Judul: Parrhesia | Pengarang: Michel Foucault | Penerjemah: Haryanto Cahyadi | Penerbit: Marjin Kiri | Tahun Terbit: Cetakan Pertama, Mei 2018 | Ukuran dan Tebal: 12 x 19 cm (x + 209 hlm.) | ISBN: 978-979-1260-78-7
Oleh: M. Nasrullah
Ada fase ketika kebenaran tidak lagi melawan kesalahan, melainkan kebenaran melawan kebenaran. Pada saat-saat tertentu, kondisi semacam ini menciptakan sintesis dari dialektika yang saling bergesekan. Pada saat-saat yang lain, kebenaran melawan kebenaran sangat mungkin menghasilkan suara gaduh dan ricuh. Terlebih dalam negara-negara yang menganut sistem demokrasi—di mana setiap orang bebas meyakini dan menyuarakan kebenarannya masing-masing.
Dalam kasus ini, bagaimana seharusnya bersikap terhadap kebenaran yang diyakini?
Mari mencari jawaban dalam Parrhesia, buku yang disusun dari rekaman kaset enam ceramah Michael Foucault dalam bahasa Inggris di Universitas California, Barkeley, 1983. Ceramah-ceramah ini disampaikan sebagai bagian dari seminar Foucault yang diberi judul “Wacana dan Kebenaran” dalam rangka mempelajari konsep Yunani tentang Parrhesia atau “keterusterangan dalam berbicara kebenaran.” Dengan terjemahan yang baik, kalimat-kalimat yang dijabarkan dalam buku ini bisa dipahami dengan mudah.
Foucault membuka diskursus mengenai parrhesia dengan menjelaskan kata parrhesia itu sendiri yang pertama kali ditemukan pada naskah drama Euripides. Setelah muasal kata, ia melanjutkan menjelaskan arti dari parrhesia yang secara umum dimaknai sebagai berbicara bebas, sementara orang yang melakukan kegiatan parrhesia disebut dengan parrhesiastes.
BACA JUGA Matakaki yang Ingin Menginjak Matahari
Diskursus ini menjadi penting lantaran, tentu saja, kebebasan berpendapat selalu menjadi salah satu kegiatan yang diinginkan oleh segenap manusia. Permasalahannya, pada zaman ketika kata parrhesia muncul, hanya segelintir orang saja yang memiliki kehendak bicara bebas. Kondisi demikian terjadi ketika sistem negara menggunakan sistem kerajaan. Rakyat kecil dan budak tidak bisa bebas berbicara.
Tak jarang para parrhesiastes harus menghadapi bahaya ketika mereka mengungkapkan kebenaran kepada para penguasa. Karena seringkali nyawanya terancam, tak sedikit dari rakyat yang diminta untuk memberikan pendapat oleh penguasa, meminta jaminan keselamatan terhadap apa yang akan dibicarakannya.
Ketika parrhesia sudah dapat dimiliki oleh segenap warga (beralihnya sistem monarki menjadi demokrasi), parrhesia juga sempat mengalami arti peyoratif yang dimaknai sebagai “ocehan”. Foucault menemukan arti peyoratif itu pada naskah Platon (r: Plato). Ini terjadi sebagai penanda atas konstitusi demokrasi yang buruk tatkala setiap orang memiliki hak untuk meyampaikan pesan kepada sesama warga dan memberi tahu mereka apa saja—bahkan hal-ihwal yang paling dungu dan berbahaya berkenaan dengan polis (kota).
Kemunculan arti peyoratif pada parrhesia pada masa itu tentu cukup karib dengan kondisi yang terjadi di negeri ini. Dengan sistem demokrasi yang memberikan hak untuk bebas berbicara ditambah kemajuan teknologi, setiap orang menjadi punya ruang untuk menyampaikan apa-apa yang dianggap kebenarannya. Kini, setiap orang merasa menjadi parrhesiastes, dan semakin ngotot-lah mereka ketika kebenaranya dibenturkan oleh kebenaran lain.
