Cerpen Risen Dhawuh Abdullah

Kedatanganmu yang tidak kuduga siang itu, membuatku berhadapan dengan dua pilihan. Kita sudah begitu lama tidak bertemu. Setelah kau menyampaikan kabar itu, aku merasa ada sebilah pedang menusuk dada.

Kau pun berbagi cerita, jika anakku dalam keadaan baik-baik saja, di bawah pengawasan pendekar tua yang sudah banyak sekali berjasa padaku; untuk bertahan di tanah Jawa ini. Dia, Nini Ragarunting.

“Ia tidak betah hidup di Majapahit, Mei. Rupanya ia menurunkan sifat ibunya yang sederhana, tidak begitu suka dengan hal yang gemerlap,” katamu.

Sebagai seorang tabib, aku telah berjanji kepada guruku—ia seorang tabib yang namanya sudah harum—akan selalu menolong sesama, dalam keadaan apa pun, berusaha menyingkirkan hal-hal yang bersifat pribadi.

Namun, kini, janji itu terasa berat untuk dilaksanakan. Kau memohon kepadaku agar aku menolong istrimu Sakawuni yang sedang bertarung mati-matian dengan maut.  Ia akan melahirkan. Sungguh, ini sangat berat! Demi apa pun! Rasanya aku ingin membiarkan istrimu itu mati dan bayi yang dikandungnya tidak selamat.

Aku sudah cukup tersiksa dengan sikapmu. Rasanya kebaikan Sakawuni terhadapku—juga mendiang suamiku—tidak cukup untuk membayar apa yang didapatkannya saat kami menjadi buronan Kerajaan Gelanggelang. Mengapa kau tidak mencariku hingga ketemu setelah aku terkena pukulan mematikan petinggi Kediri itu di lereng Gunung Arjuna? Seputusasakah itu dirimu?

Kau pendekar, kau kesatria. Kau idaman para perempuan. Kau baik, suka menolong. Kau tidak pantang menyerah. Tapi untuk urusan aku, sekali lagi, mengapa kau tidak mencariku tanpa mengenal kata menyerah? Seakan-akan aku tidak penting dan kau dengan entengnya melupakan begitu saja. Apakah karena hari-harimu ditemani Sakawuni, sehingga kau menganggap ia sebagai penggantiku?

Hampir setiap orang yang kujumpai menilaiku, kalau aku ini seorang yang penyabar, kuat menghadapi segala cobaan, dan suka menolong orang lain yang kesusahan—apalagi yang sedang menderita sebuah penyakit. Aku tentu tidak pernah merasa seperti itu. Aku hanya menanamkan perkataan guruku ketika di tanah leluhur—sebuah negeri nun jauh bernama Mongolia—bahwa kawan sejati itu bukan siapa-siapa, melainkan kebaikanmu sendiri. Itulah nasihat yang selalu aku camkan.

Aku tidak selamanya seperti apa yang disebutkan orang-orang. Aku juga manusia biasa yang punya nafsu, kepentingan pribadi yang tidak boleh diganggu, rasa ingin memiliki tanpa harus diganggu oleh orang lain. Untuk permintaan yang satu ini, rasa-rasanya aku ingin menghindar, walau yang meminta suamiku sendiri.

Aku ingin mengkhianati janjiku sebagai seorang tabib. Oh Dewata, mengapa Kau selalu menghadirkan masalah pada setiap kali memberiku kebahagiaan? Mengapa Kakang Kamandanu harus datang bersama dengan kabar itu?

Tahukah kau? Ketika aku mendapatimu bermesraan dengan Sakawuni di pinggir pasar sebelum Desa Pasuruan I, aku seperti sudah tidak berharga. Sementara kau pernah berucap kata padaku di depan Nini Ragarunting kalau kau akan setia, akan dengan perlahan mengembalikan nama baikku di tengah aib yang menimpaku akibat dari perbuatan busuk kakakmu. Inikah yang kausebut sebagai kesetiaan? Kata orang bijak, seorang kesatria akan berpegang teguh pada janjinya. Mengapa kau …

Aku menyesal waktu itu malah berusaha menghindar dan membohongimu bahwa aku adalah Nyai Paricara bukan Mei Shin. Andai saja semuanya bisa kembali, tentu aku akan memelukmu tanpa peduli keramaian pasar. Mungkin aku akan terus memelukmu hingga Sakawuni—pendekar lengan seribu itu—datang dan memergoki kita. Aku ingin ia juga merasakan apa yang kurasakan. Sayangnya, kata penyesalan diciptakan untuk sebuah peristiwa yang sudah terjadi.

