Cerpen Siti Hajar

Bila hujan pertama di bumi terjadi malam itu, seseorang telah bersiap menangkup tangannya ke langit. Mensyukuri keriuahan yang Tuhan janjikan sebagai pelunas dahaga hutan-hutan dan hewan-hewan ternak di bumi. Juga tentu melunasi utang kenangan dengan meresonansi ingatan masa lalu. Seperti gubahan lagu yang hanya didengar sendiri. Ia tengah berdiri di ambang kerinduan seorang diri.

***

Ketegangan yang membuat hatinya mati awalnya bukan urusan besar. Hanya perihal perbedaan kelamin. Tetapi semakin hari, urusan kelamin—perempuan dan laki-laki, tak lantas jadi sederhana. Lewat omongan kerabat dan campur tangan masyarakat, urusan kelamin tumbuh menjadi bola api yang ditendang sana-sini. Mengundang kebakaran dan permusuhan.

Mulanya mereka sama-sama menjadi hamba Tuhan yang bersyukur. Kelahiran dirayakan sebagaimana biasa. Tungku-tungku berasap dan hewan-hewan menyerah pada mata pisau. Berkarung padi diturunkan dari loteng lopo besar. Alu berayun mengahantam lesung penumbuk. Angin membawa wangi padi—yang pandan, menyusur hidung dan membuat lapar.

Tujuh kelahiran. Tujuh kali pula ia berada di para-para Ume Kbubu. Mendapat kehangatan dari arang kayu terbaik yang di gotong dari Nipole. Ia menunggu purnama demi purnama melewati atap rumah alang-alang. Naik ke puncak Tuniun dan merebah di balik Sonfafo. Setiap pagi dan petang, wangi sabun dan bedak bayi bercampur aneka asap dan wangi bayi.

Ketika matahari menyerupai lilin kecil yang bergerak naik ke puncak-puncak bukit. Ibu mertuanya selalu datang tepat waktu. Menyiapkan air panas dan mengganti arang di kolong tempat tidur. Lalu tatobi—mengopres seluruh tubuh dengan air panas pun dimulai. Perut perempuan akan buncit dan darah kotornya tidak keluar sempurna jika kau malas tatobi. Mertuanya mengulang kalimat itu  ketika air panas yang terserap handuk lusuh menempel di kulitnya. Lagi pula, kau tidak ingin gila karena darah putih naik ke kepala kan? Ia melempar pertanyaan yang sama sekali tak butuh jawaban.

Setelah rampung tatobi, perempuan itu naik ke para-para yang membara di bawahnya arang kayu terbaik. Sei, begitulah orang Timor menyebut aktivitas ‘memanggang’ perempuan pospatrum itu. Air dan api adalah kunci tubuh tetap bugar dan sehat setelah melahirkan. Begitulah yang selalu didengar sejak ia melahirkan anak pertamanya. Kelahiran demi kelahiran. Air, api, tatobi, sei. Tujuh kelahiran—dua ratus empat puluh hari pernah ia habiskan untuk itu.

***

Perempuan itu menarik diri pada kaca jendela. Hujan pertama betul-betul akan jatuh. Di luar gelap menguasai dinding dan langit semakin hitam bergelintin seperti akan bocor. Seseorang baru saja menyatakan sesuatu. Perempuan itu menantap masa lalu di luar jendela. Seorang laki-laki berdiri di sana. Ia baru saja menyakatan bahwa pernikahan mereka adalah kesalahan. Ada kisah para buyut yang tak pernah dilesaikan secara adat. Mereka pernah baku potong, Miana. Suara laki-laki itu jelas menyambar kaca jendela. Akhirnya kalimat itu keluar setelah sang pemilik suara bergulat dengan bahasa kias yang berputar-putar.

“Tentu kau paham, garis keturunan mesti dilanjutkan,” ucapnya hati-hati. Kepadamu sudah kupersembahkan semua yang kumampu. Laki-laki itu mulai bermonolog. Kepada Miana ia berkata bahwa orang tuanya diam-diam telah bertemu banyak orang pintar. Mencari tahu apa masalah di antara mereka hingga selalu melahirkan anak perempuan. Ada yang salah dengan silsilah keluarga. Mata laki-laki itu mulai perih.

“Apa yang harus saya lakukan?” Perempuan itu bertanya dengan napas memburu. Dadanya tiba-tiba kerontang.

Kita telah sama-sama bersabar, Miana. Ucap laki-laki itu dalam hati. Ia sendiri tak tahu hendak ke mana arah pembicaraan itu. Perempuan di hadapannya telah memberinya cinta yang besar.

“Bagaimana jika anak dalam kandunganku ini laki-laki?” Miana mencoba jalan lain. Pertanyaan lain.

“Semua ciri fisikmu menunjukkan sebaliknya. Setidaknya itu yang dikatakan tukang urut keluarga. Kau akan melahirkan satu anak perempuan lagi.”

“Lagi?” Miana sedikit tersinggung dengan kata ‘lagi’ yang diucapkan suaminya dengan penekanan berbeda. Seperti sebuah kebosanan yang mengendap begitu lama. Tetapi sayang. Percakapan itu mengambang begitu saja. Kebisuan datang lebih awal dari pertengkaran yang mestinya terjadi pada pasangan dengan persoalan semacam itu. Betapa jahatnya masa lalu di luar jendela itu. Baru saja ia mendikte rasa sakit seperti seorang guru. Mengapa kerinduan itu pahit?

***

Kepada jendela dan setangkup air hujan yang benar-benar turun malam itu. Kelahiran ke delapan mulai dipersiapkan. Hari ke dua ratus empat puluh dua akan segera dimulai. Seperti orang bermain judi, suaminya telah berjudi pada nasib untuk mencari anak lelaki. Apa daya, tujuh anak perempuan tak sebanding dengan satu anak lelaki. Sejujurnya ia tak pernah takut ditinggalkan. Seseorang bisa saja hilang. Dicabut dari hati orang yang mencintainya. Tetapi cinta memiliki akar. Bila pun pohonnya ditebang, akarnya terus  melahirkan kehidupan.


Ume Kbubu: Rumah tradisonal suku Dawan yang berfungsi sebagai lumbung penyimpanan hasil panen.

Tatobi: Mengompres seluruh tubuh dengan air panas pun dimulai

Sei: (Dawan) aktivitas ‘memanggang’ perempuan pospatrum dengan bara api di ume kbubu.

baku potong: (Melayu Kupang) Saling potong


Siti Hajar, memiliki nama pena Sayyidati Hajar. Menerbitkan antologi cerpen berjudul Menyudahi Kabair (IRGSC Publisher 2019). Saat ini tinggal di Kota Kupang dan membina Komunitas Sastra Pondok Aspira.