Keterbatasan bahasa setidaknya menjadi salah satu alasan mengapa sebuah karya sastra mampu hidup terus menerus. Karya sastra akan selalu diapropriasi oleh para pembaca sesuai dengan batas pengetahuan dan pengalamannya masing-masing.

Dalam pemaknaan umum, para pembaca akan berusaha untuk menghadirkan kembali karya sastra yang mereka baca dengan pemaknaan masing-masing. Hal ini jelas akan membangun makna-makna yang bersifat subjektif, yang menjadi titik awal lahirnya pembaca setelah kematian pengarang.

Kita tidak bisa membaca karya sastra dengan harapan membaca kehidupan pengarangnya (meskipun lahirnya sebuah karya sastra memang tidak lepas dari pembacaan penulis/ pengarang terhadap kondisi  di sekitarnya). Kita akan membaca karya tersebut sebagai sebuah bentuk kebahasaan yang otonom. Susunan kebahasaan sebagai refleksi realitas yang berdiri sendiri.

Novel ini dimulai dengan kehadiran seorang tokoh yang bernama Ozymandias dengan janji berjumpa di sebuah gedung pertunjukan teater. Dalam novel ini kita akan lebih banyak disuguhi oleh cerita dari narator ketimbang dialog antar tokoh. Narator dalam novel ini menjadi sosok absolut, yang mampu memahami pikiran setiap tokoh dalam novel.

Realitas Modern yang Chaos

Pada halaman pertama kita disuguhi dengan adegan seseorang yang sedang mandi. Bukan dengan cara menyiramkan air, tapi berendam. Kemudian adegan melompat ke luar ruang, suara jalan yang riuh, dan suara toa dari tempat ibadah yang menggema. Adegan-adegan tersebut menggambarkan kehidupan modern yang saat ini sedang berlangsung.

“semua ingin menyatakan kehadiran mereka tanpa memedulikan mereka yang lain, yang tak ingin hadir.”

BACA JUGA Fenomena Sastra di Bokong Truk

Ketidakpedulian sosial terhadap hal lain di luar dirinya juga menjadi fokus kritik novel ini terhadap dunia modern. Realitas dunia modern–dengan tekanannya–mengkonstruk manusianya untuk tak acuh terhadap manusia lain. Realitas itu berupaya untuk menempatkan kedirian sebagai subjek yang lebih baik dari subjek lain. Manusia modern yang pesimistis akan tergilas dan kehilangan identitas.

Kehidupan manusia modern yang dituntut dalam keteraturan, membuat mereka melupakan daya kreasi dan imajinasi. Keteraturan itu menciptakan sekat antara yang teratur dan yang mengatur. Siapakah yang mengatur kehidupan modern?

“Para pekerja dan anak-anak sekolah menyungai di jalanan. Semua bergegas menuju sesuatu yang telah terpahami sebagai titik final dari kesuksesan.”

Kutipan tersebut berbicara tentang keteraturan yang linier dengan keteraturan. Modernisme menggunakan pendidikan sebagai jalur penaklukan untuk melanggengkan kuasa. Pendidikan selalu diarahkan pada manusia yang sukses. Bermacam kesuksesan dicontohkan oleh guru di sekolah sebagai orang yang mampu mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan tinggi, memiliki rumah mewah, dan mobil.

Pendidikan bukan lagi berperan sebagai pembangunan karakter manusia yang memanusiakan, tetapi beralih sebagai manusia yang menundukkan.

Pendidikan sebagai sistem juga tak lepas dari peran negara. Coba kita simak kalimat berikut:

“Mereka: sekelompok bebek yang dipandu oleh sistem keamanan negara untuk patuh pada apa pun yang dikatakan oleh negara, serupa sabda.”

Negara dengan segala konsepsinya tentang kesejahteraan akan menciptakan robot untuk melanggengkan kekuasaannya. Hegemoni tersebut akan direproduksi oleh institusi-institusi dalam kenegaraan. Hukum-hukum akan ditulis untuk memberikan pembeda antara masyarakat yang patuh dan yang acuh. Antara yang sukses dan gagal. Binaritas itu akan direproduksi hingga tingkat terkecil sistem masyarakat: keluarga.