Aku teringat masa-masa susah bersama almarhum suamiku. Saat itu Gelanggelang baru saja berhasil mengambil alih pemerintahan Singasari—sebuah negeri yang namanya harum sampai ke negeriku. Katamu, adipati Gelanggelang membalaskan luka lama. Leluhur Singasari yang bernama Ken Arok dianggap telah merebut apa yang menjadi hak trah Wangsa Panjalu.

Aku dan suamiku—Lou—dituduh sebagai mata-mata utusan Kubilai Khan. Padahal hal itu tidak benar. Kami terdampar di tanah Jawa, akibat dikejar-kejar prajurit negeri kami yang menginginkan senjata sakti buatan seorang tawanan dari Singasari.

Suamiku terkena pukulan seorang pendekar sakti, petinggi Kediri. Pukulan itu meremukkan lambungnya. Ia yang pada awalnya lincah—gerakannya bak secepat kilat— langsung tidak berdaya. Untungnya aku bisa membawa lari suamiku, karena pada saat itu datang seorang pendekar yang mengacaukan prajurit Kediri yang mau menangkap kami.

BACA JUGA Cerpen Layang-Layang di Pohon Nagger Warits Rovi

Aku pun mencari dedaunan dan jamur untuk membuat ramuan, mengurangi rasa sakit yang diderita suamiku. Kau datang tiba-tiba, kau meloncat dari bawah saat aku kesusahan meraih jamur yang menempel di batang pohon bagian atas. Kau menebak kalau aku

akan mengobati seseorang yang sedang terkena luka dalam. Aku terkesan sekali dengan kemunculanmu. Sampai sekarang, aku masih terus mengenangnya sebagai hal yang romantis dalam hidupku. Aku sungguh terkesan.

Saat suamiku telah tiada, kau tidak jenuh menghiburku. Benih-benih cinta pun tumbuh. Aku tidak mungkin juga tidak melaksanakan wasiat dari suamiku, kalau aku harus ikut denganmu. Kau berencana menikahiku. Petaka datang, kakakmu datang di tengah-tengah kebahagiaan kita berdua.

Di awal bertemu dengannya sejatinya aku sudah mendapat firasat yang tidak enak—ia menolongku yang pingsan di pinggir jalan setelah aku berlari dari rumahmu karena perkataan ayahmu yang begitu menyakitkanku. Ia berhasil menodaiku dengan memberikan ramuan yang membuatku birahi.

Itulah, alasan lain yang membuatku menaruh hati padamu. Kau mau menikahiku, walau aku mengandung anak bukan dari titisanmu. Kita pun tinggal di lereng Gunung Arjuna, menjauhkan diri dari orang-orang Kediri.

Ketulusanmu membuat hatiku juga terpanggil, untuk menyayangi ponakanmu yang kaubawa bernama Panji Ketawang. Rupanya apa yang kualami, juga dialami oleh gadis yang dulu kaupuja, yang kemudian direbut oleh kakakmu—Panji Ketawang itulah buktinya. Ya, kau telah menceritakan segalanya. Aku makin kagum padamu, sekaligus kasihan.

“Hal itu yang kemudian membuatku melampiaskan kekesalan dengan mempelajari ilmu kanuragan,” ucapmu. “Ternyata pada hati yang sakit, tersimpan sesuatu yang sangat berharga.”

Namun aku menyesalkan sesuatu darimu. Kau begitu lama pergi jelang aku melahirkan anakku. Hari-hariku gelisah. Padahal kau hanya pergi berburu untukku. Kaubilang nyasar setelah sampai rumah dan hampir saja mati dikeroyok petinggi-petinggi kerajaan Kediri. Aku ingin percaya, tapi ada sesuatu yang mengganjal. Aku tidak bisa mengungkapkan itu padamu.

BACA JUGA Wacana Penyalin Cahaya: Warisan Genetis dan Kesadaran Etis Ilda Karwayu

Jika teringat itu, aku ingin menangis. Aku langsung menganggapmu sebagai lelaki paling goblok di seantaro tanah Jawa ini. Apa kau tidak punya pikiran, meninggalkanku begitu lama? Apa yang membuatmu pergi hingga berhari-hari? Rasa-rasanya kalau hanya tersesat, tidak akan memakan waktu selama itu. Nini Ragarunting sampai menyuruh suaminya untuk mencarimu, kau tidak juga ditemukan. Aku sungguh tidak enak pada mereka, telah banyak merepotkan.

