Wajah Pardin berubah tegang, saat senar di tangannya tiba-tiba kendur, jatuh melintang panjang ke arah barat laut, bagai jaring laba-laba, segaris melintasi daun demi daun, berpilin di rumputan, dan ujungnya lenyap hingga pada jarak yang lumayan jauh. Ia tak menduga layang-layangnya akan putus.

Layang-layang itu melayang di udara, diayun angin, naik-turun, tegak dan terbalik, bergerak pelan ke arah barat laut, bagai ikan dorang berenang-renang di langit. Pardin mengejarnya. Matanya lebih sering memantau layang-layang itu tanpa kedip, tak peduli kakinya menyentuh batu, pokok kayu, duri, tanah kasar atau terjun melintas perigi. Peluh mencurah labuhi seluruh kulitnya.

Pada akhirnya, layang-layang itu jatuh menghunjam rimbun daun pohon nangger, hingga tenggelam begitu dalam, tak terlihat sedikit pun kecuali sisa senar yang menjuntai keluar, bergerak-gerak digesek angin.

“Astaga! Mengapa layang-layang jagoanku itu tersangkut di pohon raksasa ini?” ucap Pardin panik. Matanya tertuju ke atas, mengamati rimbun daun itu, menyelinap di antara tumpang bunga-bunga jingga yang diayun angin.

Sepulang ke rumahnya, ia bercerita tentang layang-layang kesayangannya itu sambil menangis keras, membenamkan kepala di haribaan ibunya seraya meronta-ronta, lalu berguling-guling di lantai, sembari membujuk ayahnya agar mengambil layang-layanng itu.

Sato, ayah Pardin tak tega melihat anak satu-satunya itu menangis keras dan berguling-guling di lantai hingga seluruh baju dan tubuhnya dilumur debu. Selain itu, ia sendiri juga tak rela bila layang-layang itu lenyap dari rumahnya. Layang-layang berwarna merah kuning itu bukan sembarang layang-layang. Sudah ratusan kali menang kontes. Saat di udara ia akan berlenggak-lenggok seperti sedang menari, membuat semua mata terpincut dan hati tak sabar untuk memiliknya. Layang-layang itu pernah ditawar seratus juta oleh banyak orang yang ingin memilikinya, tapi semua patuh pada wasiat tetua, agar tidak sekali-kali menjual layang-layang itu kecuali si pemilik tidak punya harta lagi.

Layang-layang itu ada sejak zaman dahulu. Pardin mendapatkannya dari ayahnya, ayahnya mendapatkannya dari kakeknya, kakeknya pun mendapatkannya dari tetua-tetua sebelumnya. Sudah berkali-kali kertasnya diganti. Sedangkan kerangkanya yang terbuat dari bambu masih tetap kokoh dan menghitam kenyal tanpa ada lubang bekas kikiran binatang sedikit pun. Tali pengikat kerangka itu pun masih kuat, berupa serutan daun pandan yang berhelai tipis, melintang di bagian tepi dan pada titik temu kerangka vertikal dan horizontal.

Menurut cerita dari tetua, kerangka layang-layang itu terbuat dari bambu bekas usungan mayat pada perang dunia II. Dibelah di bawah purnama pada saat dini hari, menggunakan celurit yang berlumur darah sehabis disabetkan ke leher lawan. Sedangkan tali pengikatnya terbuat dari serutan daun pandan yang dikeringkan di atas sebuah kuburan selama tujuh hari tujuh malam. Lalu kerangka dan tali itu, disatukan pada malam hari di atas puncak pohon siwalan tertinggi di dusun itu. Sebab ritual-ritual itulah akhirnya layang-layang itu menjadi luar biasa; selalu menyatu dengan segala jenis angin, hingga mudah membubung tinggi, bisa bergoyang-goyang pelan mirip sinden memainkan sampur di wajah langit, bahkan kabarnya, layang-layang itu tetap bisa bertahan di udara meski diterjang hujan.

“Belajarlah pada layang-layang dalam hal urusan hidup,” nasihat ayah Sato suatu pagi, tentu nasihat itu adalah nasihat turun-temurun dari generasi sebelum dan sebelumnya lagi. “Tali layang-layang kadang diulur dan kadang ditahan, begitu pula dengan hidupmu, ada sesuatu yang harus diulur dan ada pula yang harus ditahan, tujuan utamanya tak lain adalah demi mendapat posisi yang baik,” sambungnya, sebelum bibirnya menjepit pangkal kelobot yang memburai asap wangi cengkeh.

