Oleh Dwi Pranoto
Kawan-kawan,
Barangkali teater merupakan bentuk seni yang paling bersifat sosial dibanding bentuk-bentuk seni lain. Bukan hanya karena produksi teater biasanya melibatkan banyak orang dan ditonton pula oleh banyak orang, suatu khalayak sosial aktual. Teater bersifat sosial pun karena penerimaan dan respon khalayak penonton atas pemanggungan teater yang relatif langsung dapat mendorong pekerja teater untuk memikirkan konteks sosial dalam produksinya.
Pertanyaan pentingnya: bagaimana hubungan teater dengan masyarakat?
Jawabannya pasti sangat beragam, namun mungkin dapat dikelompokan dalam dua titik tolak berkait khalayak penontonnya. Pertama, berangkat dari memandang masyarakat sebagai konsumen; teater melayani keinginan khalayak dengan mengafirmasi cara hidup sosial yang dijalani oleh masyarakat.
Kedua, berangkat dari memandang masyarakat sebagai pelanggan; teater melayani kebutuhan khalayak dengan menginvestigasi problem-problem cara hidup sosial yang dijalani masyarakat.
Kawan-kawan,
Menutup pesannya untuk Hari Teater Dunia pada tahun 1962, Jean Cocteau menulis; “Konon mesin telah melayangkan pukulan mematikan pada teater. Untuk sesaat aku tak percaya, dan karena aku diminta Institut Teater Internasional untuk berbicara atas namanya, aku menyatakan, seperti menyeru untuk Raja-Raja kita dengan sedikit frasa yang berbeda: jika teater mati, panjang umur teater.”
Bagi Cocteau, seperti dinyatakan pada bagian awal paragraf pesannya, teater hidup di atas panggung dengan paradoks; antara sejarah yang akan terdeformasi seiring berlalunya waktu dan mitologi yang menjadi termantapkan bersama waktu.
BACA JUGA Tahadduts Sastra, Bincang Buku dan Sastra (di) Pesantren
Konteks paling kentara yang mendasari pesan Cocteau adalah perubahan sosial yang ikut membentuk sikap dan perilaku khalayak penonton teater. Masyarakat sebagai suatu totalitas, berlandas pada norma dan nilai sosial yang membentuk sikap, perilaku, cara berpikir, cara merasakan dan hubungan interaksi kolektif, telah mencair menjadi unit-unit individu terpisah.
Perubahan sosial ini secara timbal-balik mempengaruhi bentuk teater dan cara menonton dari khalayak teater. Teater kehilangan “daya magis” yang pernah pernah dimilikinya seperti pada masa jaya teater tradisi, seperti teater boneka (wayang), dan penonton meninggalkan norma dan nilai sosialnya di “penitipan pakaian” sebelum memasuki pertunjukan.
Enam puluh tahun kemudian, Peter Sellars, dalam pesannya pada Hari Teater Dunia 2022 ditengah perubahan sosial epik yang dipicu oleh pencapaian teknologi informasi dan diakselerasi oleh datangnya pandemi, menyatakan bahwa apa yang dibutuhkan dari teater bukanlah hiburan tapi kebersamaan.

Di tengah membanjirnya serangan media yang luas, pengalaman-pengalaman yang tersimulasi, dan ramalan-ramalan mengerikan yang diimplikasikan oleh pencapaian teknologi. Di tengah meredupnya perasaan, menyempitnya ruang hidup sosial, runtuhnya hubungan sosial, dan permukiman-permukiman yang menjadi ground zero aneh karena pandemi. Teater diharapkan menemukan kembali visi epiknya untuk memulihkan, memperbaiki, merawat, dan menetapkan tujuan hidup kolektif manusia. Peter Sellars menghendaki teater menjadi ritual baru, menjadi lembaga yang dapat merangsang dan menggalang kebersamaan dan kesetaraan hidup manusia.
Pesan Jean Cocteau yang ditulis dengan latar belakang pasang naik individualisme yang diimplikasikan oleh pencapaian teknologi mutakhir berkat revolusi industrial pada masa itu mendorong teater untuk memformulasikan dirinya guna menemukan relasi antara kehidupan individu yang isolatif dengan kehidupan sosial kolektif sebagai massa.
BACA JUGA Wacana Penyalin Cahaya: Warisan Genetis dan Kesadaran Etis
Jean Cocteau menyingkapkan sedimen-sedimen ilusif kehidupan teater masa lalu yang menghantui agar teater dapat bergulat dengan kehidupan aktualnya; “kematian” teater di tangan mesin-mesin. Enam puluh tahun kemudian Peter Sellars yang menulis pesannya dengan latar belakang kehidupan individual yang diintesifkan oleh meluasnya virtualisasi kehidupan sosial dan ancaman penularan virus pada masa pendemi justru memanggil kembali ruh ritual dalam tubuh teater.
Mendorong teater menjadi ritual baru, bagi Peter Sellars, merupakan cara untuk memulihkan kembali ikatan-ikatan sosial yang membuat individu kembali menemukan sensibilitas/ kepekaan sosial melalui hubungan timbal balik dengan individu lain. Lebih dari itu, pemanggilan ruh ritual dalam tubuh teater juga merupakan upaya untuk merangsang tumbuhnya kesadaran individu sebagai manusia yang hidup secara koeksistensi dengan makhluk hidup lain dan dengan lingkungan alam dari batu, angin, sampai produk teknologi.
Kawan-kawan,
Di Jember, bahkan mungkin juga di Indonesia, teater bukan hanya harus menginvestigasi problem-problem sosial dan merumuskan formulasi-formulasi “kebahasaan” yang tepat agar fungsi sosialnya dapat memiliki tujuan yang betul-betul dibutuhkan oleh masyarakat dan dapat dikomunikasikan dengan efektif.
Teater yang berpuluh tahun hidup di pinggiran kehidupan sosial seperti dipaksa untuk membangun kehidupan tersendiri dalam kelompok-kelompok komunal yang rapuh dan berbicara dengan dirinya sendiri. Keberadaan teater sebagai pertunjukan pemanggungan langsung ditantang oleh keberadaan medium pertunjukan baru populer dan diempaskan oleh kebijakan politik kultural yang relatif terdominasi oleh hukum pasar.
Kita harus mengakui kondisi hidup teater yang mengenaskan ini. Kondisi yang mengecilkan hati ini tidak cukup hanya diatasi oleh para pegiat teater yang dengan keras kepala menghibahkan hidupnya pada teater. Teater bukan hanya milik para seniman teater. Teater juga milik masyarakat luas.
Masyarakat seharusnya memiliki hak untuk mengenal teater dengan lebih baik agar dapat mengapresiasi dengan pantas dan mengambil manfaat dari keberadaannya. Teater harus dievakusi dari keberadaannya yang hidup di pinggiran sosial. Guna mengembalikan keberadaan teater pada situs sosialnya, masyarakat aktual, bagaimanapun, membutuhkan kebijakan politik kebudayaan yang punya tekad.
Selamat Hari Teater Dunia
Kita tak peduli teater sudah mati atau belum.
Dwi Pranoto.

Dwi Pranoto, penulis esai sosial dan budaya. Bermukim di Jember.