Di sepanjang sungai Tisza yang membelah sebagian Eropa Timur, siapa yang tak mengenal Kota Sze. Kota yang setiap akhir pekan selalu dibanjiri pengunjung dari kota lain untuk sekadar menikmati suasana kota. Kota yang terkenal dengan keindahan panoramanya karena hampir di setiap sudut kota ditumbuhi beraneka warna bunga Celosia.

Namun itu dulu, sebelum Kota Sze mendapat gelar baru sebagai kota para pembangkang. Kini, kejayaan Kota Sze sebagai kota seribu bunga perlahan mulai memudar. Orang-orang mulai enggan berkunjung lantaran tak mau dicap sebagai pembangkang maupun simpatisan para pembangkang.

Berawal dari sekelompok orang yang menamainya gerakan bawah tanah. Mereka adalah sisa-sisa para barisan sakit hati pendukung calon walikota yang kalah bersaing dengan walikota terpilih. Mereka membentuk front yang dipimpinan oleh Komandan Ro. Mantan serdadu berpangkat sersan yang getol menyuarakan pertentangan terhadap pemerintahan yang sah. Mereka selalu melontarkan isu-isu negatif bahwa pemerintahan Insinyur Vic merupakan rezim terkorup yang pernah ada.

Dalam berjuang, Komandan Ro bukanlah satu-satunya pemimpin di garis depan. Ia bersama Hant dan Zent, dua mantan politikus yang didepak dari partainya, terus menyusun kekuatan dengan menggalang bantuan dari pihak-pihak yang kecewa dengan kepemimpinan Insinyur Vic.

“Kita harus terus mengumpulkan kekuatan. Jangan sampai kendor,” ujar Komandan Ro di sebuah kafe.

“Benar,” Hant mengepalkan tangan kanannya. “Kita tak boleh loyo sebelum cita-cita mulia tercapai. Kita harus mengerahkan sebanyak mungkin orang-orang untuk turun ke jalan. Tak peduli tua-muda, besar-kecil, pria-wanita. Semua kita ajak turun ke jalan.”

Zent mengangguk, lalu menyeruput kopinya. “Aku dengar Igor Ra, si raja minyak dari Pulauazu bersedia memasok makanan.”

“Benar. Aku dengar juga Alex Jule si pemilik perkebunan anggur juga bersedia memasok minuman.”

“Olala… para demonstran akan mabuk kepayang jadinya.”

“Tentu yang akan Alex bagikan hanyalah air mineral biasa.”

“Kalaupun minuman anggur yang Alex bagikan juga tak mengapa. Biar para demonstran mabuk kepayang. Bukankah kita hanya memanfaatkan mereka?”

Tawa mereka bertiga pecah. Lalu membenamkan bibir mereka masing-masing ke dalam cangkir kopi.

BACA JUGA Cerpen Biografi Cemburu

***

Melihat keadaan Kota Sze semakin memprihatinkan, Insinyur Vic pun tak tinggal diam. Ia beserta jajarannya membuat tim yang dipimpin oleh Matt Klou, seorang veteran perang kemerdekaan yang pro terhadap pemerintahannya. Meskipun secara usia Matt Klou sudah tak lagi muda, namun semangatnya tak kalah dengan para pemuda. Ia bersuara paling lantang bahwa kelompok pemberontak adalah kelompok kiri yang harus segera diberantas dari Kota Sze. Semangat Matt Klou itulah yang kemudian perlahan memantik banyak orang mendukung Insinyur Vic.

“Ini jelas upaya kudeta. Mereka telah menggunakan cara-cara licik seperti yang dilakukan oleh pemimpin Kota Chopets. Mereka juga mengembuskan sentimen agama yang notabene mayoritas dianut oleh orang-orang kota kita, hingga munculah fobia. Kita harus melawan mereka. Namun dengan cara-cara yang dihalalkan oleh hukum.”

“Benar. Kita harus bergerak. Kita harus melawan agar konstitusi kota kita tidak diacak-acak. Mereka jelas-jelas ingin memasukkan ideologi baru. Ideologi yang bertentangan dengan kota kita.”

