Oleh Ilda Karwayu

“… keluarga, keluarga, emang fiktif tu gaya konsep keluarga!”

Dari menit pertama hingga akhir pemutaran Penyalin Cahaya, penggalan monolog Tariq (Jerome Kurnia) di atas, yang menyoal kultur kekeluargaan di Teater Mata Hari, menjadi sekop penggali pikiran saya untuk menilik film panjang pertama Wregas Bhanuteja ini.

Bicara keluarga, terdapat tiga lingkup yang tampak representatif dalam film ini: keluarga Suryani (Shenina Syawalita Cinnamon), keluarga Rama Soemarno (Giulio Parengkuan), dan keluarga Teater Mata Hari itu sendiri. Karakter setiap anggota keluarga di masing-masing lingkupnya—dalam film penyabet 12 Piala Citra di Festival Film Indonesia (FFI) 2021 ini, bagaimanapun, berhasil menumbuhkan karakter tokoh secara bertahap dan menguatkan motivasi setiap tindakan yang diambil.

Suryani, atau yang dalam film akrab disapa Sur, merupakan protagonis; dihadirkan sebagai mahasiswa tahun kedua Jurusan Ilmu Komputer yang baru bergabung di kelompok teater tingkat universitas: Teater Mata Hari. Karakter Sur kemudian ditumbuhkan sebagai salah satu mahasiswa berprestasi—sebab berkuliah dengan bantuan beasiswa sponsor alumni di tingkat fakultas. Tak hanya dalam hal akademis, Sur juga berprestasi di kegiatan mahasiswa; dia turut andil memajukan eksistensi kelompok teaternya melalui penggarapan website Teater Mata Hari.

Sayangnya, prestasi kedua mendatangkan petaka bagi  prestasi pertama. Beasiswa Sur dicabut setelah potret swafotonya—dalam keadaan mabuk—terunggah di media sosial miliknya, dan dipergoki oleh pihak pemberi beasiswa. Petaka tersebut adalah awal tumbuhnya konflik dalam film ini. Sur, yang sejak awal dilarang oleh sang bapak (Lukman Sardi) pergi ke pesta perayaan kemenangan Teater Mata Hari atas sebuah festival, seperti terkena karma karena tetap pergi ke pesta—di sana dipaksa mabuk, kemudian pulang dini hari diantar taksi.

Konflik yang berakar dari ketidakpatuhan anak kepada orang tua secara eksplisit menggiring penonton untuk berpikir: seandainya Suryani menuruti perintah bapaknya, dia tidak akan menghadapi rentetan petaka. Namun, jika Sur menurut, maka film ini tidak akan ada. Dilihat dari sejumlah adegan, komunikasi antara bapak-anak dan ibu-anak dalam keluarga Suryani amatlah berbeda; tak ada tegangan hubungan, hanya kekakuan komunikasi. Pada setiap adegan, bapak kerap menunjukkan sikap teguh pada prinsip tapi cenderung berbelit-belit dalam menyampaikannya kepada Sur. Lain halnya ibu (Ruth Marini) yang pasif tapi berempati penuh kepada anak perempuan semata wayangnya itu.

Berkaca dari itu semua, Sur seperti mewarisi sikap teguh pada prinsip dari sang bapak dan sikap tegas dari ibunya sebagai bagian dari karakter diri. Dan, petaka pencabutan beasiswa yang dihadapi oleh Sur—yang berimbas pula ke kondisi keluarganya—telah menguatkan kedua karakter warisan orang tuanya tersebut. Mengamati lebih dalam, karakter tak dapat dipisahkan dari kelas sosial para tokoh. Keluarga Sur merupakan representasi keluarga kelas bawah. Dan, adegan yang membenturan tokoh-tokoh dari kelas sosial berbeda telah memunculkan tegangan bagi film berdurasi dua jam sepuluh menit ini.

Kondisi bak “sudah jatuh tertimpa tangga” segera dihadapi keluarga kelas bawah ketika berurusan dengan keluarga kelas atas—keluarga Rama Soemarno. Dalam upayanya mempertahankan beasiswa, Sur menemukan kejanggalan, yang kemudian diduganya sebagai tindak kekerasan seksual terhadap dirinya oleh entah siapa. Sayangnya, langkah Sur untuk melibatkan Dewan Etik Fakultas dalam mengusut pelaku ternyata malah menjerumuskannya ke dalam situasi merugikan. Mereka membocorkan bukti kekerasan yang telah dikumpulkan Sur kepada para civitas akademik—salah satunya kepada Dewan Beasiswa.