Memang betul jika parrhesia adalah aktivitas lisan yang mengungkapkan pendapat secara berterus terang tanpa terjebak dalam retorika yang berbelit-belit. Tetapi menjadi parrhesiastes tidak hanya sekadar itu. Foucault menjabarkan jika seorang parrhesiastes tidak berkata dengan berani sesuatu yang dia pikir benar, tetapi ia berani mengatakan kebenaran karena hal itu memanglah sebuah kebenaran—bukan hanya anggapannya saja. Jadi selalu terdapat koinsidensi yang presisi (excact coincidence) antara kepercayaan dan kebenaran.
Pada masa Yunani antik, parrhesiastes diuji dengan; pertama, memiliki kualitas moral tertetu; kedua, mengetahui kebenaran; ketiga, menyampaikan kebenaran. Hal itu yang membuat Foucault menuturkan cerita bagaiamana Sokrates dianggap layak menjadi parrhesiastes oleh dua jenderal yaitu Nikias dan Lakhes. Melalui Nikias, Sokrates dikagumi karena pembicaraan mereka selalu membuat Nikias terus merasa belajar.
Sebaliknya, lewat mata Lakhes yang tidak tertarik dengan diskusi filsafat, ia kagum pada keberanian luar biasa hebat yang dimiliki Sokrates dalam pertempuran Delium—ketika itu Lakhes adalah Panglima yang memimpin perang tersebut. Dari situ, Lakhes melihat ada keselarasan antara apa yang dikatakan oleh Sokrates dengan apa yang dilakukannya (hlm. 110).
Pada zaman modern, pengujian kebenaran dari seorang parrhesiastes tidak lagi harus mengacu pada apa yang dilakukan pada masa Yunani antik. Hal ini dikarenakan di zaman Yunani antik kualitas moral dan cara penyampaian yang lugas dan jelas menjadi yang utama.
Sementara itu, cara membuktikan kebenaran di zaman sekarang biasanya selalu mengikuti nilai yang dianut oleh masyarakat itu sendiri dan perkembangan dari IPTEK. Tentu sekarang, siapa saja bisa menyampaikan kebenaran asalkan kebenaran yang ia miliki memang sudah bisa dibuktikan melalui kaidah-kaidah yang berlaku (misalnya data, fakta, dan teori tertentu).
Terakhir, parrhesiastes adalah seseorang yang juga haruslah cukup bijaksana. Kebenaran boleh saja ia pegang dan ia bisa saja menyampaikan hal itu dengan bangga dan berani. Tetapi, suatu ketika Seneca (tabib dan juga orang yang dianggap parrhesiastis pada masa Yunani antik) pernah merenungi perilakunya dengan model berdialog dengan diri sendiri:
Kamu menegur orang itu lebih keras daripada seharusnya, dan akibatnya kamu malah lebih banyak membuat orang itu tersinggung ketimbang membuatnya jadi lebih baik. Lain kali, pertimbangkanlah tidak hanya sebatas kebenaran apa yang kamu katakan, tetapi apakah orang yang kamu ajak bicara itu juga dapat memikul kebenaran. Orang baik-baik menerima teguran dengan senang hati; semakin buruk seseorang akan semakin sengit ia sakit hati karena teguran (hlm. 169).
Dari Seneca, bisa dipelajari bahwa metode penyampaian kebenaran tidak bisa tidak harus turut dipikirkan. Sebab jika metodenya gagal maka kebenaran takkan bisa diterima oleh yang dituju. Kemudian yang juga menjadi poin penting ialah parrhesiastes tidak hanya berani berkata benar kepada orang lain. Ia juga tidak takut menasihati diri sendiri. (*)

Mochamad Nasrullah, redaktur sutera.id. Novelnya yang berjudul Balada Supri menjadi pemenang ke-3 Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2018.