Cerpen Febrian Eka Ramadhan

Dahulu kala, di kota yang menjadi pusat begundal-begundal paling bengis dari seluruh penjuru angin berkumpul untuk membuktikan siapa yang paling kuat itu, tiada seorang pun akan pernah merasakan ketenteraman. Setiap hari akan ada perkelahian yang menumpahkan darah dan mayat-mayat yang tergeletak dengan mengenaskan di mana saja, tanpa ada yang menguburkannya hingga mayat tersebut membusuk dan mengeluarkan bau bacin yang akan mengganggu orang-orang, sehingga membuat mereka terpaksa untuk menguburkannya, walaupun bagaikan bukan menguburkan manusia, tetapi seperti menguburkan bangkai tikus yang mati di jalanan terlindas kendaraan, yang sebenarnya pun tak pantas dikuburkan. Kota itu selalu muram sebab segala kekejaman yang tiada habisnya menghantui setiap penduduk dari masa ke masa, dari generasi ke generasi. Hingga akhirnya, orang itu datang: begundal paling sakti yang pernah hadir sepanjang sejarah kota itu. Penjahat paling jahat yang pernah dikenal, tapi sekaligus penyelamat kota yang muram tersebut. Nama bandit itu adalah Kamaruzaman.

Pada masa itu, orang-orang juga menyebutnya Pendekar Halilintar. Julukan itu diberikan karena konon ketika ia berkelahi, langit akan menjadi mendung dan petir akan bergemuruh sepanjang pertarungan tersebut. Ia dikatakan dapat mengendalikan petir itu dan menjadikannya senjata untuk melawan musuh-musuhnya. Tak ayal, cerita tentang kesaktiannya membuat lelaki bernama Kamaruzaman itu menjadi legenda di kota tersebut.

Orang-orang di kota yang muram itu sungguh mengetahui betul apa yang membawa pendekar dari tempat nun jauh di timur sana tapi entah tepatnya di mana itu sampai ke kota mereka.

“Ia memburu cinta.”

“Cinta yang membawanya kemari.”

“Ia menjadi pengembara karena cinta.”

“Ia punya firasat bahwa cintanya ada di kota ini.”

Tapi sayang, ia tak menemukan apa pun di sana, terlebih apa yang ia sebut cinta.

Kamaruzaman putus asa. Ia sudah lelah mencari. Maka, ia memilih menghabiskan sisa hidupnya di kota itu untuk bertarung dengan begundal-begundal kota. Ia ingin melampiaskan kekecewaannya dengan menantang seluruh jagoan-jagoan paling ditakuti untuk kemudian mengalahkan mereka sehingga menjadikannya orang paling hebat di kota tersebut dengan harapan kebesaran namanya akan memberikannya ketenangan jiwa. Namun, tentu saja, itu semua tak dapat menutupi lubang di hatinya yang hampa.

***

Semenjak kedatangan Kamaruzaman ke kota itu, setidaknya penduduk mulai merasakan kedamaian karena berandal-berandal di kota mulai berkurang akibat ia kalahkan. Mayat-mayat yang dulunya selalu bermunculan setiap hari akibat para penjahat yang saling jagal pun mulai berkurang karena Kamaruzaman sendiri jarang membunuh lawan-lawannya tersebut. Ia hanya membuat mereka sekarat sebelum memberikan pilihan kepada mereka untuk pergi dari kota itu atau menjadi anak buahnya. Namun, jika memang musuhnya tersebut keras kepala dan memilih untuk terus melawan, barulah ia akan menghabisinya dengan halilintar yang menyambar langsung dari langit membuat musuhnya itu seketika lenyap bersama asap yang terbawa angin meninggalkan jejak lubang hitam di tanah yang menganga akibat sambaran petir. Dan hal itu membuat semua penjahat kota marah dan terpaksa bersekutu dengan satu ambisi: menumbangkan Kamaruzaman.

