Oleh Dwi Pranoto
Barangkali pertama-tama kita harus menjernihkan kalimat pertama pada paragraf pertama dalam kata pengantar untuk buku antologi puisi “Perayaan Pertikaian Dalam Rumah Puisi”. Kalimat pertama itu berupa silogisme entimem yang “rumit”: bagaimana menghubungkan premis “puisi adalah investasi bagi peradaban” dengan konklusi “maka saya menabung catatan peristiwa”?. Apa premis implisitnya? Jika ingin terus membahasanya, kita dipaksa untuk membuat asumsi spekulatif untuk menghindar dari silogisme sesat. Saya menawarkan premis implisitnya adalah pernyataan “teater adalah peradaban”. “Teater” dimunculkan untuk menghubungkan subyek “saya” dalam konklusi yang dinyatakan dalam “Biografi Penulis” sebagai pelaku teater. Tapi kita juga menemui masalah lagi pada term predikat: istilah “investasi” dalam definisi adalah tindakan menanam modal ( termasuk uang) untuk mengembangkan modal, sementara istilah “menabung” dalam definisi adalah menyisihkan modal (uang) untuk mengantisipasi kondisi darurat di masa depan. Agar term predikat antar premis dapat berhubungan, tampaknya kita harus tak membedakan antara istilah “investasi” dengan “menabung”. Kita baurkan saja “investasi” dan “menabung” sehingga seduanya mempunyai arti “menanam/menyisihkan modal (termasuk uang) untuk pengembangan modal sekaligus mengantisipasi kondisi darurat di masa depan”. Jadi formulasinya: menabung adalah investasi atau investasi adalah menabung. Implikasinya, kita harus menganggap puisi dan peradaban adalah modal (termasuk uang). Supaya equivalen ini dapat dipahami kita harus meminjam pernyataan umum yang sering kita dengar: “beli rumah untuk investasi”. Maksudnya, rumah dibeli bukan untuk digunakan, tapi disewakan atau kelak akan dijual jika harga tinggi. Dengan demikian, rumah adalah modal, dan membeli rumah adalah untuk mengembangkan modal (termasuk uang). Di samping sebagai investasi, rumah adalah tabungan, karena kelak jika menghadapi kondisi darurat, rumah bisa dijual untuk mengatasinya. Untuk itu kita dapat memformulasikan: karena peradaban adalah modal dan puisi adalah uang, maka puisi adalah bagian dari peradaban. Jadi operasi silogismenya: Teater adalah peradaban (premis mayor), puisi adalah investasi bagi peradaban (premis minor), maka saya (sebagai pelaku tetaer) menabung catatan peristiwa (dalam bentuk puisi). Jadi uraiannya adalah, dengan mengansumsikan teater kongruen dengan peradaban, sebagai pelaku teater, saya menulis puisi untuk mengembangkan teater (sekaligus peradaban) dan untuk mengantisipasi bila kelak menghadapi kondisi darurat. Tapi saat ini kita mengalami kondisi darurat karena pengembangan teater mendapati hambatan, yakni dicegat pandemi. Kondisi tersebut membawa kita pada pada suatu kontradiksi, menabung sekaligus juga membelanjakan (untuk mengatasi kedaruratan). Tetapi kita sudah mempunyai pemecahannya, karena puisi adalah uang, maka kita membelanjakan uang untuk mendapatkan modal yang akan menjadi tabungan investasi.
