Dampak pandemi Covid-19 turut dirasakan para pelaku kesenian. Di Kabupaten Jember, Jawa Timur, misalnya, nyaris dua tahun pertunjukan teater tak digelar. Jika pun ada, penyelenggara terpaksa membatasi jumlah penonton, menyelenggarakan acara secara daring atau sebatas lingkup internal. Namun, kabar baik datang menjelang peringatan Hari Teater Sedunia. Tiga komunitas teater di Jember, yakni Gelanggang, Omah Paijo, dan Paradoksal bakal menggelar pertunjukan pada Sabtu-Minggu, 26 dan 27 Maret 2022 di Al-Kautsar Education Center, Wirolegi.

Dalam pra pertunjukan, Senin (21/3), Yuda, di depan para insan teater yang menginisiasi acara tersebut menegaskan, bahwa gelaran pertunjukan tersebut untuk menambel ‘lubang’ saat penampilan nantinya. “Kami mengundang dua praktisi teater Ali Ibnu Anwar dan Abu Bakar untuk memberikan masukan pada pra pertunjukan ini,” jelas Yuda.

Yuda, yang juga tercatat sebagai anggota teater Gelanggang, membuka agenda tersebut. Ruang diskusi yang disulap menjadi panggung sementara terbagi menjadi dua bagian: panggung dan tempat penonton. Kemudian, ketiga komunitas teater tersebut bergantian menggelar pertunjukan. Gelanggang berkesempatan untuk tampil pertama. Kemudian dilanjutkan dengan Omah Paijo dan diakhiri oleh Paradoksal. Dua jam dua puluh menit lamanya pementasan sekaligus pengaturan panggung dilakukan. Setelah ketiganya tampil, sekitar pukul 23.00 WIB barulah dimulai sesi diskusi pementasan.

Reservasi tiket pertunjukan 3 komunitas teater Jember pada 26 dan 27 Maret 2022

Praktisi teater sekaligus CEO sutera.id Ali Ibnu Anwar mendapat giliran pertama untuk memberikan kritik. Sembari melinting tembakau, Ali menjelaskan bahwa ketiga komunitas tersebut mempunyai karakter masing-masing. Ali berpendapat, bahwa setiap komunitas sebaiknya memilih kesadaran ruang baik di dalam atau luar ruangan yang menjadi satu bagian antara aktor dan penonton. Sebab, setiap kelompok memiliki karakter dan tempat yang berbeda sesuai dengan kebutuhan.

“Mungkin kesadaran itu (ruang) yang perlu dicoba tatap ulang oleh teman-teman. Di mana pertunjukan itu akan dipertunjukan nantinya,” tuturnya.

Di sisi lain, Abu Bakar menilik pementasan tersebut dari kacamata diskursus sosial. Ia membaca pementasan dari Omah Paijo tidak seperti biasanya dengan akhir pementasan yang membuka makna tertutup. Abu berpendapat bahwa judul pementasan dari Omah Paijo, Matinya Seorang Diplomat, membuatnya memikirkan ulang kata ‘mati’ sebagai konsep teoritis seperti matinya pengarang.

“Kalau ada istilah ‘matinya’, saya selalu ditarik ke konsep teoritis tentang matinya pengarang, bahkan matinya tuhan. Matinya subjektivitas, misalnya seperti itu dan yang ada hanya objektivitas. Jadi yang membunuh bukan seseorang, tapi sistem, misalnya,” jelas Abu.

Beberapa kritik dan diskusi telah dilakukan, akhirnya kedua Ali dan Abu menyampaikan pernyataan penutup. Ali menegaskan kembali terkait masukannya tentang tatapan kembali tentang  kesadaran ruang. Lalu, dengan tidak disangka, Abu menutupnya dengan sebuah banyolan.

BACA JUGA Srawung Sastra ke-28, Ziarah ke Timur

“Jangan lupa undang Rara!” ujar Abu dengan santainya.

Sontak, seisi ruangan menyambut hal itu dengan tawa yang riuh. Ingatan kami terpaut pada ritual Rara,  pawang hujan di MotoGP Mandalika 2022. Dan lalu, dinginnya malam mengantar kami pada jam pulang.

Lepas dari itu, pada akhirnya, para pelaku teater dan penonton di Jember bisa kembali mengisi panggung pertunjukan yang sempat kosong.

Pewarta: M. Iqbal Al-Fardi.
Editor: L & M.