Setiap hari selalu ada pertarungan dan setiap hari pula selalu ada begundal yang dikalahkan Kamaruzaman. Kamaruzaman sudah tidak perlu lagi mencari dan menantang setiap begundal yang ada di kota. Reputasinya sebagai jawara paling sakti mandraguna yang tak terkalahkan telah membuat semua begundal di seluruh kota yang justru mendatangi dan menantangnya. Malahan para penjahat dari luar kota, pulau, negeri, dan bahkan benua lain yang mendengar kabar tentang Kamaruzaman akan ikut panas dan datang untuk membuktikan kesaktiannya tersebut. Mereka akan berkata, “Akulah yang akan mengalahkan bajingan itu.” setelah mendengar kisah Kamaruzaman yang begitu digdaya membabat penjahat-penjahat yang melawannya. Namun, percayalah, Kamaruzaman tidak terkalahkan.

***

Sudah seribu dua ratus empat puluh enam hari terlewati dan seribu dua ratus empat puluh enam begundal dikalahkan oleh Kamaruzaman si Pendekar Halilintar, selama tinggal di kota itu. Angka-angka itu akan terus bertambah seiring dengan semakin banyaknya begundal dari seluruh dunia yang berhasrat untuk mengalahkannya. Tantangan untuk Kamaruzaman terus mengalir dan ia selalu menerima semua tantangan itu. Jika begundal-begundal yang menantang Kamaruzaman bertarung bertujuan untuk menghabisinya karena rasa iri dan dengki oleh kemasyhuran akan kesaktian yang membuatnya tiada pernah terkalahkan dan terus menerus mengalahkan para begundal lain hingga ia menjadi begundal paling ditakuti sekaligus dibenci dan sangat ingin dihabisi, Kamaruzaman bertarung sekadar untuk menghilangkan kepiluan hatinya karena tidak menemukan cintanya di kota itu. Cinta membuat Kamaruzaman merana, dan itu membuatnya memutuskan untuk bertarung melawan para begundal. Ia percaya bahwa orang-orang seperti para bajingan pembuat onar tersebut jugalah yang menjadi penyebab menghilangnya cinta-cinta yang ada di dunia, termasuk cinta miliknya. Maka, ia pun akan membalas setiap manusia yang merenggut cinta manusia lain.

Orang-orang biasa di kota tersebut mulai menyukai Kamaruzaman dan menganggapnya pahlawan karena mengurangi jumlah manusia-manusia tak berguna yang hanya membawa celaka bagi dunia. Mereka mulai bisa merasakan ketenangan karena tak perlu takut lagi dijahati oleh para berandalan kota. Seolah-olah semua kejahatan sudah berpindah dan terfokus pada satu objek bernama Kamaruzaman. Namun, itu tak sepenuhnya betul. Mereka menyadari bahwa Kamaruzaman juga seorang bandit yang selalu membuat kerusuhan dan kerusakan akibat perkelahiannya dengan penjahat-penjahat lain. Kehadiran Kamaruzaman tetaplah dianggap sebagai ancaman. Sebab pada akhirnya ia tetap saja membawa kerugian bagi kota. Dan harapan terbaik adalah Kamaruzaman pergi meninggalkan kota membawa segala dendam penjahat lain serta pertarungan-pertarungan merusak mereka sehingga kota menjadi bersih dari orang-orang yang berselisih. Namun, hal itu tidak pernah terjadi, atau belum terjadi.

Suatu ketika, Kamaruzaman berhadapan dengan lawan yang tak kalah saktinya. Mereka telah bertarung tujuh hari penuh tanpa henti dan belum terlihat tanda-tanda akan berhenti. Musuhnya kali ini tidak mempan terhadap petir. Kilatan listrik itu hanya seperti angin yang mengusap tubuhnya dan memberikan kesejukan. Pukulan lawannya itu pun begitu kuat, bisa merobohkan pohon dan menghancurkan batu dalam sekali hantam. Baru kali itu ia mendapat lawan yang sepadan. Mereka bertarung dengan gairah yang berkobar membuat setengah kota mengalami kerusakan yang bahkan lebih parah ketimbang terkena gempa atau tsunami sekalipun.

“Lebih baik mati berdiri daripada hidup berlutut.” lawannya itu menegaskan.