“Dan layang-layang yang kuberikan itu tak akan putus talinya, kecuali saat ia jadi tanda-tanda, jika pemiliknya akan mendapatkan musibah,” lanjut ayah Sato menyelingi kelobotnya dengan seteguk kopi.

“Astaghfirullah!” Sato teringat dengan kata-kata almarhum ayahnya itu.

“Di mana layang-layang itu tersangkut?” tanya Sato panik.

“Di rimbun daun pohon nangger, Yah,” suara Pardin memelas.

“Ha? Di daun pohon nangger?” Sato merinding, teringat banyak pristiwa misterius yang terjadi di pohon itu.

*

Demi mengobati rasa kehilangan anaknya dan demi layang-layang itu, akhirnya Sato datang ke pohon nangger yang berusia ratusan tahun itu. Dahan dan ranting pohon raksasa itu berderit-derit dipermainkan angin, daunnya yang lebat bergerak naik-turun, tiru gelombang laut yang mengobok ratusan sampan. Beberapa jenis burung, menukik dan melompat-lompat di antara tandan bunga jingga yang merumbai di bawah leher pucuk-pucuk hijau.

Daun lebatnya mengurung separuh pohon hingga dahan dan ranting tak terlihat. Sato mengamatinya dari atas hingga ke bawah, ke bagian akar yang membelukar liar, menghimpit dan membelit batu-batu besar yang ada di bawahnya. Sedangkan hamparan tanah di sekitarnya dirempahi guguran kelopak bunga.

Perlahan, mata Sato kembali menatap rimbun daun bermanik bunga jingga itu. Lama sekali. Ia tak bisa melihat layang-layang itu secara langsung, selain pada helai senar yang menjuntai di bagian tenggara. Pikiran Sato berputar ke mana-mana. Ia teringat cerita orang-orang, bahwa rimbun daun itu adalah istana jin, kampung para arwah dan tempat bersemayam segala jenis hantu.

“Bagi setiap orangtua, mengabulkan keinginan anak adalah kekuatan jiwa yang mengalahkan semuanya, termasuk mengalahkan rasa takut. Aku harus begitu,” guman Sato dalam hati, disertai hirupan dan embusan napas yang keras untuk menyakinkan dirinya.

Sato mulai memanjat, melewati dengkulan kayu yang agak berdekatan dari pangkal ke bagian atas. Tangannya selalu hati-hati memilih dengkul yang kuat, sambil ia menghindari baris semut dan sekawanan cecak yang merayap di pohon itu, menghindari sekawanan belalang, juga kepompong yang menempel nyaman di punggung pohon seperti bayi yang tengah menyusu. Sato berpikir bahwa pohon itu adalah semesta bagi para binatang. Ia semakin tinggi, matanya selalu awas menatap ke atas, mengamati rimbun daun yang sebagian mulai menyentuh rambutnya.

Hati-hati ia memasuki rimbun daun dari celah kecil di bagian timur. Melesak ke dalam dengan menyingkap juntaian rimbun yang agak berat. Lekas menduduki sebuah cabang dahan yang agak datar. Hanya sedikit cahaya yang masuk sehingga keadaan begitu temaram. Sato merasakan sesuatu yang lain. Ada kesunyian sekaligus kesejukan dan ketenangan-ketenangan yang tak bisa dilukiskan. Sesekali terdengar bunyi gamelan dan orang menembang, kadang suara orang mengaji, kadang suara orang bersalawat. Angin menelusup pelan, seperti mengiris kulit dengan pisau dingin.

Sato sangat terkejut begitu  ia mengamati sekitar. Tak ada dahan-dahan, tak ada daun, ranting dan kembang. Ia melihat tembok warna emas, berhias liuk timbul rupa kembang dengan taburan cahaya biru. Lantai berhampar permadani lembut. Harum bunga menyeruak dari berbagai penjuru. Sato sadar ia telah masuk ke alam lain. Tapi ia tak merasa takut, kerana ia merasakan ketenangan sempurna yang mampu menghapus segala keruwetan. Lalu ia baru sadar jika dirinya tengah duduk di kursi empuk, bukan duduk di dahan seperti sebelumnya.

