Kala itu, saya dan seorang teman melakukan ngabuburitcukup ekstrem, yakni melakukan perjalanan dari Kabupaten Jember ke Paiton, Probolinggo. Dalam perjalanan itu kami menemukan banyak pedagang takjil di jalan yang, jujur saja, menyita perhatian (tenggorokan) kami. Namun, iman kami tetap tidak goyah. Ketika lintas jalan sudah memasuki wilayah Besuki, kami menemukan truk dengan “kata-kata mutiara” di bokongnya.
Kurang lebih begini: mencintai seseorang yang tidak mencintaimu itu seperti menunggu kapal di bandara. Sontak tulisan itu menggelitik benak saya, sekaligus membangkitkan sebuah kesadaran: bahwa sebetulnya sastra dan budaya—literasi khususnya—tidak jauh dari keseharian kita. Saking dekatnya, hal itu pun bisa kita temukan di benda dan ruang sekitar, seperti tembok di kamar mandi umum, misalnya. Lalu, pertanyaannya: seberapa besar kesadaran masyarakat sastra kita memperhatikan hal tersebut?
Fenomena tulisan sastra di bokong atawa bak truk menjadi representasi kedekatan masyarakat kita dengan sastra itu sendiri. Saya pikir hal ini sudah lama mengakar dalam masyarakat kita. Seperti halnya tulisan di bokong truk kala itu yang memiliki metafor cukup menarik. Coretan tersebut menggunakan kata ‘kapal’ dan ‘bandara’ yang bertolak belakang untuk menjelaskan keadaan si penyintas cinta sebelah tangan. Hal ini begitu menarik buat saya.
BACA JUGA Genshin Impact dan (Sepertinya Ada) Sastra di Dalamnya
Bagaimana si pemilik truk itu sengaja mendekorasi bokong truknya dengan kata-kata mutiara tersebut—terlepas dari apakah tulisan tersebut ia kutip dari seorang penulis atau ditulis sendiri. Sebab, saya kira hal yang perlu diperhatikan di sini ialah bagaimana kesadaran mengenai sastra itu sendiri setidaknya terbangun. Saya rasa perjumpaan kita dengan tulisan sastra di bokong truk tidak hanya sekali saja.
Dan tidak hanya di bokong truk, coretan-coretan tersebut juga kerap kita jumpai di sekeliling kita sebagai curahan hati ataupun protes. Sebutlah kamar mandi umum. Seberapa sering kalian jumpai coretan-coretan ‘curhatan’ dengan kalimat sastrawi atau protes di dinding kamar mandi umum? Saya yakin akan sering kita jumpai. Terkecuali dinding tersebut sudah dicat ulang. Bentuk tulisan yang bertebaran di kamar mandi tersebut adalah bentuk dari kontemplasi atau keisengan dari si penulis. Meski media yang dipilih ialah tembok kamar mandi umum.
Memang perbuatan tersebut tidak tepat. Namun usaha dalam menyalurkan unek-unek dalam bentuk tulisan di dinding menjadi penanda bahwa ada hal yang tidak dapat tersampaikan hanya melalui ucapan. Bentuk-bentuk tulisan sastra ataupun protes di tembok kamar mandi umum juga mungkin tidak banyak kita pikirkan. Dan mungkin lagi itu hanya menjadi pengusir kebosanan tatkala membuang hajat di kamar mandi.
BACA JUGA Terbang Tinggilah Richard Oh, Terima Kasih dan Selamat Berpulang
Kemudian, apakah hal tersebut mendapat ruang yang cukup dalam ekosistem sastra kita? Ataukah fenomena tersebut hanya akan menjadi ‘anak tiri’ di ekosistem sastra kita? Pun, meski (mungkin) sering luput dari perhatian masyarakat kita. Fenomena tersebut butuh untuk dipikirkan ulang sebagai bagian dari gerakan sastra di masyarakat. Beberapa minggu lalu, saya membaca cuitan Puthut EA di Twitter mengenai fenomena tulisan-tulisan unik di bokong truk.

Kurang lebih Puthut menulis bahwa menurut dia sastrawan sejati itu justru para sopir, kenek, para kru truk. Saya sedikit mendapat angin segar. Ada penulis sekelas Puthut yang memperhatikan hal demikian. Lebih jauh lagi, Eka Kurniawan juga menulis cerpen sekaligus menjadi judul dari buku kumpulan cerpennya, Corat-Coret di Toilet. Saya kira cerpen tersebut cukup merepresentasikan fenomena yang saya maksud. Dan saya tetap optimis bahwa fenomena tersebut juga menyita perhatian banyak orang, meski saya tidak dapat membuktikannya.
Setidaknya, fenomena tersebut bisa menggugah pertanyaan kita tentang kesadaran masyarakat luas terhadap sastra. Dan lagi, sastra itu sendiri merupakan cerminan dari keadaan di sekitar kita. Sebab, saya kira tidak mungkin penulis atau sastrawan menulis hanya berangkat dari imajinasinya sendiri. Sastra itu sendiri lahir dari proses kontemplasi dan respon si penulis terhadap lingkungannya. Berbicara truk yang saya jumpai kemarin, kembali saya temui di daerah Paiton saat pulang ke Jember. Mungkin truk itu sengaja menemani perjalanan pulang saya untuk menjadi pengingat bagi saya agar tidak larut dalam cinta yang bertepuk sebelah tangan. Sekian. (*)

Iqbal Al Fardi, redaktur sutera.id. Menulis puisi untuk berbahagia.