. Sumir duduk bersila, bersandar di salah satu tiang. Tamunya, Maq Kecubeh, juga duduk bersila dan bersandar di tiang lainnya. Uap tipis melayang naik dari dua gelas kopi yang diletakkan di tengah-tengah mereka—ditatak dengan piring besi yang telak pesuk, karena telah sekian kali dilemparkan dengan sengaja oleh Sumir setiap kali tidak ada sedaq minum tuak.

Di depan berugak terdapat jalan setapak kecil. Dari berugak, mereka dapat melihat dengan leluasa siapa pun yang lewat. Tadi ketika Maq Kecubeh baru sampai, seorang laki-laki berkepala hampir botak lewat dengan memikul empat buah kekelok; semuanya tergantung di belakang. Ia pergi menyadap nira.      

Sejak Sumir pindah dari Lelenggo dan menetap di kampung yang sekarang, baru kali ini Maq Kecubeh mendatanginya. Dulu, puluhan tahun lalu, saat masih tinggal satu kampung, dan rumah mereka hanya dipisahkan sungai, mereka sering saling mendatangi. Sumir akan bercerita tentang kesusahan hidupnya, terutama sekali tentang orang-orang yang tidak membiarkannya hidup tenang, dan Maq Kecubeh akan menyampaikan keluh kesahnya, hingga berujung pada keinginannya untuk pergi dari Lelenggo. Benar saja, suatu hari ia pergi ke tempat yang sangat jauh, bersama seluruh keluarganya.     

Kini, di mata Sumir, Maq Kecubeh telah jauh berubah. Punggungnya sedikit bungkuk dan tubuhnya kurus kering. Tulang menonjol di sana-sini. Urat-urat menjalar di lengannya. Kedua matanya menjorok ke dalam, dan yang paling kentara adalah perubahan warna kulitnya. Hitam keabu-abuan seperti hangus. Rupanya, tempat tinggal barunya adalah tempat yang sangat panas.      

“Saya mutar-mutar tadi, di dekat kali itu saya lolos. Ada empat orang pengangkut kayu yang kasih tahu saya jalan ke sini.” Setelah berhenti sejenak Maq Kecubeh melanjutkan, “Mereka kenal kamu katanya.”     

“Mungkin mereka yang sering datang ke Lelenggo dulu. Kurus-kurus orangnya?”

“Ya, kurus-kurus. Satu yang gemuk, tapi ndak terlalu gemuk, sih.”  

“O, ya benar sudah. Maq Satriadi namanya yang agak gemuk itu.” Kemudian Sumir melayangkan pandangan ke tepian atap; benaknya dikuasai oleh ingatan tentang Maq Satriadi.   

Seekor anjing kurus, berbulu jarang, dan tampak terlalu sering tidur di depan tungku—terlihat dari banyak bulunya yang terbakar—berjalan di halaman. Ekornya bergoyang-goyang, lidahnya terjulur keluar, sudut-sudut matanya dipenuhi kotoran berwarna kuning tua.   

“Anjing yang dulu itu ini?” tanya Maq Kecubeh seraya menunjuk anjing yang tengah celingak-celinguk di tengah halaman. Sumir berbalik. “Yang dulu mana?”          

“Yang gigit Naq Yurta dulu itu.”

Sumir terdiam sebentar, mendongak memandang tepian atap. Awan putih cemerlang bergerak pelan di langit. Ingatannya meloncat dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain. Mencari sosok bernama Naq Yurta yang digigit oleh anjing miliknya. Peristiwa itu terjadi begitu lama, bertahun-tahun lamanya, karena itu ia sedikit susah mengingat. Setelah Maq Kecubeh memantik dengan mengatakan perempuan yang sering datang ke rumah Naq Colaq, baru ia berhasil mengingat. Wajahnya menjadi sumringah, kedua matanya bersinar terang, seolah baru saja menemukan sesuatu yang sangat berharga di balik tumpukan peristiwa remeh-temeh di dalam kepalanya.

“Oh, ya, Naq Yurta, sudah mati dia.” Tanpa sadar, suara Sumir meninggi.   

“Mati? Mati sakit?”

“Perutnya bengkak katanya. Balasan dari Nenek itu. Dulu berapa orang dia bunuh. Termasuk Naq Colaq. Padahal di sana dia tidur makan tiap hari. Yang namanya manusia, ndak bisa salah sedikit, main bunuh, main bunuh, itu dah dia terima balasannya, berat sekali mayatnya katanya.”

BACA JUGA Cerpen Sekongkol

Maq Kecubeh memutar ingatannya, jauh ke belakang. Tampak dengan sangat jelas olehnya, seorang perempuan tua, berkulit keriput, memakai kain lusuh, sangat pudar warnanya, seperti baru saja direndam dalam lumpur, dan baju yang kancing-kancingnya telah tanggal, lewat di jalan depan rumahnya. Telinga perempuan tua itu tidak lagi berfungsi dengan baik. Karenanya, sapaan ramah Maq Kecubeh hampir tidak pernah ia dengar. Kalaupun ia mendengar—atau mungkin mendengar, ia akan memberi jawaban yang sama sekali berbeda. “Dari sana,” katanya, meski sebenarnya ia ditanya “mau ke mana?”