Kehidupan yang sukses (mendapat pekerjaan yang layak dengan gaji lumayan) menjadi obsesi setiap orang tua untuk anak-anaknya. Banyak dari mereka akan berusaha menggunakan kemampuan atau kuasanya supaya anak mereka mendapat pekerjaan. Tidak jarang demi hal tersebut para orang tua akan rela kehilangan aset mereka yang berharga sebagai gantinya.

“Begini saja, potong rambutmu dan rapikan penampilanmu. Besok atau lusa ikut Bapak ke kantor, bawa ijazah dan surat lamaran untuk formalitas. Solusi konkret dan jalan keluar dari semua kekusutan yang kamu ciptakan.”

Sosok Bapak dalam kutipan tersebut menunjukkan betapa realitas sosial telah menegasikan kemampuan dari organik individu. Yang akan diakui adalah mereka yang memiliki massa dan benang pertemanan lebih kuat.

Konsep Dunia Patriarki

Terlepas dari kehidupan sosial yang semakin menghilangkan batasan hak dan kewajiban antara pria dan wanita, masih ada ketimpangan yang disajikan dalam novel ini. Sekira ada 6 wanita yang disebutkan, tapi dengan porsi yang hampir sama; pendamping. Porsi yang dituliskan mempertegas kembali dikotomi pria dan wanita. Pria sebagai pembuat dan pelaku solusi, wanita mengamini.

BACA JUGA Belajar dan Bermain di Imaji Ramadan Creative Camp

“Mut, kamu pulang sendiri, ya! Kita ketemu besok. Aku ada urusan sama Fransisco”

Terbaca dalam kutipan tersebut jika posisi pria sebagai seorang yang menentukan solusi yang tak bisa ditolak.

Mutia mengambil napas panjang dan menghembuskan pelan. “Haaa…h!” Udara hangat keluar dari mulut Mutia. “Ya, sudahlah! Berkabar, ya! Besok antar aku ketemu seniman Can-macanan di Mumbulsari!” Air mukanya berubah menjadi tidak menyenangkan.

Mutia sebagai seorang wanita hanya bisa pasrah dengan keputusan yang diberikan oleh Ozy. Mutia tidak mampu menolak untuk hal-hal yang berkaitan dengan dirinya sendiri. Walaupun dalam dialog tersebut ada bargain kuasa yang dihadirkan oleh sosok Mutia, tetapi penawaran itu lemah dan belum final karena ‘besok’ belum juga terjadi dan bisa pula dibatalkan kemudian. Selain Mutia, ada pula sosok ibu yang seharusnya mampu menjadi ‘sosok’ bagi anaknya pun tidak memiliki kuasa.

Sesaat setelah berpamitan, Ozy mengabarkan bahwa dirinya akan pergi ke Malang pada hari Senin, untuk satu bulan di Malang atau lebih. Ibu hanya mengatakan: “Ya. Hati-hati!”

Ibu di sini tidak dapat berdiri pada posisi yang mengatakan tidak. Dia meletakkan dirinya sebagai sosok yang mengamini apa yang dikerjakan oleh Ozy, anaknya.

Ketidakberdayaan perempuan, Mutia dan Ibunya, juga dituliskan pada halaman 162-167. Instalasi dialog pada halaman ini menunjukkan bahwa perempuan hanya bisa berharap dari seorang laki-laki.

Ozy, besok aku kembali ke Semarang. Motor dan ……. Aku akan tetap menunggumu di Semarang hingga akhir bulan Agustus.”

“Bagaimana jika aku tidak datang?”

“Meskipun ingin, aku tidak bisa meninggalkan mama seorang diri. Aku akan menerima perjodohan itu.” Kutipan tersebut sekali lagi menunjukkan perempuan ditempatkan sebagai sosok yang hanya mampu berharap tanpa diberi kemampuan untuk memutuskan nasib yang harus dijalaninya.

Manusia Modern Yang Sakit

Pada bahasan sebelumnya kita telah membicarakan kekacauan realitas dunia modern. Seperti halnya informasi yang selalu berseliweran tak jelas di sosial media, manusia modern ada dalam ketidak-pastian yang mampu menggiring pada kehilangan identitas diri. Informasi yang tak dapat dibendung menjadi gempuran bertubi-tubi sehingga sulit dibedakan mana yang nyata dan tidak.