Seorang lelaki berikat kepala hitam tiba-tiba berdiri. Lalu memekik, “Hidup rakyat! Hidup konstitusi!”

Orang-orang pun serempak menirukannya.

“Sabar! Sabar!” seru Matt Klou. “Saya hargai semangat Saudara-saudara. Tapi kita juga harus berpikir jernih dan logis. Kita harus hati-hati. Jangan terburu-buru. Gerakan bawah tanah mereka sudah cukup terencana dan masif. Kita harus hadapi mereka dengan cara-cara cerdik. Kalau terburu-buru, sama saja kita memakan umpan yang mereka lemparkan.”

Seorang perempuan berkacamata berdiri, “Tapi kita tak bisa menunggu terlalu lama. Kita sudah terlampau muak dengan tingkah mereka. Kita harus melawan!”

“Ya, kita harus melawan!” seru yang lain.

“Sabar! Tenang! Seperti yang saya sampaikan tadi. Itulah cara licik mereka dengan menggoreng isu-isu negatif agar kita bereaksi.”

“Lalu, apa yang harus kita lakukan? Semakin lama kita diam, semakin lama pula kita ditindas. Bagaimanapun gerakan harus segera dilakukan.”

Matt Klou terdiam sejenak. “Sesegera mungkin aku akan menemui wali kota untuk melakukan langkah-langkah selanjutnya. Sebaiknya Saudara-saudara menyimpan energi. Jangan sampai terkuras habis. Perjuangan kita belum usai.”

***

Di salah satu sudut kota, di sebuah kafe, empat orang lelaki duduk melingkar dalam satu meja. Wajah mereka tampak tegang.

“Bagaimana dengan perkembangan arus bawah?” tanya Jenderal Bosh.

“Sudah clear. Segalanya berjalan sesuai rencana,” jawab Hant.

“Komandan Ro, bagaimana dengan parlemen?”

“Ada sedikit kendala. Tapi sudah teratasi. Mereka hanya menginginkan bagian.”

“Lalu, bagaimana dengan para penyokong?”

“Mereka sudah menggelontorkan dana. Semua sudah masuk rekening kita,” tutur Zent.

“Bagus. Berarti berjalan sesuai rencana. Kita tinggal menunggu waktu yang tepat untuk kudeta.”

“Tapi Jenderal,” sela Komandan Ro. “Tersiar kabar pemerintah juga telah menggalang kekuatan arus bawah. Mereka dipimpin oleh Matt Klou.”

BACA JUGA Pesan pada Peringatan Hari Teater Dunia 2022 di Jember

Jenderal Bosh terkejut. “Matt Klou? Veteran perang kemerdekaan?”

“Benar, Jenderal.”

Jenderal Bosh terdiam. Ia ampak gelisah. Dengan segera ia tutupi kegelisahannya dengan menyalakan cerutu.

“Kalian tahu kita sedang berhadapan dengan siapa?” Semua terdiam. “Kalian pastilah telah mendengar rekam jejak Matt Klou. Dialah kunci sukses negara ini dalam merebut kemerdekaan. Artinya apa?”

“Kita harus waspada, Jenderal,” sela Hant.

Exactly. Benar sekali. Kita tak boleh gegabah dalam bertindak. Jangan sampai rencana kita gagal total. Kita harus menyusun rencana cadangan sebagai antisipasi apabila rencana awal gagal. Selain itu, kita juga harus menggalang kekuatan baru.”

“Lalu, bagaimana dengan kekuatan yang kita miliki sekarang Jenderal? Apakah belum cukup kuat?”

Jenderal Bosh menggeleng. Semua saling beradu pandang. “Aku tahu siapa Matt Klou. Ia tak pernah main-main dengan pekerjaannya.”

Ponsel Jenderal Bosh berdering. Seseorang di seberang telepon tengah mengabarkan sesuatu. Jenderal Bosh mengangguk.

