Dalam jagat kesusastraan Indonesia, nama Umbu Landu Paranggi tak lagi asing. Pria bernama lengkap Umbu Wulang Landu Paranggi ini lahir di Kananggar, Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 10 Agustus 1943 dan meninggal dunia pada 6 April 2021 di Denpasar, Bali dalam usianya yang ke-78.
Sosok yang digelari ‘Presiden Malioboro’ ini dikenal sebagai penyair paling misterius dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Alih-alih berebut tampil di ruang kreatif publik, Umbu justru sengaja menarik diri dan benar-benar menekuni ‘jalan sunyi’. Ia lebih tertarik untuk menemani proses kreatif para (calon) sastrawan dan seniman muda sejak dekade 60-an hingga pada gilirannya melahirkan banyak seniman dan sastrawan jempolan yang masih eksis hingga saat ini. Dua di antaranya ialah Emha Ainun Najib (Cak Nun) dan Wayan Jengki Sunarta. Bahkan, dalam Miraj Sang Guru Tadabbur, Cak Nun menyebut Umbu sebagai ‘satu-satunya orang di muka bumi yang disebut dan secara resmi diakuinya sebagai Guru’.
Lewat unggahan status di dinding Facebook pada 4 April 2022, Wayan Jengki Sunarta mengenang Umbu sebagai sosok yang berjasa dalam mencari, menyemai, dan merawat benih-benir penyair selama berada di Yogyakarta dan Bali lewat konsep ‘tanam-taman’ yang diyakininya.
“Umbu Landu Paranggi tak pernah lelah dan selalu penuh dedikasi memotivasi benih-benih baru kepenyairan untuk terus tumbuh dan berkembang dengan konsep yang diyakininya, yakni ‘tanam-taman’, menanam benih sastra untuk menciptakan taman kesusastraan,” tulis Wayan.
BACA JUGA 3 Novel Jawara yang Sebaiknya Tidak Dibaca saat Berpuasa
Awal Mula Menjadi Presiden Malioboro
Pada mulanya Umbu adalah redaktur sastra mingguan Pelopor Yogya. Bersama sejumlah penyair muda pada era itu, Umbu lantas mendirikan Persada Studi Klub (PSK) pada 1969, sebuah komunitas sastra yang berfokus pada pengembangan kepenulisan. Berkegiatan di sekitar jalan Malioboro, PSK rutin menggelar diskusi, pembacaan puisi, sekaligus menjadi magnet para penyair muda di sekitaran Yogya kala itu.
Keberhasilan Umbu menghimpun dan menggembleng para penyair muda lewat caranya yang khas membuatnya dijuluki sebagai ‘Presiden Malioboro’. Dalam bunga rampai Orang-Orang Malioboro, penyair Iman Budhi Santosa mengenang Umbu sebagai sosok telaten yang fasih mengubah pertemuan di warung kopi sehingga memunculkan banyak puisi.
Umbu mengenalkan sastra dengan cara yang tak biasa, kenang Iman. Bukan lewat teori yang sebagaimana dipelajari di kelas-kelas, Umbu mengenalkan sastra sebagai kesatuan kehidupan. Dalam Miraj Sang Guru Tadabbur, Cak Nun pun mengakui bahwa apa yang dikenalkan Umbu kepada murid-muridnya adalah ‘kehidupan puisi’ dan bukannya ‘puisi kehidupan.’
“Narasi utama Umbu kepada saya dan ratusan muridnya di Yogya maupun di Bali adalah ‘kehidupan puisi’. Bukan ‘puisi kehidupan’, di mana kehidupan memuat nuansa-nuansa puisi. Melainkan kehidupan ini sendiri adalah puisi. Semua ciptaan Allah adalah puisi. Adalah poetika. Adalah inti keindahan. Bahkan seluruh isi Kitab Suci adalah puisi,” tulis Cak Nun.
Murid Umbu yang lain, Teguh Ranusastra Asmara menyebut alih-alih mengajarkan apa itu sastra dan puisi, Umbu memilih untuk mengajak para muridnya melihat dan mengalami langsung puisi melalui pengalaman. Pada satu malam, misalnya, Teguh pernah diajak berkeliling Malioboro oleh Umbu. Saat sampai di sebuah toko, tiba-tiba Umbu berhenti dan menunjuk seorang gelandangan yang tertidur di emperan.
“Dik, itu puisi! Coba amati, rasakan dan renungkan. Bangun puisi dengan suasana malam seperti ini. Cari kata yang sederhana untuk mewakili ide adik,” kenang Teguh dalam Orang-Orang Malioboro.
Dari Yogya ke Bali
Seusai menyemai dan menanam benih penyair di ‘taman’ Yogya, petualangan Umbu lantas berlanjut di Denpasar, Bali pada 1978. Di sana, Umbu mengulang apa yang telah dimulainya semenjak dari Yogya. Sambil menjaga rubrik sastra di Bali Pos, dengan telaten Umbu kembali mencari, menyemai, menanam, dan merawat benih penyair muda Bali era itu hingga menjadi –mengutip istilah Wayan Jengki—‘tukang kebun’ untuk taman kesusastraan yang diciptakannya.
Namun, lanjut Wayan, Umbu sesunguhnya tidak bermaksud mencetak barisan penyair. Ia hanya memberikan sentuhan puisi kepada jiwa-jiwa yang gelisah menemukan jati diri. Bagi Umbu, menjadi penyair atau tidak adalah soal pilihan hidup. Umbu selalu menekankan, profesi apa pun yang ditekuni seseorang, maka wawasan dan apresiasi puisi semestinya hadir dalam jiwanya. Karena, menurut Umbu, puisi adalah kehidupan, dan kehidupan adalah puisi.
Hingga akhir hayatnya, Umbu masih terus menemani dan merawat taman kesusastraan itu tanpa pamrih. Kini, genap setahun sudah Umbu Landu Paranggi berpulang ke Sang Maha. Apa yang ditorehkannya dalam khazanah kesustraan Indonesia meninggalkan jejak yang tak terbilang. Menjadi catatan penting, bahwa ketersohoran nama Umbu justru muncul dari pilihannya untuk menjauh dari sorotan dan hiruk-pikuk publik.
Penyair misterius, presiden malioboro, manusia puisi, dan ‘tukang kebun’ taman kesusastraan itu telah berpulang. Sebagai penyair, Umbu tak meninggalkan jejak berupa karya buku, sebab Umbu memang tak pernah mencetak buku antologi puisinya, namun ia mencetak dan meninggalkan sesuatu yang lebih berharga: manusia puisi.
Selamat jalan Umbu Landu Paranggi. Selamat bermesraan dalam kesunyian bersama Sang Maha Puisi. In Memoriam Umbu Landu Paranggi (1943-2021). (*)

Haryo Pamungkas, juru ketik sutera.id dan penulis buku kumpulan cerpen ‘Mawar & Mayat’.