Esoknya, Dewan Beasiswa memanggil Sur beserta orang tua atas tuduhan pencemaran nama baik Rama Soemarno, salah satu seniornya di Teater Mata Hari. Ketegangan yang tercipta akibat benturan kelas dalam adegan tersebut bagi saya berhasil melampaui ekspektasi. Dengan segera penonton terbawa kesal atas sikap Rama dan kuasa hukum dari keluarganya, sebab mereka terlihat tak berempati sedikit pun terhadap keluarga Sur. Akan tetapi, secara objektif, tindakan keluarga Rama sah-sah saja dilakukan; Rama, sebagai yang merasa nama baiknya dicemarkan, berhak membawanya ke meja hijau. Begitu pula Sur, sebagai yang merasa tubuhnya mendapat tindak kekerasan seksual, berhak mengusut pelaku sampai ada bukti valid.

Klip film Penyalin Cahaya. Sumber: Official Trailer Penyalin Cahaya

Dalam adegan tersebut, kita seperti dikejutkan sekaligus tak dikejutkan oleh tindakan bapak yang menyuruh Suryani minta maaf kepada Rama. Keterkejutan muncul karena sikap tersebut tampak kontradiktif dengan karakternya yang teguh pada prinsip; akan tetapi, secara bersamaan, kita tak akan terkejut sebab sikap demikian kerap muncul dari masyarakat kelas bawah bilamana menghadapi masalah semacam itu. Dari itu semua, saya berasumsi bahwa, bisa jadi, menjauhi masalah—terutama yang menyangkut soal uang—merupakan prinsip hidup sang bapak.

Kokohnya sikap pasif ibu tampak pula pada adegan di ruang Dewan Beasiswa; sikapnya, yang tak berkomentar meski tahu dirinya mampu mendukung argumentasi anaknya, seperti cermin dari sikap yang akhirnya diambil Sur untuk menyelesaikan kasusnya terhadap Rama. Pun, empati tak luntur meski terlambat: di atas motor dalam perjalanan pulang usai peristiwa di ruang Dewan Beasiswa, Suryani tak kuasa menahan tangis sambil memeluk ibunya setelah menyimak pandangan ibunya atas kasus kekerasan seksual tersebut.

BACA JUGA Ulasan Film Pendek Lemantun Wregas Bhanuteja

Satu hal yang menguatkan tegangan adalah permainan uang. Siapa yang memiliki uang, dan tahu cara menggunakannya, akan meraih posisi/ kuasa lebih tinggi di setiap situasi yang dihadapi; dan itulah yang nantinya dijadikan senjata oleh keluarga Rama guna menumpas semua masalah mereka. 

Beranjak ke keluarga Rama sebagai representasi keluarga kelas atas: adalah rumah berpekarangan luas nan berkelas, ayah (Yayan Ruhian) seorang pelukis terkenal, ibu (Elisabeth N.A Pasaribu) yang berpikiran terbuka, dan akses politis ke sejumlah instansi. Dibesarkan dengan lingkungan demikian, saya pikir masuk akal bila Rama tumbuh dengan kepekaan artistik yang tajam—cenderung obsesif pada kesempurnaan, pun secara enteng memanfaatkan akses politis secara tak etis. Selain itu, diasuh oleh dua orang tua berkepribadian terbuka (?), bisa jadi, membuat Rama mampu menyadari serta—akhirnya—menerima fetish dirinya.

Dan, fetish iniah yang jadi “biang kerok” seluruh kekerasan—dalam bingkai film—di Teater Mata Hari. Tanda petik dua disematkan pada frasa sebelumnya sebagai pengingat bahwa fetish tidak selalu masuk ke dikotomi buruk; ia bisa saja santai masuk ke dikotomi baik bila terjadi kesepakatan di awal untuk segala tindakan yang dimotivasi oleh fetish. Dalam Penyalin Cahaya, tindakan Rama atas dorongan fetish-nya tak mendapat kesepakatan sama sekali dari tiga orang temannya: Farah (Lutesha), Tariq, dan Suryani—yang tubuhnya disentuh, dipotret, dan kemudian hasil jepretan tersebut dipergunakan sebagai properti pementasan Teater Mata Hari. Karena dilakukan tanpa kesepakatan (consent), maka tindakan Rama tergolong kekerasan seksual.

Kultur kekeluargaan di Teater Mata Hari, bagaimanapun, ternyata telah melanggengkan tindakan consensus-less (tanpa kesepakatan) tersebut. Perkembangan dari karakter seorang Rama, yang membuat tegangan di film ini semakin menjadi-jadi, adalah sikap manipulatif demi mengejar ambisinya sendiri. Rama menggunakan “keluarga” sebagai tameng: laku terbuka antar anggota, bersikap tak sungkan, saling memahami, dll. Dan, salah satu benang merah keterlibatan kedua orang tua Rama atas pembiaran sikap anak mereka adalah izin mengadakan pesta secara rutin di kediaman mereka tanpa pengawasan objektif. Jika Rama tersandung masalah, ayahnya dengan segera membantu—secara eksplisit tentu saja, dan sekali lagi, uang beserta kekuasaan menjadi senjatanya.