“Sebaiknya kita lekas bubar. Kita sudah tak lagi aman di sini. Kita komunikasi lewat ponsel. Jagan lupa ganti kartu kalian.”

Semua mengangguk. Lalu membubarkan diri tanpa sapa.

***

Pagi menguar. Kota Sze berselimut sepi. Tak ada keriuhan seperti biasanya. Toko-toko dan kafe-kafe tutup. Tak terkecuali penjaja bunga yang berderet di sepanjang jalan-jalan protokol pun ikut menghilang. Bunga-bunga dibiarkan tergolek tanpa tuan. Kota Sze kehilangan ruh.

Seminggu sebelum Kota Sze mendadak seperti kota mati, kerusuhan pecah di salah satu pinggiran kota. Tersiar kabar bahwa kerusuhan akan terus merayap hingga ke pusat kota. Penduduk Kota Sze pun tenggelam dalam ketakutan. Mereka membenamkan diri dalam kewaspadaan. Senapan dan pistol mereka kokang. Siap membedil para perusuh kalau-kalau merangsek masuk rumah.

Di televisi, berita mengabarkan ketidakpastian. Usulan diplomasi hanya sekadar wacana yang belum juga terlaksana. Serdadu pemerintah pimpinan Matt Klou terus menggempur kantong-kantong persembunyian pemberontak. Korban pun berjatuhan dari kedua belah pihak.

“Pejuang kita sudah mulai terdesak. Apa yang harus kita lakukan?” tanya Hant.

“Ya, aku sudah kehilangan dua puluh anak buahku. Ini sudah melampaui batas kewajaran. Aku tak ingin mengorbankan lebih banyak lagi,” timpal Zent.

“Aku mengerti apa yang menjadi kegelisahan kalian. Sudah dua hari ini aku kehilangan kontak dengan Jenderal Bosh. Aku sudah menghubungi orang-orang terdekatnya. Mereka pun tak tahu keberadaan Jenderal Bosh.”

“Lalu, apa yang harus kita lakukan?” Hant membanting botol bir, “Aku curiga kita telah dikhianati.”

Komandan Ro mengernyitkan kening. “Maksudmu?”

“Jenderal Bosh. Ia telah memanfaatkan kita. Kita menjadi tumbal atas nafsunya.”

Komandan Ro mencabut pistol, lalu menempelkan ujungnya ke kepala Hant. “Hati-hati kalau bicara. Atau pelor ini yang akan menjawab keraguanmu.”

Wajah Hant menegang. Ia mengangkat kedua tangannya.

“Sudahlah. Berhenti berdebat. Komandan, turunkan pistolmu. Tak ada gunanya kita saling bunuh. Hal terpenting saat ini adalah memikirkan bagaimana langkah kita selanjutnya.”

Komandan Ro menyarungkan pistolnya. Ia meludah ke lantai dan kemudian menyalakan rokok.

“Haruskah kita lambaikan bendera putih?” tanya Zent, penuh ragu.

Tak ada jawaban dari yang lain. Semua tengah berkelahi dengan pikiran masing-masing.

Jauh di sudut kota. Di sebuah rumah paling sunyi dan tak tersentuh orang-orang yang menyeru serbu serta bising peluru, dua pasang mata tampak saling beradu.

“Banyak celosia telah layu.”

“Benar. Para pemilik tak lagi menyentuhnya. Akan sangat disayangkan jika mengering, lalu mati.”

“Akan kutarik orang-orangku. Insinyur Vic berhak atas kota ini kembali.”

“Terima kasih, Jenderal Bosh.”

“Untuk sebuah kekuasaan, tak ada pengorbanan yang sia-sia.”

“Jasa-jasa Jenderal akan selalu kukenang.”

Mereka bersulang. Lalu tenggelam dalam gelas anggur masing-masing. Tawa pun pecah di antara keheningan.

Kudus, Oktober 2019-Desember 2020


M. Arif Budiman, lahir di Pemalang, Jawa Tengah. Karyanya dimuat di beberapa media massa dan daring. Sekarang menetap di Kudus.