Cerpen Galeh Pramudianto

Kenzo menemuiku lagi untuk kesekian kali di hari yang sama. Di sekolah, seperti biasanya. Kenzo selalu bertanya padaku perihal apa saja. Rasa ingin tahunya itu kerap ia ajukan tiba-tiba ketika berpapasan di koridor maupun di dalam kelas. Pertanyaan seperti ini; bagaimana tardigrada bisa selamat dari kepunahan massal; apakah ikan zebra pleco berkerabat dengan okapi; mengapa kucing maine coon tidak takut air dan sebagainya. Ia adalah salah satu muridku yang menjalani hari-harinya dengan damai bersama sindrom Asperger.

Aku tahu bahwa Kenzo tak mengetahui itu dan bila ia mengetahuinya pun, ia pasti akan terus bertanya tentang sindrom apa itu dan mengapa hal itu melekat pada dirinya dan ia tak merasakan perbedaan itu dengan teman lainnya. Ketika sudah tahu, ia pun tak akan berubah. Ia akan menjalani hari-harinya dengan ragam pertanyaan ke berbagai orang, utamanya orang yang sangat dipercaya dan dikenalnya. Aku salah satunya.

Aku adalah lulusan program studi Desain Produk dan seorang guru Seni Budaya di sekolah ini. Sekolah tempat kubekerja saat ini adalah sekolah inklusi dengan berbagai jenjang kelas: dasar, menengah pertama dan menengah atas. Aku mengajar di SMA. Ini adalah pekerjaan pertamaku setelah lulus kuliah. Salah seorang temanku, Johnson merekomendasikanku untuk bekerja di sini. Ia menghubungiku agar aku dapat bekerja mengganti guru sebelumnya yang mengundurkan diri dan mengabdi di kota lainnya.

Saat perkenalan awal dengan rekan guru, aku diberitahu bahwa di SMA ada empat siswa berkebutuhan khusus. Dari situ dipaparkan bagaimana cara guru bersikap dan memberikan pengajaran khusus serta pelayanan. Hal ini penting bagiku, karena aku bukan lulusan dari program studi pendidikan dan misal tidak diberitahu seperti itu maka aku akan lebih banyak mencarinya di mesin pencari. Pada kesempatan kali ini aku akan menceritakan pengalamanku bertemu dengan Kenzo. Di lain waktu mungkin akan kuceritakan pengalaman dengan anak lainnya kalau menurutku itu unik, tak biasa dan penting.

Pagi itu, Kenzo mengajukan pertanyaan ketika aku sedang menerangkan salah satu materi seni rupa di depan kelas. Ia berdiri dan menghampiriku. Aku pikir saat itu ia ingin izin ke toilet.

“Kenapa kita tidak hidup dan pindah ke planet lain?” Ia bertanya langsung tanpa ba-bi-bu fafifu weswos.

“Kita bisa saja pindah sekarang ke Planet Mars atau ke Planet Villeneuve sekali pun, bila kita mau.”

Ketika kujawab itu, kedua bola matanya bergerak tak beraturan. Ia ingin mengajukan pertanyaan lagi. Namun kuhampiri ia perlahan dan memberikannya pengertian. Tentang bagaimana adab bertanya dan memahami sebuah konteks. Ia pun mengangguk dan langsung duduk. Tangannya terlipat rapi di atas meja dan sesekali jari telunjuk dan tengahnya bergerak-gerak membuat ritme tertentu.

Begitu juga ketika jam sekolah berakhir. Ia menghampiriku lagi dengan pertanyaan lain. Aku tanya padanya, apakah ia mau mendapatkan jawaban yang tepat atau jawaban yang ia inginkan. Ia menjawab ingin mendapatkan jawaban yang tepat. Maka aku jawab dengan pengetahuan yang kupunya, dan kebetulan pertanyaan itu aku kuasai. Setelahnya, ia membaca pesan di ponselnya lalu mondar-mandir ke depan dan belakang. Ia langsung melengos pergi dan pulang, seolah lupa bahwa beberapa detik yang lalu ia habis berbincang denganku.

