Di Annuqayah

Para santri telah memasak daging dan harapan
Di sebuah dapur dalam kitab.

Demikian asap yang keluar dari tungkunya
Memang seperti benang putus,
Tapi pada apinya,
Kutemukan kobar kehilangan panas,

Mungkin nasib
Akan terhidang di meja rahasia,
Teluh menjelang magrib 
Masuk gelas tumbuh kilau
Silau,
Apa lagi jauh dari surau,

Tapi doa akan aman 
Di dapur itu.
Kayu-debu jauh dari godaan, 
Jauh dari siur angin
Selalu setia.
Maka dari itu,
Ia tak sering pula terluka.

Lubtara, 2021

BACA JUGA Kisah Sunyi Umbu Landu Paranggi, Mengenang Setahun Kepergian Presiden Malioboro


Potret Pembunuhan di Bukit Lancaran
:KH. Abdullah Sajjad

Di Bukit Lancaran
Angin mendaki setinggi rumput.
Dari berkas cuaca di tahun 1947 
yang masih tersisa,
Kutemukan bayangan kolonel Belanda berbisik:
“Cuma hari ini, tak mungkin ada hari lagi bagimu.”
Demikian pada pistol itu
Sebelum disembunyikan di ketiaknya.

Aku kira,
Musim gugur telah menoleh ke hutan lagi,
Pada pepohonan,
Aku pun mendengar 
Dakwah matahari pada pagi,
Tetes embun jauh dari sumur
Dan segar mawar pergi dari halaman.

Tapi salahkah bagi maskulin
Bila melangsaikan keinginan
Atau dengan binal
Melawan arus kanal,

Namun langit telah berencana
Agustus telah memanggilnya dari jendela,
Minggu pagi jadi hari libur bangsa margasatwa
Ranting-daun tampak rabun
Menorehkan napas setebal mendung
15 detik lagi ia akan tergelepar
Setelah tujuh peluru menyamar hujan.

Lubtara, 2021

BACA JUGA Daun-Daun Perak dan Puisi Faris Al Faisal Lainnya


Di Bukit Lancaran

Aku cuma ingin bercerita,
Demikian pada surat yang dikirimnya
Tentang basah pagi di ranjang;
Entah bagian dari air mata ataukah hujan?

Waktu itu, masih betul kuingat
Ia digiring ke hutan jauh,
Di Lancaran.
Di sana terletak sumur sebelah jalan menuju sawah
Yang sejak dulu memang tercium aroma kental jejak pedebah.

Mereka paham, ia tak bosan dengan senyap
Walau mereka sengaja melemparnya ke gelap ngarai.

“Hanya kalian yang bisa menilai 
Akan keburukan yang dianggap baik,” kata Engkuh,
Setelah mereka berikan baju bermotif darah kelinci itu
Sebab mereka percaya
Darah juga menjadi tanda,
Bagi peristiwa yang sudah tiada.

Lubtara, 2021

J. Akit Lampacak,  mahasiswa jurusan Teknologi Informasi IST Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, Madura. Aktif membina komunitas Lesehan Sastra Ponpes Annuqayah dan Sanggar Sabda Lubangsa Utara. Tulisan-tulisannya telah tersiar di berbagai media & antologi puisi bersama. Buku puisi tunggalnya bertajuk Lampang, 2021.