Sutera.id – Sastrawan, aktor, sutradara, bibliofili pendiri Quality Buyer (QB) World Books, Reading Room, penggagas Kusala Sastra Khatulistiwa, dan kisah sepak terjangnya di bidang seni, sastra, dan budaya adalah sederet kenangan yang turut mengantarkan sosok Richard Oh berpulang pada Kamis (7/4/2022) pukul 19.30 WIB di Rumah Sakit Eka Hospital, Tangerang Selatan, Banten. Richard dikabarkan meninggal akibat serangan jantung pada usianya yang ke-62 tahun.

Beberapa jam sebelum berpulang, sosok yang turut terlibat dalam penggarapan film Yowis Ben itu diketahui sempat mengunggah video yang memperlihatkan kontruksi jalan tol di akun instagram pribadinya (@richard0h._). Flyby the new Toll Road Construction (Says the toll road supervisor) | FPV FreeStyle Proxy, tulisnya. Pasca kabar duka itu datang, sontakkolom komentar unggahan tersebut dibanjiri ucapan duka oleh insan film, penulis, pegiat seni dan sastra di Indonesia yang merasa kehilangan sosok ‘kakak’ yang dikenal hangat kepada siapapun itu.

Ucapan itu dibagikan, salah satunya, oleh aktor Lukman Sardi.

Rest in love my dear brother .. and fly high,” tulisnya di kolom komentar.

Senada dengan Lukman, sutradara Joko Anwar pun turut membagikan perasaan duka dan kehilangan atas sosok Richard. Lewat akun instagram pribadinya, Joko mengenang Richard sebagai sosok ‘kakak laki-laki terbaik yang pernah kita minta sepanjang hidup’.

“Dia (Richard Oh) akan menjadi orang pertama yang bahagia saat mengetahui kita mencapai sesuatu,” tulisnya. “Richard adalah kakak laki-laki terbaik yang pernah kita minta sepanjang hidup … Dia adalah sosok yang turut membesarkan banyak dari kita. Tanpa Richard Oh, kita akan tetap menjadi anak-anak yang tersesat. Dia membawa kita di bawah sayapnya,” kenang sutradara film Perempuan Tanah Jahanam (2019) itu.

Hasan Aspahani: dia adalah tangan yang hangat, yang senang menyentuh banyak orang

Richard ‘Abdurrahman’ Oh lahir di Tebingtinggi, Sumatera Utara, pada 30 Oktober 1959. Dilansir dari Tempo, Richard diketahui telah menyukai sastra sejak remaja. Pada usia 17 tahun, ia pernah meraih penghargaan lomba penulisan cerpen yang diselenggarakan oleh Majalah Asiaweek. Kecintaannya pada dunia kesusastraan mengantarkan Richard menempuh studi Sastra Inggris dan Penulisan Kreatif di  University of Wisconsin, Madison, Amerika Serikat, lalu pulang menggagas salah satu penghargaan sastra bergengsi di tanah air, mendirikan Metafor, Jurnal Prosa, Jakarta Review Book, dan menulis sejumlah novel.

BACA JUGA Kisah Sunyi Umbu Landu Paranggi, Mengenang Setahun Kepergian Presiden Malioboro

Pada 2001, bersama Presiden Direktur Plaza Senayan Takeshi Ichiki, sastrawan Danarto dan Sutardji Calzioum Bahri, Richard menggagas penghargaan sastra ‘Khatulistiwa Literary Award’ yang pada 2014 lalu berganti nama menjadi Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK). Hadir selama lebih dari 20 tahun, KSK turut andil dalam melahirkan dan memberi ‘jalan’ penulis muda untuk berkembang. Pada rentang 2007-2009, misalnya, terdapat kategori ‘penulis muda berbakat’ di samping penghargaan untuk penulis prosa dan puisi.

Dalam Asal-usul Anugerah Sastra Khatulistiwa, diketahui salah satu tujuan Richard menggagas KSK ialah untuk memberikan apresiasi setimpal atas kerja-kerja penulis dalam mencipta karya.