Jam mengajar telah berakhir dan segala perangkat penilaian telah kutuntaskan. Aku ambil kopi saset dari laci meja dan menekan kenop air panas dispenser. Mumpung masih ingat, aku tak langsung pulang dan lebih memilih melanjutkan draf world building karanganku.

A. Planet Villeneuve ialah sebuah tempat yang begitu damai. Manusia dan hewan dapat hidup abadi di sana. Semua makhluk hidup berdampingan tanpa merasa paling berakal dan berkuasa. Planet ini dapat ditemukan ketika Bumi telah jadi es campur. Ia tersembunyi dari ramalan. Planet ini juga dapat ditemui di sebuah lubang hitam, hasil dari pencernaan manusia. Awal mula dunia ialah lubang. Maka hal pertama agar kita bisa pergi ke Planet Villeneuve, ialah menemukan lubang.

B. Planet Villeneuve ialah sebuah tempat yang tidak mewajibkan kepercayaan tertentu. Semua manusia bebas untuk tidak memiliki kepercayaan atau sebaliknya. Planet ini dapat ditemukan ketika Bumi telah jadi gumpalan-gumpalan boba. Ia belakangan muncul dari peta tata surya setelah berulang kali terhunjam asteroid lalu muncul hewan-hewan baru yang belum diketahui namanya—hasil percampuran genetik sayap kecoa dan tubuh lentur cacing dengan solidaritas semut. Planet Villeneuve konon dapat ditemui di bawah pohon. Masalahnya di zaman itu sulit untuk menemukan mana pohon, mana beton. Awal mula dunia ialah pohon. Maka hal pertama agar kita bisa pergi ke planet ini adalah menemukan pohon.

Catatan: tentang ukuran, periode orbit, rotasi, atmosfer dan teknis lainnya nanti akan dilengkapi.

**

Keesokan harinya aku masuk kelas seperti biasa. Berdoa, mendata kehadiran siswa, menanyakan kabar dan pengantar, lalu masuk ke materi. Tapi aku tidak mendapati Kenzo hadir. Aku hubungi guru piket untuk mencarinya. Sudah dua minggu guru pendamping untuk anak berkebutuhan khusus sakit. Maka dari itu setiap guru dan staf harus saling bekerja sama.

Ternyata ia berada di toilet dan sedang mengamati lubang kloset.

“Sudah buang air besarnya?”

“Aku tidak buang air besar. Aku di sini hanya ingin mencari lubang hitam dan supaya bisa pergi ke Planet Villeneuve.”

Astaga. Aku ingat-ingat kembali.

“Aku melihatnya dari internet. Dari blog Bapak.”

Ah, benar. Ia bisa sangat fokus dan analitis pada satu hal yang ia sukai. Aku harus berpikir ulang agar dapat menjelaskan dengan jernih apa itu planet yang namanya mungkin susah untuk dieja. Hal itu untuk mengindari asumsi bahwa aku berbohong dan konsep kisah fiksi yang sulit dipahaminya. Kenzo masih berdiri memandangku dengan jari tengah dan telunjuk saling bertautan membuat ritme tertentu. Aku pandangi ia dan sesekali ke lubang kloset itu. Lubang itu seakan berbisik padaku: selagi masih dalam bungkus ide dan oretan, mungkin bisa ditangguhkan dulu publikasinya. Agar Kenzo tidak berdiri terus di bawah pohon saat pulang sekolah nanti dan aku juga harus sadar diri dengan karanganku itu, jelek saja belum.

Wadassari, Oktober 2021


Galeh Pramudianto, sehari-hari mengajar dan gemar mengamati langit-langit kamar. Bukunya Asteroid dari Namamu (2019).