Kecarut-marutan tanda-tanda yang dibangun berbagai realitas degan ruah informasi pun memberikan tekanan hidup manusia modern lanjut yang membuatnya gagal menghubungkan penanda dengan petandanya. Tanda-tanda pun membentuk referen-referen baru tanpa petanda yang melarutkan manusia dalam ‘kegilaan’ yang dinormalkan. Norma sosial sebagai cita-cita kehidupan bersama menjadi semu, bahkan memberikan opresi pada individu tertentu.

Terbang Tinggilah Richard Oh, Terima Kasih dan Selamat Berpulang

Manusia sebagai mesin hasrat, akan selalu memproduksi hasrat dari persinggungannya dengan hasrat lain di luar dirinya. Kemampuan untuk selalu memproduksi dan mereproduksi ini berakibat pada penolakan individu terhadap (hasrat) kultur di sekitarnya. Seperti yang dilakukan oleh tokoh Ozy dalam novel. Dia berusaha menarik dirinya dari tatanan nilai masyarakat yang menurutnya terlalu mengekang dan tidak kreatif. Bahkan, Ozy berusaha untuk menundukkannya.

“Bapak menimpali dengan cepat dan spontan. ‘Biasakan bangun pagi sebelum matahari terbit. Dan jauhi pergaulan yang tidak penting’.”

“Santai sajalah, tidak perlu menghubung-hubungkan jam tidur dan masa depan.”

Bapak sebagai produk kultur dengan tatanan nilai “bangun pagi” berusaha untuk mendoktrin Ozy dengan norma yang sama. Tetapi Ozy sebagai individu dengan hasrat yang masih terbuka terhadap berbagai kemungkinan, menolak satu pilihan tersebut. Pada dialog itu dapat kita lihat pula jika tokoh Ozy berusaha untuk menyetarakan kedudukannya dengan Bapak.

Ozy sebagai tubuh sosial dan organ yang memiliki hasrat berupaya untuk memunculkan imajinasi tatanan nilai miliknya sendiri. Penarikan dirinya dari tatanan norma dan moral merupakan proses untuk mencipta dunia sesuai dengan standarnya. Bahkan dalam proses ini dapat membuat dirinya tercerabut dan kehilangan identitas. Seperti yang dijelaskan oleh Hariyatmoko dalam Leo Wira bahwa diperlukan penghancuran semua lapis subjek dan identitas dalam bekerjanya mesin hasrat.

“Gun, buka lagi tawaran bisnismu. Aku ikut!” ucap Ozy tanpa basa-basi.

Ozy yang sebelumnya menolak tawaran Gunawan untuk terjun dalam bisnisnya; mengedarkan ganja dan sabu. Tetapi beberapa kondisi sosial di luar diri Ozy berkata sebaliknya. Sebagai laki-laki yang harus selalu dapat diandalkan, dia berusaha mencari solusi cepat terhadap permasalahannya. Mutia membutuhkan sejumlah uang dalam jumlah besar yang hanya bisa didapat jika Ozy ikut terjun dalam bisnis Gunawan.

Kegelisahan tokoh dimunculkan. Dia takut akan kehilangan sosok di luar dirinya, Mutia. Kegelisahan ini memancing tindakan si tokoh yang bertentangan dengan norma. Ozy tidak lagi memperdulikan sistem nilai yang dia anut sebelumnya.

Ada satu adegan penting yang mengubah cara pandang dan tindakan tokoh. Adegan ini bisa jadi merupakan pintu akhir ke mana tokoh berada; kematian.

“…Aku, tanganku menarik trigger tanpa kendaliku. …. Aku membunuhnya dan, aku ingin menangis tapi air mataku macet. Aku ingin minta maaf, tapi apa pentingnya maaf?”

Ozy membunuh pria tua yang hendak menyakiti Gunawan tanpa merasa sadar. Hal ini dipicu oleh perasan takut akan kehilangan. Takut kehilangan Gunawan sebagai teman sekaligus sebagai orang yang mampu memenuhi kebutuhan ekonominya. Takut jika dia juga mati.

Pada beberapa adegan selanjutnya, tokoh dihadirkan erat sekali dengan kematian yaitu sebagai pembunuh. Kegelisahan dan ketakutan berubah menjadi amarah. Adegan ini digambarkan saat Ozy tiba di rumah Mutia dengan harapan uang yang dia bawa akan membantu kehidupan Mutia dan Ibunya. Dengan begitu Ozy dapat memiliki Mutia dan menikah dengannya.