Kita sudah keluar dari kesulitan menguraikan formulasi silogisme entimem yang “rumit”. Apa yang dapat kita tarik dari silogisme tersebut adalah bahwa puisi ekuivalen dengan peradaban dan teater, tapi puisi tidak kongruen dengan teater dan peradaban. Puisi sepadan dengan uang, sedangkan uang termasuk atau tercakup dalam modal dalam arti yang lebih luas. Karena peradaban adalah modal, dan peradaban kongruen dengan teater, maka puisi tercakup dalam teater. Oleh karenanya puisi adalah bagian dari teater (untuk kebutuhan pembahasan kita tidak akan memperdebatkan pernyataan yang menyubordinasikan puisi pada teater ini). Pertanyaan yang perlu diajukan dalam hal ini adalah kenapa teater dianggap lebih superior dari puisi? Asumsi saya adalah karena teater merupakan karya seni yang kasat mata dan dapat didengar (visible dan audible) sekaligus karya seni simulakra. Teater membuat atau memungkinkan simulakra memperoleh visibilitasnya dan audibilitasnya. Secara umum pemanggungan teater atau drama modern bertolak dari naskah. Teater adalah pemanggungan tulisan yang merupakan simulakra kehadiran. Pada sisi lain puisi adalah karya seni simulakra, karena puisi yang berupa tulisan adalah pengembaraan suara beku yang “yatim-piatu”. Tulisan selalu merupakan pembekuan suara yang tidak diketahui asal-usulnya (siapa yang berbicara). Dalam konteks ini, teater lebih unggul dari puisi bukan karena pemanggungan teater menyingkapkan asal-usul suara beku yang mengembara, tapi lebih karena teater menyajikan konteks material dari suara beku yang mengembara; dengan merekonstruksi gelagat tubuh; mencairkan kebekuan suara melalui adegan dialogis atau monologis, dan menciptakan ruang situasional yang membingkainya; sebagai representasi yang dapat dilihat dan didengar. Pendeknya, teater memungkinkan simulakra dapat dilihat dan didengar.
Pada dasarnya puisi dan teater, bahkan semua jenis seni, adalah simulakra. Semua jenis seni pada hakikatnya menyimulasikan kehidupan nyata. Sebagaimana teater, puisi juga memiliki elemen gerak, suara, dan ruang yang dapat dilihat dan didengar. Namun, pada teater elemen-elemen ciri kehidupan itu hadir sebagai representasi yang memiliki kedalaman, atau representasi tiga dimensi. Sedangkan pada puisi atau sastra, elemen-elemen tersebut disandikan dalam representasi dua dimensi atau bidang datar. Perbedaan antara puisi dan teater adalah perbedaan cara mengada. Puisi dan teater, dengan demikian tidak dapat dibandingkan. Membandingkan puisi dan teater seperti membandingkan antara bunyi kentut dan bau kentut yang keduanya adalah gas buang intestinal tapi mempunyai cara mengada yang berbeda.
Meskipun puisi dan teater tidak dapat dibandingkan, tapi puisi dan teater, bahkan semua jenis seni, dapat saling diterjemahkan. Sebagaimana puisi-puisi pada antologi “Dalam Rumah Puisi” dapat diterjemahkan atau ditafsirkan ke dalam bentuk-bentuk seni lain pada Festival Puisi Mutakhir 2021. Pertanyaannya, apa yang memungkinkan antar berbagai bentuk seni dapat saling diterjemahkan? Tentu saya tidak dapat membahas bagaimana sejumlah puisi dalam antologi tersebut ditafsir-alih-wahanakan dalam berbagai bentuk seni pada Festival Puisi Mutakhir 2021. Sifat kesementaraan peristiwa festival secara umum, membuat sejumlah karya seni hasil penafsiran terhapus (meskipun sebagiannya mungkin masih bisa didapatkan). Kondisi ini mendorong saya menjauh dari upaya memahami secara langsung hubungan antara antologi “Perayaan Pertikaian Dalam Rumah Puisi” (sebagai yang ditafsirkan) dengan karyaseni-karyaseni pada Festival yang merupakan hasil penafsirannya. Oleh karenanya, juga untuk menjawab pertanyaan yang sudah diajukan di atas, tulisan ini akan berupaya memahami penerjemahan antar bentuk seni sebagai suatu fenomena umum. Disamping itu tulisan ini juga berupaya untuk memeriksa kaitan antara fenomena penerjemahan tersebut dengan antologi itu sendiri sebagai produk dari pengalaman tertentu yang diekspresikan.