Setiap hari perempuan tua itu datang dari rumahnya, menuju Lelenggo, tepatnya, menuju rumah Naq Colaq, perempuan terkaya di Lelenggo. Terbungkuk-bungkuk, dan ia selalu menyertai langkahnya dengan gerutuan-gerutuan. Ia menggerutukan segala hal. Hanya berhenti ketika ia sampai di rumah Naq Colaq. Di tempat itu, Naq Colaq akan menyuguhkan segelas kopi, kemudian makan, dan beberapa saat setelahnya, sekocor-dua kocor tuak. Maq Kecubeh hanya dua kali menemaninya minum tuak. Saat hujan lebat membuatnya harus diam di rumah Naq Colaq dan menjelang kepergiannya dari Lelenggo—karena seorang lelaki ganas terus-menerus mengancam akan membunuhnya tanpa ada alasan yang benar-benar ia ketahui.  

“Saya ingat, saya merasa diracun aja setiap kali minum tuak sama dia. Semua mantra yang saya tahu saya baca,” kenang Maq Kecubeh. Sumir memandang anjing yang tengah menjilat-jilat kedua kaki depannya. Bulu-bulunya basah dan tertidur.  

“Saya juga takut. Berapa orang sudah dia bunuh. Naq Colaq, Naq Merdip, Maq Merdip, Naq Nukinep, siapa lagi?” Sumir mendongak, memandang tepian atap, dan melanjutkan, “Maq Satriadi yang gemuk epe liat tadi itu, juga pernah hampir mati gara-gara dia, kalau ndak bagus dukun yang obati, dia sudah habis dimakan cacing. Kalau saya ndak pergi mungkin saya sudah mati juga.” Lalu Sumir geleng-geleng kepala. Ia ingat malam kepergiannya dari Lelenggo. Beriringan dengan istrinya, menyusuri jalan setapak yang biasa mereka lewati kalau pergi membeli beras. Istrinya menyunggi bakul berisi piring, gelas, cawan, dan aneka harta benda mereka yang masih berharga. Ia berjalan di belakang, memegang tali kekang seekor kambing.  

“Untung saya pergi, untung sekali, kalau ndak ….” Sumir tidak melanjutkan kata-katanya, dan hanya menggeleng-geleng, berdecak-decak. Jelas sekali dari gerakan kepalanya ia merasa ngeri pada hidup yang pernah ia lalui sebelumnya.

Maq Kecubeh menepuk-nepuk paha. Setelah memandang anjing yang masih menjilat-jilat kedua kaki depannya, ia mengalihkan pandangan ke jalan setapak di depan rumah Sumir. Tidak ada yang lewat. Sebentar kemudian, seekor anjing berekor buntung lewat dengan berlari. Lidahnya yang basah mengilap terjulur keluar. Anjing milik Sumir menggonggong, lalu berlari menyusul. Debu bangkit dan terbang ke selatan. Seolah diberi petunjuk, Maq Kecubeh melihat juga ke selatan dengan sedikit memutar tubuhnya. Di kejauhan, terlihat ujung-ujung bukit, berwarna biru tua.

“Lelenggo itu, ya?” tanya Maq Kecubeh, asal. Hanya ingin berbasa-basi dengan Sumir yang telah lama tidak ia temui.  

“Mana?” Sumir sedikit menunduk, melihat titik yang Maq Kecubeh maksud. “Ya, Lelenggo dah itu,” katanya kemudian.

“Jauh, ya.”

“Jauh. Kalau ke sana dari sini, sakit-sakit kaki kita. Mau ke sana?”

“Ndak. Buat apa. Ndak ada yang saya cari di sana. Katanya ndak ada orang lagi ya di sana?”

“Ndak tahu. Saya juga lama ndak ke sana. Masih mungkin satu-dua.” Suara Sumir sedikit menurun. Seperti binatang tunggangan yang kelelahan karena beban bawaan yang terlalu berat, kata-katanya tertahan di sana-sini.

Yoh Kirsip mana?” tanya Maq Kecubeh. Tidak jelas apa sebab ia membanting pembicaraan. Apakah karena ia mengetahui kata-kata Sumir yang mulai tidak normal, atau sebab lainnya.

Sumir memutar badan, melihat ke rumah beratap daun kelapa dan berdinding anyaman bambu. Itu adalah dapur, tempat istrinya biasa berada jika pagi hari. Namun pintu dapur, yang terbuat dari bilah-bilah bambu dan ditempeli karung semen itu tertutup rapat. Cantelan dari tali nilon terikat di tempat yang semestinya, pertanda pasti bahwa Kirsip, istri Sumir, tidak ada di dalam.

“Ndak tau tadi. Pergi mandi mungkin,” jawab Sumir.

