Si Kancil anak nakal

Suka mencuri ketimun

Ayo lekas dikejar!

Jangan diberi ampun

Potongan lagu tersebut mengingatkan saya pada masa kecil. Saat kecil dulu, ketika bermain di daerah persawahan atau sungai, saya sering kali mengingat dan membayangkan jika ada seekor kancil di sana. Saya pun membayangkan jika bertemu seekor kancil di sawah tempat saya bermain akan saya tangkap untuk menghukumnya. Namun, pernahkah kita berpikir jika Si Kancil juga punya hak untuk menuntut?

Bentuk Pledoi Si Kancil

Semalam saya bertamu di rumah seorang teman. Alih-alih membahas tentang isu yang sedang hangat; tentang melambungnya harga minya goreng, misalnya, teman saya malah membahas tentang lagu Si Kancil itu. Saya berpikir mungkin teman saya sudah jengah dengan keadaan sekarang. Sebab itu, ia ingin kembali mengenang masa kecilnya dengan lagu tersebut.

Ternyata tebakan saya salah! Ia berpendapat bahwa hal itu berkaitan dengan isu minyak goreng. Bagaimana bisa? Lalu, ia sedikit menjelaskan jika hutan tidak mengalami pengundulan paksa, maka Si Kancil tidak akan bingung untuk mencari makan. Hal itu mengusik kepala saya yang sedari tadi tidak gatal. Sebabnya, saya tertarik untuk sedikit mewakili perasaan Si Kancil untuk mengemukakan peledoinya di tulisan ini.

Dalam dongeng Si Kancil dan Pak Petani, Si Kancil merasa kelaparan dan memakan mentimun di sawah milik Pak Tani. Saat itu hutan sedang mengalami kekeringan. Ketika Si Kancil melihat hamparan mentimun di sawah, lantas ia memakan beberapa. Selang beberapa saat, Pak Tani heran sebab ada yang memakan mentimunnya. Dibuatlah orang sawah untuk mengusir hama oleh Pak Tani. Saat Si Kancil kembali menikmati mentimun, ia kaget bertemu orang sawah itu. Singkat cerita, Si Kancil tertangkap basah oleh Pak Tani. Lalu dihukumnya Si Kancil agar membantu Pak Tani.

BACA JUGA Fenomena Sastra di Bokong Truk

Dalam salah satu versi cerita Si Kancil di blog Gramedia, saya menjadi tahu bahwa hutan pada saat itu mengalami kekeringan. Saya kira kekeringan hutan terjadi sebab alih fungsi lahan. Ketika hutan yang asli diganti menjadi hutan untuk kebutuhan produksi industri, maka hutan sudah kehilangan fungsinya sebagai kesatuan ekosistem yang utuh. Jadilah Si Kancil memakan mentimun Pak Tani untuk mengisi perutnya yang kosong.

Narasi Alternatif Si Kancil

Saya kira Si Kancil perlu untuk bercerita sebab akibat dari kekeringan hutan. Sebab di dongeng itu tidak dijelaskan sebab dari kekeringan hutan. Saya kira meski hutan sudah berangsur kering, ia akan tetap bisa memenuhi kebutuhan ekosistem di sana. Beda halnya jika hutan itu sendiri sudah berubah fungsi lahan, menjadi hutan sawit atau hutan dengan tanaman yang dimanfaatkan sebagai keperluan produksi, misalnya. Maka tidak heran jika hewan seperti Si Kancil akan kehilangan kebutuhan alaminya. Maka sudah sepatutnya, Si Kancil dalam dongeng itu menuntut tambahan plot cerita mengenai hutannya yang sudah beralih fungsi.

Dalam artikel Di Balik Cerdik Licik Si Kancil di Historia, cerita tentang Si Kancil ini mulai dibukukan saat abad ke-19. Dongeng yang memiliki beberapa versi ini sebenarnya fokus terhadap kisah kecerdikan Si Kancil. Hingga saat ini, saya juga tidak tahu versi awal dari dongeng Si Kancil itu sendiri. Pun, saya juga tidak paham betul motif utama dari dongeng itu diciptakan. Namun, setidaknya dari cerita yang saya dapatkan di masa kanak, saya mencoba untuk kembali menawarkan kemungkinan alternatif di dongeng tersebut.

Ada keterpautan antara sejarah kehutanan di abad ke-19 dan dongeng Si Kancil. Menurut catatan yang saya temukan di website dishut.jatimprov.go.id, Belanda sudah mulai memarakkan penanapan pohon jati yang di mulai dari pulau Jawa di abad ke-16. Hingga pada abad ke-18 VOC memperluas hutan jati itu sendiri. Kemudian, di tahun 1847 pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengambil alih tanggung jawab tersebut.

Awalnya penanaman pohon jati diberlakukan di daerah yang curam, kurang subur dan jauh dari pemukiman warga. Sampai pada tahum 1874 semua kawasan tanah hingga hutan dikuasai dan diurus oleh negara. Jika melihat mulainya pembukuan dongeng Si Kancil bisa saya menarik benang merahnya. Pada abad yang sama, walaupun penanaman pohon jati sudah dimulai tiga abad yang lalu, dongeng Si Kancil dan maraknya alih fungsi hutan ke sistem monokultur memiliki momentum yang sama. Lalu, penyebab hewan mulai kehilangan hutan sebagai fungsi dari satu ekosistem mereka menjadi alasan rusaknya ekosistem mereka. Saya kira dari hal tersebut penyebab Si Kancil kelaparan ialah rusaknya ekosistem hutan.

BACA JUGA Matakaki yang Ingin Menginjak Matahari

Narasi alternatif yang perlu ditawarkan ialah penambahan motif awal mengapa kancil sebegitu inginnya memakan rerimbunan mentimun milik Pak Tani. Penambahan ini akan mengubah kesadaran anak-anak sekaligus kita sebagai orang dewasa bahwa menjaga ekosistem alam yang sudah terbentuk itu perlu dan harus. Hingga pada saatnya tidak ada lagi Si Kancil lain yang bingung mencari makan di lawan persawahan. Hingga tidak ada pula Pak Tani yang lain geram akibat berubahnya pola ekosistem yang organik.

Menjadi mungkin untuk juga merevisi lagu tentang Si Kancil yang nakal dan sebenarnya juga tidak nakal jika kita tidak merusak ekosistem mereka. Hingga tidak ada lagi alasan mengapa kita harus mengejar Si Kancil tanpa ampun. Tawaran revisi untuk lagu tersebut dari saya bergini:

Kita anak nakal

Suka merambah hutan

Mari sudahi saja

Agar Si Kancil tidak mencuri lagi. (*)


Iqbal Al Fardi, redaktur sutera.id. Alumnus jurusan Sastra Inggris Universitas Jember.