Lihatlah bagaimana dengan entengnya ayah Rama bersedia membiayai kuliah Sur sampai  selesai. Di adegan tersebut penonton dengan segera akan paham bahwa tindakan tersebut bukanlah tanpa pamrih: utang budi semacam itu menjadi rantai menjerat idealisme Sur dalam memperjuangkan keadilan hukum bagi kasusnya.

Selanjutnya, adalah Tariq dan Farah, dua senior Sur yang ternyata juga korban kekerasan oleh Rama. Keduanya akhirnya mau buka suara setelah mendapati Sur dipaksa/ terpaksa menyerah. Dari dua karakter ini kita melihat sebuah upaya manusia mencari ruang bernama “keluarga”.

Tokoh Farah kerap hadir di adegan-adegan genting dan tak pernah absen memperingatkan Suryani agar keluar dari Teater Mata Hari. Ia merupakan salah satu korban Rama yang sempat percaya pada rasa aman yang dijanjikan di Teater Mata Hari. Ternyata, latar belakang bergabungnya Farah di kelompok teater itu pun tak lepas dari andil Rama yang kala itu tahu Farah sedang terpuruk karena ditinggal kekasih.

Kita tahu bahwa seseorang dengan karakter manipulatif dapat dengan peka mengenali kondisi emosi lawan komunikasinya, yang kemudian digunakannya untuk mengontrol; dan itulah yang dilakukan Rama terhadap Farah dan Tariq.

Mengetahui Tariq terpuruk atas kematian ibu kandungnya, Rama mengajaknya bergabung ke Teater Mata Hari. Dari awal hingga tengah pemutaran film, penonton seperti dikecoh oleh sikapnya yang patut dicurigai—dingin dan nyaris tak ramah kepada siapapun; meski akhirnya penonton disuguhkan secara bertahap bagaimana relasi kuasa—yang toxic secara mental—antara Tariq dan Rama bekerja di Teater Mata Hari.

Landasan kekeluargaan yang diusung oleh Teater Mata Hari pun ternyata semu. Pada adegan Tariq berterus terang mengenai kesehatan mentalnya setelah dituduh macam-macam, Rama balik menuding Tariq enggan bercerita sejak awal—alih-alih memvalidasi perasaan rekannya. Apakah ada yang mencoba membela Tariq? Tidak ada, bahkan Anggun (Dea Panendra) yang Tariq anggap sebagai rekan terdekat di Teater Mata Hari pun hanya bergeming dan secara singkat meminta Tariq ikut memeragakan tradisi saling peluk Teater Mata Hari. Rentetan adegan tersebut telah menjadi rangkuman refleksi bahwa kelompok tersebut ternyata tak benar-benar menjadikan laku kekeluargaan sebagai landasan tindakan.

Kesadaran Etis di Ekosistem Seni

Keluarga Rama Soemarno tak hanya hadir sebagai representasi keluarga kalangan atas, tetapi juga keluarga seniman. Laku dan obsesi Rama terhadap estetika seni, secara genetis, bersumber dari ayahnya; pun, secara nurture, diasah oleh ayah dan ibunya. Ketiganya bersikap seolah tindakan tak etis bukanlah masalah demi pencapaian estetika seni tertentu. Teks film ini secara halus menampilkan kenyataan bahwa tindakan tak etis demi estetika seni memang terjadi, dan mungkin begitu pula cara kerjanya.

Kini, melompat ke ruang konteks, muncul pertanyaan dalam pikiran saya: apakah para pelaku seni—dan orang-orang yang hidup di sekitarnya—tak memiliki kesadaran etis terhadap consensus bila bersosialisasi dengan orang lain? Ataukah relasi kuasa—nama besar, uang, dll—masih dipercaya ampuh sebagai tameng diri sehingga enteng saja bertindak tanpa izin/ kesepakatan?

Sebagai orang yang berada di ekosistem seni, saya merasa sejumlah pertanyaan di atas penting untuk dibicarakan lebih lanjut. Jika Penyalin Cahaya, dengan menjadikan kelompok teater sebagai representasi ekosistem seni, berani menyajikan peristiwa semacam itu, maka idealnya kita pun berani mencari tahu, menelusuri, hingga secara terbuka mengurai motivasi tindakan tak etis, semacam kekerasan seksual, di ekosistem seni di dunia nyata. (*)


ILDA KARWAYU, menulis puisi, fiksi, dan non-fiksi. Telah menerbitkan dua buku puisi, yakni “Eulogi” (PBP, 2018) dan “Binatang Kesepian dalam Tubuhmu” (GPU, 2020). Aktif berkegiatan di Komunitas Akarpohon Mataram. Sehari-hari mengajar bahasa Inggris dan BIPA di Mataram Lingua Franca Institute (MaLFI). Instagram (@ildakarwayu) & twitter (@ildakarwayu)