Penerjemahan atau Penafsiran suatu Bentuk Seni Menjadi Bentuk Seni Lain
Kita ambil saja bukti paling gamblang dari kasus ini: salah satu diktum paling terkenal tentang Borobudur adalah candi megah yang dibangun oleh wangsa Syailendra itu adalah monumen kitab suci umat Budha paling lengkap di dunia. Borobudur adalah monumen dari teks, monumen dari karya sastra, di mana karya sastra adalah kehidupan seni sekaligus seni kehidupan. Sebagai kehidupan seni sekaligus seni kehidupan, karya sastra merupakan pengajaran suatu ortodoksi kehidupan sekaligus manifestasi dari pengalaman akan keindahan. Arsitektur bangunan Borobudur sebagai penafsiran teks kitab suci umat Budha diejawantahkan berdasarkan dua prinsip seni/sastra yang tidak terpisahkan itu. Landasan paling utama penerjemahan teks kitab suci (seni simulakra) sebagai bangunan arsitektur (seni visual) bukanlah fungsi representasional bahasa, tapi prinsip representasi yang merupakan mimetik/tindasan dari distribusi ruang dan waktu (situs dan fungsi) sosial yang menyekat jenis-jenis perilaku dan sikap dalam kehidupan masyarakat. “Sistem struktur kehidupan” yang merepresentasikan perjalanan revolusioner dari kehendak yang didorong oleh nafsu-nafsu rendah ke kemenjadian manusia utama yang eksis sebagai kehidupan seni dalam teks kitab suci itu direpresentasikan, secara garis besar, menjadi tapak bangunan yang berbentuk mandala; bangunan bertingkat candi yang hirarkis (kamadhatu, rupadhatu, dan arupadhatu); dan arca-arca dan ornamen-ornamen (panil-panil dekoratif dan relief-relief) yang menggambarkan jenis-jenis perilaku dan sikap dalam tahapan kehidupan atau ruang dan waktu dalam sistem kehidupan. Pada saat bersamaan sistem struktur kehidupan yang mendasari pengalaman hidup khusus (keindahan) tersebut juga termanifestasi sebagai objek keindahan melalui teknik kepengrajinan sesuai dengan medium seni – bahasa (juga warna dan garis) dan lembaran (kertas, lontar, kulit kayu, kulita binatang) dalam seni dua dimensi seperti sastra; batu (juga kayu dan tanah) dan hamparan geografis dalam seni tiga dimensi seperti arsitektur.
Lalu, kita melompat saja, tiba pada kehidupan modern dengan pernyataan tegas yang menyeru kata putus dengan masa lalu, putus dengan “Borobudur”. Sutan Takdir Alisjahbana, tokoh utama generasi Pujangga Baru menyatakan bahwa jiwa yang membangun Borobudur tidak ada sangkut pautnya dengan cita-cita keindonesiaan. Sementara penerusnya, generasi Gelanggang, dalam Surat kepercayaannya menegaskan bahwa tidak akan melap-lap hasil kebudayaan lama (tentu termasuk Brorobudur). Kesusastraan modern dibangun di atas kehidupan seni dan seni kehidupan yang retak, di atas runtuhnya prinsip representasi yang menyatukan sistem struktur kehidupan dengan suatu pengalaman khusus, antara yang prosaik dan yang puitik, antara yang rasional dan yang sensible (kepekaan rasa). Tapak Mandala, tiga tingkat candi, panil-panil relief dan ornamen-ornamen berlepasan, dan kemuncak stupa – kenampakan bebas sekaligus jiwa komunitas, seperti sosok dan mata kosong patung dewi Juno Ludovisi – menghilang dari tatapan. Kehilangan ini membuat seni/sastra tercabik ke arah dua kutub yang kini saling bertentangan: antara seni menjadi kehidupan dan kehidupan menjadi seni, antara isi dan bentuk.
Apa yang kemudian melandasi fungsi reflektif seni, agar seni menjadi objek yang berbicara dihadapan penatapnya dan saling berkorespondensi diantara jenis-jenis seni, saat sistem/prinsip representasionalnya runtuh bersama runtuhnya basis distribusi ruang dan waktu kehidupannya? Apa yang kemudian dapat membuat bentuk memancarkan isi, dan membuat isi mewujud sebagai objek sensible? Prinsip/sistem representasi pengganti itu, tak lain, adalah bahasa.
