Sutera.id – Kelompok seni mahasiswa Teater Rayon Sastra (TERAS) PMII FIB UNEJ menggelar pertunjukan Teater Raya ke-5 di Gedung PKM UNEJ pada Rabu, 30 Maret 2022 pekan lalu. Mengangkat naskah ‘Sumur Tanpa Dasar’ karya Arifin C. Noer (1941-1995), pertunjukan TERAS disambut baik oleh para pegiat seni maupun kalangan mahasiswa dan masyarakat umum.

Haryo Pamungkas dari sutera.id berkesempatan ngobrol secara daring dengan ketua PMII FIB UNEJ Rizal Kurniawan dan sutradara pertunjukan Tanzilul Furqon. Kami membicarakan soal proses kreatif TERAS, tantangan pra pertunjukan, dan utamanya tujuan di balik pemilihan naskah Sumur Tanpa Dasar.

Obrolan berangkat dari satu pertanyaan: mengapa mereka memilih naskah Sumur Tanpa Dasarnya Arifin C. Noer?

Rizal menyebut, pemilihan naskah Sumur Tanpa Dasar menjadi pembeda Teater Raya ke-5 dengan sebelumnya. Menurutnya, ini merupakan percobaan baru bagi awak TERAS untuk keluar dari pakem realis baik dari segi alur maupun gaya pementasan.

“Pada dasarnya TERAS bukan diisi oleh anak-anak pegiat teater, Mas, tapi lebih pada ruang belajar bareng sekaligus bentuk pengkaderan melalui seni. Kesadaran bahwa TERAS adalah ruang belajar itulah yang membuat kami memilih naskah Sumur Tanpa Dasarnya Arifin C. Noer; pemilihan naskah yang lebih eksperimental dan cenderung keluar dari pakem realis ini juga menjadi pembeda Teater Raya ke-5 dengan sebelumnya,” terang Rizal.

BACA JUGA 3 Novel Jawara yang Sebaiknya Tidak Dibaca saat Berpuasa

Dibanding karya sastra era 60-70an, eksperimentalistik Sumur Tanpa Dasar memang sedikit berbeda. Menurut Ensiklopedia Sastra Indonesia, naskah yang ditulis Arifin pada 1964 itu terang bukan lakon realis namun juga tidak berciri absurditas murni—dan untuk itu agaknya tepat apabila dipilih sebagai naskah untuk belajar dan percobaan keluar dari pakem realis.

Dialog pembuka Jumena Martawangsa, “kalau saya bunuh diri, lakon ini tidak akan pernah ada,” barangkali menjadikan Jumena tokoh drama modern Indonesia pertama yang menyadari bahwa dirinya fiktif. Setidaknya, melalui kutipan ini, Arifin dengan sangat hati-hati mengajak pembaca dan penoton bermain-main antara dunia nyata dan pikiran.

Kehadiran Jumena Martawangsa yang cukup dominan di keseluruhan naskah, disertai dengan pelbagai dialog yang panjang, juga watak yang kaya, menjadi hal lain mengapa naskah ini pas digunakan untuk bahan pembelajaran yang menantang keaktoran.

“Sumur Tanpa Dasar ‘uniknya’ sama sekali tidak berciri absurditas murni, seperti dalam karya-karya sastra modern Indonesia era 70-an, tetapi justru memperlihatkan upaya pesenyawaaan kreatif antara tradisi teater modern Barat pasca-realisme, teater tradisional, teater rakyat, utamanya lenong Betawi dan tarling Cirebon.”

Di satu sisi, sutradara Tanzil juga menyebut ada alasan lain di balik pemilihan naskah Arifin. Utamanya, soal kritik sosial Sumur Tanpa Dasar yang, meski ditulis berdasarkan latar dan kontruksi sosial-budaya Indonesia dekade 70-an, rupaya masih relevan dengan kondisi hari ini.

Kritik yang hendak disampaikan Arifin saat itu, kata Tanzil, (masih) relevan dan bisa menjadi bahan perenungan oleh saya, aktor, penonton, dan kita semua. Utamanya, soal orang-orang modern yang kelewat materialistis, soal pertanyaan ulang relasi kebahagiaan dan materi.

“Harta dan kekayaan, misalnya, dapat membuat masing-masing dari kita saling curiga dan bersyakwasangka terhadap orang lain, tentu alasannya karena takut kehilangan harta yang sudah dikumpulkan. Jadi, lewat naskah itu saya ingin mengajak diri saya, para aktor, dan penonton untuk bermuhasabah dan mempertanyakan ulang apakah kebahagiaan memang selalu berhubungan dengan materi,” ujarnya.

BACA JUGA Cerpen Sekongkol

Lewat pengantarnya, sastrawan Abdul Hadi W.M menulis:

Kekosongan dan kesia-siaan hidup inilah yang ingin disorot oleh Arifin C. Noer dalam lakon ini. Kekosongan dan kesia-sian ini merupakan bagian utuh dari kehidupan modern, sebagai suatu sisi tragis di balik keberhasilannya dalam mengatasi masalah-masalah kebendaan dan keduniawian….

“… Ketragisan ini semakin mencuat menakala sang tokoh menyadari bahwa ia telah kehilangan akar kerohanian dan tercerabut dari kefitriannya sebagai manusia, tak kenal lagi akan kampung halamannya, sehingga menjadi asing dari dirinya, Tuhan dan dunia sekitarnya. Ia tidak lagi merupakan makhluk historis dan spiritual yang bersilsilah pada Adam di hadapan kesia-siannya.”
*

Lepas dari obrolan yang menyenangkan itu, lewat tulisan ini saya memang tak berminat mengulas bagaimana jalannya pertunjukan TERAS pekan lalu. Untuk urusan seni drama, saya lebih sering menikmati apa-apa yang dipertunjukan sebagai mimesis kehidupan nyata yang menarik buat direnungkan. Lagipula, saya merasa tak punya kapasitas buat mengulas kualitas sebuah pertunjukan.

Dengan kata lain, hal paling penting dari 687 kata di tulisan ini adalah: saya cuma mau mengucapkan selamat kepada TERAS dan kawan-kawan PMII FIB untuk pertunjukannya. Teruslah bersuara lewat seni! Salam. (*)


Perwarta: Haryo Pamungkas

Editor: L&M