“Baik, aku ganti pakaian dulu, dan mempersiapkan obat-obatan yang kira-kira nanti diperlukan,” ucapku dengan berat hati.

Akhirnya aku mengalah. Aku kalahkan keegoisanku. Kubiarkan hatiku koyak tak berbentuk, demi keselamatan istrimu dan bayinya. Demi kemanusiaan. Aku pun berangkat menuju kediaman di mana istrimu berada.

Istrimu mengerang kesakitan. Aku mendekat padanya dan segera melakukan apa yang harus aku lakukan. Bayangan-bayangan masa lalu kembali berdatangan. Tentang dirimu. Tentang Sakawuni. Aku kembali disesaki keraguan. Mengapa hal seperti ini harus kualami, oh, Dewata?

Kau pun membentakku. Aku memang sengaja melama-lamakan penanganan. Ternyata tak segampang ucapan, mau melaksanakan apa yang menjadi kewajibanku di hadapan istrimu. Walau begitu, akhirnya aku berhasil menyelamatkan bayi yang ada di perut istrimu. Ia seorang laki-laki tampan sepertimu.

Kau dan istrimu terlihat bercakap-cakap. Kau mengelus-elus rambut Sakawuni. Perempuan itu menyuruhmu untuk memberi nama bayi yang baru saja lahir. Aku yang sedang di dekat meja tidak jauh dari ranjang tempat Sakawuni terbaring mempersiapkan ramuan agar pendarahan yang terjadi berhenti, ingin sekali membanting mangkuk.

Ya, istrimu pendarahan. Mungkin jika kau tahu apa yang sedang kupikirkan, jelas kau akan mengatakan kalau aku perempuan berhati busuk. Aku terus berdoa supaya istrimu tak bisa selamat. Semua itu kulakukan karena dirimu, Kakang Kamandanu.

Aku ingin memilikimu sepenuhnya. Aku bukan orang lain. Aku masih sebagai istrimu. Kata cerai tidak pernah kaukeluarkan dari mulutmu. Kau hanya menganggapku  mati, padahal aku masih hidup. Aku masih istrimu. Aku masih istrimu. Masih istrimu! Aku ingin hidup bersamamu, hingga akhir hidupku.

Aku ingin kembali menikmati pelukanmu yang begitu hangat. Aku minta maaf jika telah berdoa supaya Dewata tidak memberi selamat kepada istrimu. Jangan salahkan perasaanku ini. Semua ini terjadi, juga ada peranmu. Sekali lagi, jangan salahkan aku!

Aku ingin memilikimu sepenuhnya, tanpa harus ada yang mengusik, tanpa cemburu. Aku ingin seperti dulu, kau sepenuhnya mencintaiku, tidak seperti sekarang yang harus kau bagi dua cinta itu. Kini aku telah selesai membuat ramuan untuk istrimu. Kulangkahkan kaki. Aku tidak pernah menduga, kalau istrimu akan mengatakan sesuatu yang menyenangkan hatiku—aku ingin berteriak melepas kecamuk ini.

Istrimu tidak mau meminum ramuanku. Katanya sudah waktunya ia pergi. Ia menitipkanmu padaku. Juga anakmu yang baru saja lahir. Aku jadi sedikit merasa bersalah. Namun perasaan itu hilang seketika, saat aku menangkap sorot mata istrimu jelang

kematiannya. Sorot matanya seperti mengatakan kalau ia tidak rela bila kau kumiliki sepenuhnya.

Jejak Imaji, 2021-2022

*Cerita ini berangkat dari serial Tutur Tinular (1997), dengan sudut pandang yang lain.


Risen Dhawuh Abdullah, lahir di Sleman, 29 September 1998. Alumnus Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan (UAD) 2021. Bukunya yang sudah terbit berupa kumpulan cerpen berjudul Aku Memakan Pohon Mangga (Gambang Bukubudaya, 2018). Alumni Bengkel Bahasa dan Sastra Bantul 2015, kelas cerpen. Anggota Komunitas Jejak Imaji dan Luar Ruang. Kontributor tetap di jejakpustaka.com. Bermukim di Bantul, Yogyakarta. Bila ingin berkomunikasi bisa lewat @risen_ridho.