KEMATIAN SEPERTI HUJAN YANG RAPAT Ketika tuhan menjinjing sumpah nyenyaklah dalam rahim ibu sampai terompah bumi bernyanyi tembikar syahdu menyelundup pada garis-garis ranjang yang disediakan kutinjau sebelah deskripsi berapa tahun bakal kuisap bualan kutanya roqib-atid sengap menyembunyikan sisipan ajal harapan kian kering, jibril bungkam menghidmati rayuan tuhan aku hanya budak mendorong nasib di antara kepalan maut khayalan pun berjatuhan sejalan getir melewati bab-bab keraguan Dunia adalah narasi abal-abal yang didelegasi tuhan jumat petang kearifan-kecongkakan imbas kecemasan benak ar-ruhul amien tuhan maha kuasa dan makhluk harus menjawab tebakan dalam durasi yang tak abadi jika dunia itu jembatan demi menentukan pintu gerbang yang lain maka kematian jangan dijadwalkan seperti turunnya hujan yang rapat sesak, ngeri menjadi dinamika menyedankan bukankah tuhan tidak berspekulasi; ‘wahai jiwa yang tenang! kembalilah pada Rabb-mu dengan hati yang puas lagi diridhaiNya’ Sebelum kematian betul-betul tersungkur sedang barisan para pengungsi berlangsung lama izinkan kutekuk titik lidah; tuhan, bila kematian semboyan dari denyut baru pinanglah aku dengan sekuncup merah mawar agar orkestra jenazah tak linglung memikul masa depan kembang itu rumah bagi segala kehidupan Madura, 19-01-2022
SEPIRING NASEHAT TOPAK LADHE Pada sahur terakhir endapan terawih mulai tersingkir tanggal-bulan mempresentasikan aroma yang tak asing di telinga di angan-angan, minggu ke minggu tak mau menunggu bertolak kencang bahkan lupa sekadar melambai tangan bulu kuduk berkecamuk di antara diam dan pendaman luka secanteng onar berjingkrak dan ingin membabat tubuhnya di tutur ibu Di amper pagi sebelum jam tiga tumbuh di batin kami pelukan serupa napas yang lega menggiring cerita bersambung sanak kerabat hulu-hilir mendermakan tubuhnya yang peluh dandanan setelah pandemi melingkar cukup dalam hingga ke tulang rusuk jalan lalu menghalang gerak menuju ratapan resah. menemani giling waktu berupa secangkir maaf dari ibu tak ingin lagi kudepositokan Seterpal kangen yang kurenggam tak mampu kuluapkan ke suluk matanya, doa-doa yang dihablurkan terlampau mahal ditakar. senyumnya yang sempit menindih rangkulan bahunya menjelaskan betapa penting obrolan dijahit tak perlu memperhatikan termin hari-hari belukar sejatinya ditebang dengan kehausan rindu mencalang Oh, telah lama kusiagakan manisan untuk menentramkan masa lalu yang berdebu kenakalan yang kubingkai guna meraih landasan dialek juju` yang diderakan sana` bharaja` sebagai lelaki bukankah aku satria yang dibidik tangguh menggauli kematian buat sejungkar petuah Etembeng pote mata ango`an pote tolang meresap dalam sumsum dahi, mengikat erat blusukan ke parit hati Lebaran harus pulang! memesan pesan dari sepiring nasi serpang dan topak ladhe yang ibu sajikan bagi dedahan yang lapar! Madura, 20-01-2022
KERETA API DALAM SEBUAH SAJAK Kalisat. berdiri di atas kereta menuju stasiun karangasem wajah tubuh bengkak di pangkuan bibir retak dilunasi tanpa uang ganti meski sepasang rel pegal tak jua kuanggap satu kongsi dalam pergulatan Sebelum naik, sepintas kusimak kesan dua tahun silam peluit yang sama menyuplai sandal yang kulepas di antara deretan bocah lelaki merungut simpati kakinya karat katanya sehabis enam bulan membius matahari berikut saudara perempuan yang meletakkan cita-cita di pintu gerbang berdempet peron, lantai yang baru selesai dipel, pening diusung anak-anak rantau dari tetangga sebelah mengompres takdir dari semir sepatu sebagian separuh tua unjuk tenaga di lipatan nasi petok dan klontongan menyuguhkan alternatif kebingungan Tak terasa kuraba sautnya yang rapuh kemasan pipinya sayu seolah merayu kemarau matanya bercucuran mendinginkan hasrat yang parau sepetak kalimat tak kuat ditinggalkan pada paras yang gelisah aku termangu sekresek lisan menginfakkan perhatian meraung semacam teater kolosal jalanan Sembilan puluh menit tuntas di telepuk angin stasiun kalibaru menepuk telingaku, panci dangdang ... panci dangdang sekelebat surga hijau menata, gunung-gunung menyesapkan bising perantauan dari kota, terjun wonorejo mengingatkan masa kanak yang terombang ambing tarian kecil, berenang mencari tubuh teman yang karam lalu tertawa dalam petak umpet Rogojampi, dadar ceplok nasi cawuk bu mantih, kuwah gecok dan pepes tenggiri mengerutkan lapar yang tak pernah kujumpai di reranting aspal kubaca jejak-jejak yang datang, rata-rata menamatkan dahaga seraya memuji tuhan di atas mangkok yang terbahak Karangasem, album kututup kusampaikan terima kasih pada secabik kertas kendati tak mewahyukan cerita kecuali memoar Madura, 21-01-2022

JOKO RABSODI, lahir di Pamekasan, Madura. Santri yang mengabdi di SMA Negeri 4 Pamekasan, Madura. Menulis fiksi dan non fiksi. Buku non fiksi terbarunya “Kurikulum modern ala Gus Dur”.
Email : nikmahsyukuri@gmail.com