“Tercetusnya anugerah sastra Khatulistiwa pada waktu itu terdorong oleh sebuah inisiatif untuk memberikan hadiah berpundi lumayan supaya penulis-penulis yang memenangkan hadiah sastra Khatulistiwa bisa melanjutkan cita-citanya berkarya.

… Dengan visi yang tidak muluk-muluk ini maka terciptalah sebuah anugerah sastra. Dan ketika dibentuk sebuah panitia untuk mewujudkan program anugerah sastra, maka Richard Oh menawarkan sebuah sistem penjurian yang menurutnya merupakan sebuah apresiasi secara langsung dari para sastrawan, akademisi, wartawan kebudayaan di dalam satu komunitas bersama dengan para sastrawan.

Meski bukanlah perkara sepele, namun ‘apresiasi’ yang dimaksud Richard Oh tentu saja tak hanya berhenti dalam soal ‘hadiah berpundi lumayan’. Richard selalu bertindak lebih jauh ketimbang itu. Dia adalah tangan yang hangat, demikian bait pernulaan puisi Hasan Aspahani mengenang sosoknya, yang senang menyentuh banyak orang.

Dia adalah tangan yang meletakkan

di meja baca, di rak-rak pada dinding ruang baca,

buku dan buku-buku, dan membiarkanmu

datang dan duduk, bebas dan leluasa

membaca di sana.

Ya, bukan hanya soal materi, Richard pun turut menyediakan ruang, tangan, dan hati untuk para penulis. QB World Books, toko buku impor yang didirikannya, memperbolehkan dan bahkan menyediakan ruang khusus bagi orang yang datang untuk sekadar membaca.

BACA JUGA Di Bukit Lancaran dan Puisi J. Akit Lampacak Lainnya

Saya juga sering mampir ke toko buku QB yang persis di samping Sarinah, di Jalan Sunda, kenang sastrawan Eka Kurniawan dalam Richard Oh (30 Oktober 1959-7 April 2022),  di sana lah saya bisa sekadar duduk di sofa sambil membaca satu-dua buku yang dijual di sana. Toko itu memang mengizinkan kita duduk hanya membaca.

Bahkan, kepada Eka—dan mungkin juga penulis lainnya, Richard tak pernah ragu memberikan satu-dua buku secara cuma-cuma. Satu hal penting yang, barangkali turut berdampak dalam kerja kepengarangan Eka dan penulis lain yang berkarib dengannya.

Ketika saya pamit, obrolan itu diakhiri dengan ucapannya, “Bawa saja buku (yang tadi saya baca) itu.” Ia berteriak ke kasir, agar buku itu dilepas dan dibayar dengan uangnya sendiri. Dilanjutkan dengan, “Sering-sering datang.”

Saat membaca catatan Eka Kurniawan tentang sosok Richard lebih lanjut, dapat dipastikan siapapun akan merasakan kesan ketulusan dari sosoknya. Pada akhirnya, selain menyediakan ruang, tangan, dan hati, Richard turut menyerahkan dirinya secara utuh demi perkembangan seni, budaya, dan utamanya habitus kesusastraan di Indonesia.

Selayaknya Sayid Hamid Benengeli dalam puisi Goenawan Mohammad di Sajak-Sajak Don Quixote, lewat inisiatif-inisiatif, kerja-kerja, lewat diri dan hatinya, Richard telah meninggalkan ‘tanda terakhir dengan dawat di kertas’ kesusastraan Indonesia. Tanda terakhir itu, bisa jadi, juga adalah keyakinannya bahwa ada sesuatu yang tak boleh berakhir.*

Terbang tinggilah, Richard Oh, terima kasih dan selamat berpulang.

(*) kutipan puisi Hasan Aspahani berjudul ‘Tentang Richard’.


Penulis: Haryo Pamungkas

Editor: L&M