“Aku akan membuatmu mati berlutut.” Kamaruzaman membalas.

Berita pertarungan dahsyat mereka dengan cepat menyebar. Begundal-begundal berharap Kamaruzaman mati di tangan lawannya itu sehingga tiada lagi orang yang dapat mengancam kebebasan mereka berbuat kejahatan karena ia terus menerus mengincar para begundal untuk melampiaskan kekecewaannya terhadap cinta yang membuatnya merana. Sedangkan penduduk kota yang dilanda ketakutan akibat pertarungan luar biasa merusak itu di satu sisi berharap Kamaruzaman dapat mengalahkan lawannya tersebut agar kejahatan tak kembali leluasa menghantui kota, tapi di sisi lain mereka juga tak menginginkan Kamaruzaman terus memenangkan setiap pertarungannya, karena hal tersebut hanya akan membuat semakin banyak penjahat yang berusaha mengalahkannya, memungkinkan munculnya penjahat-penjahat lain yang semakin sakti dan mengakibatkan pertarungan tiada henti yang kian memorakporandakan kota. Sungguh keraguan yang nyata dialami orang-orang itu.

Pertarungan spektakuler itu berakhir di hari ke sepuluh setelah seluruh kota rusak. Bangunan-bangunan hancur. Kendaraan-kendaraan terbakar. Pohon-pohon tumbang. Jalan-jalan berlubang. Dan seluruh penghuni kota, penduduk biasa maupun para begundal yang takut terkena dampak dari pertarungan dahsyat tersebut, telah mengungsi.

“Aku tak mengira akan seperti ini kisah hidupku.” Kamaruzaman terbaring di tanah menatap ke langit. Pertarungan mereka berakhir kala senja sehingga matahari terlihat berbinar-binar keemasan. Betapa pun kuatnya ia, badannya tetap bisa merasakan lelah akibat bertarung sepuluh hari tanpa henti melawan musuh yang amat sakti. Musuhnya telah lenyap bersama asap yang terbawa angin akibat serangan halilintarnya. Ia dapat mengalahkan musuhnya itu dengan halilintar karena berhasil menemukan titik kelemahannya.

“Cinta membawa begitu banyak kerusakan.” Kamaruzaman menatap matahari yang terus meredup.

Malam telah tiba. Rembulan perlahan menampakkan diri, menunjukkan sinarnya. Namun, cahaya rembulan tetap tak membuat kota itu kembali terang. Kegelapan sudah menutupi seluruh kota bersama dengan kesunyian yang menerpa. Kamaruzaman mengantuk, akhirnya terlelap.

***

“Hatimu sedang terluka.” Kamaruzaman berkata pada lawannya itu.

“Seperti juga hatimu.” Lawannya membalas.

“Kita sama-sama terluka.”

“Maka, lebih baik kau habisi aku agar tak kurasakan lagi sakit hati ini.”

Langit menderu. Petir seketika menyilaukan dan mengaburkan pandangan mereka.

***

Kelak, kota itu kembali hidup. Namun, nyaris tidak ada lagi kejahatan. Selain karena begundal asli kota itu telah menyusut jumlahnya, begundal dari luar kota seolah kehilangan alasan untuk datang ke kota tersebut.

Kisah tentang Kamaruzaman si Pendekar Halilintar terus diceritakan. Ia yang konon datang ke kota itu dari tempat nun jauh di timur sana, tapi entah di mana tak seorang pun pernah tahu, yang terus menerus merana karena sesuatu yang ia sebut cinta, lalu menghadirkan keresahan bagi semua penjahat yang ia anggap menjadi penyebab hilangnya cinta dari dunia yang fana, dan akhirnya memberikan ketenteraman yang tak pernah dirasakan penduduk kota itu sebelumnya. Ia bagaikan pahlawan dan jagoan yang tak pernah diimpikan.

Yogyakarta


Febrian Eka Ramadhan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta. Saat ini beralamat di Sedayu, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Memunyai hobi membaca dan menulis. Bercita-cita menjadi guru dan pedagang.