Tetapi yang terjadi berkebalikan dengan apa yang diharapkannya. Ozy melihat Mutia mengingkari janjinya dan menikah dengan orang lain. Kekecewaan tumbuh dalam benak Ozy. Kehilangan akan sosok Mutia yang selama ini sering menemani dan menenangkan Ozy membuatnya takut. Puncak dari perasaan dikhianati oleh orang yang ia cinta adalah amarah yang memuncak.

BACA JUGA Kisah Sunyi Umbu Landu Paranggi, Mengenang Setahun Kepergian Presiden Malioboro

Ozymandias bergetar melihat semua yang ada di depan matanya… Kemarahan memaksa masuk. Dalam waktu singkat seluruh otot tubuh Ozy menegang ….,dan terik matahari seperti menghipnotis. Tangan Ozy bergerak mengeluarkan pistol…., ia mengacungkannya ke arah gerombolan orang-orang yang sedang berfoto.

Tumpukan perasaan kecewa, takut, dan amarah memicu hadirnya kesadaran lain di luar kesadaran Ozy. Kesadaran yang lain itu mengontrol tubuh Ozy, hingga ia sendiri harus pasrah dengan kesadaran lain itu. Pikiran Ozy kemudian memunculkan kesadaran lain sebagai subjek lain di luar dirinya. Kesadaran lain itu seakan-akan hidup nyata dan menjadi sosok yang dia bayangkan.

Ozy melihat bayangan Blodot dan dirinya memanjang di atas aspal kasar. “kenapa kamu begitu peduli bahwa aku tidak mati?” Tanya Ozy…

“Karena mungkin aku adalah bayangan yang kamu ciptakan”

Ozy mendengar suara itu keluar dari mulutnya, bukan mulut Blodot.

…. Ozy menoleh lagi ke depan, bayangan Blodot di sampingnya memudar dan hilang.

Blodot dalam kutipan tersebut merupakan tokoh bayangan yang mengindikasikan kehadiran ‘yang lain’. Blodot dari dunia yang lain dari Ozy namun saat mereka bertemu dan saling bicara mereka menembus sekat-sekat keduanya. Akan tetapi pernyataan jika Blodot mungkin bayangan yang dicitakan Ozy sendiri yang diikuti upaya Ozy mencari sosok tersebut secara indrawi dan ternyata Bladot tidak ada maka Blodot dan dunianya pun runtuh. Yang tersisa hanya Ozy dan dunianya.

Pencarian Blodot oleh Ozy dengan menoleh untuk menegaskan otoritas dunianya yang ‘nyata’ dan menemukan Blodot ‘memudar dan hilang’ pun meneguhkan cerita ini kembali pada dunia yang satu. Dunia nyata yang otentik adalah dunia yang dihuni Ozy.

Setelah Blodot, hadir juga pengemis tua yang bicara dengannya dan digambarkan seperti dirinya. Saat dia menembak pengemis tua itu, dirinyalah yang justru mati. Kematian Ozy alih-alih si pengemis tua pun membuktikan kembali otentisitas dunianya dan menyangkal dunia lain yang berusaha dibangunnya dengan sosok si pengemis.

Sosok Blodot dan si pengemis tua muncul setelah dia membantai Mutia dan keluarganya. Dengan demikian dunia majemuk yang berusaha dibangun melalui sosok mereka pun hanya terjadi secara psikolosgis dalam benak Ozy. Kondisi psikologis yang tak dapat membedakan kenyataan dan imajinasi dalam istilah psikologi dikenal sebagai kelainan mental yang disebut Schizophrenia. Ozy dalam cerita ini mengalami kegilaan.

Upayanya lepas dari norma yang dianut kebanyakan orang di dunianya dirasanya mengekang dan dia merindukan kebebasan. Namun novel ini menegaskan kebebasan, keterlepasan diri dari norma hanyalah kematian. Rupanya Ozy tak mampu membebaskan dirinya dari jeratan norma, nilai dan ‘dosa’ yang dengan sengaja diterobosnya dalam hidup. Kematian masih diambil sebagai solusi untuk bebas dan hening. Dunia telah terlanjur carut-marut. (*)


Ebhi Yunus, redaktur puisi sutera.id. Kini berdomisili di Jember, Jawa Timur.