Sato melangkah pelan, menuju gang tunggal yang berpendar cahaya hijau. Tak ada siapa pun, Sato terus mengamati sekitar; berjajar guci-guci emas, meja mengkilap dan berukir dihuni cangkir-cangkir keramik yang indah serta aneka makanan yang menggoda lidah. Sedangkan di sepanjang gang itu ada vas-vas besar dari kaca berlian, bibirnya memuat rumpun kembang cahaya.

“Inikah surga?” Sato membatin. Suara-suara orang menembang, orang mengaji, bersalawat dan suara gamelan masih terus bergema dari arah gang yang memuntahkan cahaya itu.

“Layang-layang Pardin. Ya, aku harus menemukan layang-layang itu. Sampai di mana pun keinginan anak tetap menjadi perhatian orangtua. Harus!” suara Sato agak keras. Ia melangkah lebih cepat ke arah cahaya itu. Harum kian menusuk. Ketenangan kian meliputi dirinya. Ia berpikir andai Pardin tak menunggu layang-layang itu, dirinya tak akan kembali lagi ke alam manusia yang penuh keruwetan.

Setiba di sebuah pintu, Sato terkejut, ia melihat Pardin di hadapannya, berjubah putih dengan mahkota emas. Lama ia tersenyum sembari memegang layang-layang yang Sato cari. Sato tak peduli apakah orang itu benar-benar Pardin atau sekadar jelmaan malaikat. Ia lebih merasakan ketenangan yang begitu dahsyat.

“Terimalah layang-layang ini, Yah. Silakan bawa pulang!”

Sato tak sempat membalas sapa orang itu. orang itu seketika lenyap saat layang-layang sudah tergenggam tangan Sato. Lalu di sekitar kembali temaram. Sato terkejut. Setelah diamati ternyata ada kurungan rimbun daun dengan liuk dahan-dahan besar mirip ular  raksasa mengecup daun. Ia sadar, dirinya ada di rimbun daun pohon nangger. Dan ia lebih terkejut lagi setelah mendengar tangis seorang wanita di bawahnya.

Segera ia turun dengan hati-hati, melewati dengkul yang difungsikan sebagai takik. Setiba di pangkal, ia mendapti istrinya. Isa sedang menangis dikelilingi warga dengan raut  yang muram dan sebagian menyeka air mata.

“Ada apa ini?” Wajah Sato cemas.

Segera istrinya memeluk Sato. Sambil terisak ia menceritakan segalanya, bahwa Pardin telah meninggal dunia tiga hari yang lalu karena selalu menangis menunggu layang-layang yang dicari Sato. Tangis Sato pun pecah.

“Abang terlalu lama ada di rimbun daun. Lebih setengah bulan,” ungkap Isa serak.

“O. Jadi aku setengah bulan ada di atas pohon ini?” Sato terkejut. Isa dan beberapa warga mengangguk.

“Ha? O, iya. Ini layang-layang Pardin yang…,” suara Sato terputus. Ia terkejut lagi, dan benar-benar berada di puncak rasa heran yang begitu dahsyat. Layang-layang yang ia pegang sejak dari atas pohon itu ternyata selembar kafan.

Rumah FilzaIbel, 2022


Warits Rovi. Lahir di Sumenep Madura 20 Juli 1988. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai dan artikel dimuat di berbagai media nasional dan lokal  antara lain: Kompas, Jawa Pos, Horison, Media Indonesia, Republika, Suara Merdeka, Seputar Indonesia, Indo Pos, Majalah FEMINA, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, Bali Post, basabasi.co, Sinar Harapan, Padang Ekspres, Riau Pos, Banjarmasin Post, Haluan Padang , Minggu Pagi, Suara NTB, Koran Merapi, Radar Surabaya, Majalah Sagang, Majalah Bong-ang,  Radar Banyuwangi, Radar Madura Jawa Pos Group, Buletin Jejak dan beberapa media online. Juara II Lomba Cipta Puisi tingkat nasional FAM 2015. Buku Cerpennya yang telah terbit “Dukun Carok & Tongkat Kayu” (Basabasi, 2018). Ia juga Guru Bahasa Indonesia di MTs Al-Huda II Gapura. Berdomisili di Jl. Raya Batang-Batang PP. Al-Huda Gapura Timur Gapura Sumenep Madura 69472. email: waritsrovi@gmail.com. Phone 082301606877.