Maq Kecubeh menegakkan badan. Kepala bagian belakangnya dibentur-benturkan pelan ke tiang. Mulutnya sedikit dimonyongkan. Kumisnya yang kaku dan tumbuh tidak rata terlihat dari ujung pandangannya.  

BACA JUGA Momen Ber-parrhesia

“Kirsip sehat?” tanyanya.

Sumir membuang ludah sebelum menjawab. Ludah melayang dari mulutnya, berwarna merah karena mamahan sirih. “Dulu pernah sakit. Sakit sedikit. Tapi ndak ada sakit keras kayak di Lelenggo.”

“Syukur,” kata Maq Kecubeh singkat.

“Naq Kecubeh sehat?” tanya Sumir.

“Kalau saya pindah ke sini dulu mungkin dia masih hidup.”

Sumir tampak terkejut. Urat-urat wajahnya menegang. Ia perbaiki cara duduknya seolah untuk melepas ketegangan yang tiba-tiba ia rasakan.

“Sudah ndak ada?” tanya Sumir, ragu-ragu.

Maq Kecubeh tidak berkata apa-apa. Namun terlihat raut mukanya berubah. Butuh waktu cukup lama sampai ia mampu berkata-kata.   

“Ada yang racun. Dari botol minuman di sawah. Sawah kami luas di sana. Tapi pas sudah berhasil, datang orang mau ambil. Dulu lahan kering, saya yang datang tanami ini-itu. Hidup, hidup,” Maq Kecubeh menoleh ke jalan, seolah takut Sumir menatap wajahnya. Jalan itu lengang. Bahkan debu pun tidak ada yang terlihat berterbangan.

“Di kubur di sana? Terus anak epe di mana sekarang?” tanya Sumir.

“Ya, di kubur di sana. Ndak mungkin mau dibawa ke sini. Tempat saya itu di ujung timur, jauh dekat Gunung Rinjani. Anak saya menikah sama orang sana. Saya pulang ke sini mungkin mau cari tempat tinggal di sini. Di mana-mana sama aja. Kalau memang nasib kita ya mau gimana.” Maq Kecubeh terdiam sesaat, menepuk-nepuk paha, memandang jalan lalu mendongak memandang atap, lantas melihat halaman, tempat ludah Sumir pelan-pelan mengering, dan melanjutkan, “Kamu syukur hidup bagus sekarang, walaupun ndak ada uang yang penting aman.”

“Tapi ya begitu,” Sumir berusaha menjelaskan. Ada nada tidak enak di suaranya. “Yang penting dapat makan sehari-hari, cukup. Benar, yang penting aman.” Kemudian seolah baru sadar, ia berkata, nyaris terkejut, “Yoh kopinya, keburu dingin nanti.” Uap tidak lagi tampak melayang-layang.

Maq Kecubeh meraih segelas kopi, pelan-pelan mendekatkan ke mulutnya. Sewaktu mulutnya menyentuh tepi gelas dengan begitu pelan, kembali ia melihat ujung-ujung kumisnya yang kaku dan tumbuh tidak rata. Sumir juga meraih gelas miliknya lantas menyeruput hingga menimbulkan suara. Setelah selesai, mereka hampir bersamaan menurunkan gelasnya ke tatakan, dan bersamaan memandang jalan setapak di depan mereka.

“Sepi, ya?”

Sumir mengangguk dua kali dan berkata pelan, “Jarang orang lewat.”

Hanya beberapa menit setelah ia berkata begitu, seorang laki-laki berkepala botak lewat memikul empat buah kekelok. Dua di depan, dua di belakang. Kekelok itu tampak terisi penuh. Di depan rumah Sumir ia berhenti. Menyengir, menampakkan gigi-giginya yang berwarna merah tua karena sirih, tuak, dan karena tidak pernah disikat. Persis seperti potongan-potongan besi yang telah berkarat.

“Cepat sekali, Manluh,” sapa Sumir ramah.  

“Ya,” jawab laki-laki itu lesu. “Apa dikerjain itu?”

“Ndak ada. Duduk-duduk aja.”

“Mari,” laki-laki itu berbasa-basi. Lalu ia melanjutkan langkah. Ia berjalan dengan terpincang-pincang.

 “Yoh kenapa kakinya?” tanya Sumir.

Laki-laki itu menjawab sambil berjalan, “Jatuh tadi,” katanya. Suaranya terdengar sayup-sayup.

Maq Kecubeh memandang laki-laki itu, yang berjalan menjauh dengan terpincang-pincang. Jauh di selatan, mendung gelap pelan-pelan menutup bukit biru tua, melenyapkannya dari pandangan. (*)

Catatan Kaki:

Sedaq : Makanan pelengkap

Kekelok    : Tabung bambu untuk menyimpan air nira.

Manluh    : Panggilan kepada laki-laki yang memiliki anak pertama perempuan.

Epe           : Kamu (sopan).


Arianto Adipurwanto lahir di Selebung, Lombok Utara, 1 November 1993. Kumpulan cerpennya berjudul Bugiali (Pustaka Jaya, 2018) masuk 5 besar prosa Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2019. Bergiat di Komunitas Akarpohon, Mataram, NTB.