Bahasa memungkinkan menjadi sistem representasi karya seni karena bahasa sendiri adalah juga sistem representasi. Namun, berbeda dengan sistem representasional seni sebelumnya yang basisnya adalah distribusi ruang dan waktu, situs dan fungsi – praktik berbahasa juga tak luput dari penataannya sebagai praksis dari seni hidup: unggah-ungguh bahasa –, basis sistem representasi kebahasaan adalah metafor resemblance/pemerian. Prinsip pemerian yang mengkorespondesikan antara word (kata) dengan thing (ihwal) berdiri di atas konvensi ganda: konvensi gramatika yang otonom dan konvensi sosial yang heteronom. Konvensi ganda kebahasaan yang kontradiktif inilah yang menjadi basis representasi pertama dari keutuhan seni yang telah tercabik sebagai hidup seni dan seni hidup.
“Dalam Rumah Puisi”, yang ditulis pasca “runtuhnya Borobudur”, berada dalam dua kemungkinan kontradiktif, antara seni hidup dan hidup seni. Apakah “Dalam Rumah Puisi” tercakup ke dalam seni hidup yang merupakan bentuk ekspresi pengalaman hidup yang memproyeksikan fungsi swa-didaktik? Ataukah “Dalam Rumah Puisi” tercakup ke dalam hidup seni yang merupakan manifestasi dari asumsi pencerapan keutuhan seni yang memproyeksikan kecukupan diri atau permainan swa-regulasi? Pertanyaan ini menuntun pada pertanyaan berikutnya: konvensi kebahasaan apa yang menjadi basis “Dalam Rumah Puisi” agar khalayak dapat mencerapnya, entah dalam mode sensible atau rasional atau dua-duanya, sehingga memungkinkannya untuk dinikmati dan/atau dipikirkan serta ditafsirkan atau dikorespondesikan dengan jenis seni lain? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas kita perlu memeriksa puisi-puisi di dalam antologi “Dalam Rumah Puisi”.
Puisi pertama dalam antologi, “Rumah Puisi” , tampaknya menjadi suatu pernyataan puitik bagaimana puisi(-puisi) mengada di dalam dirinya sendiri dan di luar dirnya. “Rumah”, “anjing”, dan “pohon” merupakan metafor simbolik untuk – yang pertama – situs dan – dua yang terakhir – fungsi puisi yang diarahkan pada dirinya sendiri dan dunia di luar dirinya. “Rumah” , sebagai sebuah situs/ruang, menampung dua keberadaan yang kontradiktif, yaitu “anjing” yang aktif dan “pohon” yang pasif. Dalam konteks ini, “anjing” dan “pohon” dapat disejajarkan dengan bagian dalam rumah (isi) dan bagian luar rumah (bentuk). Bagian luar rumah, sebut saja “dinding”, adalah objek tatapan khalayak yang merupakan proyeksi dari isi. Dinding bagi Dody, seperti “dinding rumah” Chairil Anwar yang merupakan “kaca jernih dari luar segala nampak” (puisi “Rumahku”, 1943). Oleh karena itu “pohon” yang “melindungi otakhati agar tak terdikte” merupakan proyeksi dari “umpatan anjing”. Secara gamblang kita dapat membaca ada sikap permusuhan dengan dunia luar, dunia yang diasumsikan membawa ancaman untuk mendikte atau menguasai, sehingga harus ditolak dan dilawan dengan mengumpat. Ancaman apa yang harus dilawan? Kita tak dapat mengiidentifikasi ancaman tersebut dalam “Rumah Puisi”. Mungkin kita perlu mencari ancaman tersebut dari puisi-puisi lainnya.
Secara garis besar ada dua ancaman yang teridentifikasi dalam puisi-puisi “Dalam Rumah Puisi”: ancaman kematian yang alamiah dan ancaman keboborokan – baik moral maupun politik. Tidak ada yang dapat dilakukan atas ancaman kematian yang dibawa oleh pandemi, kecuali, secara implisit, menerima kematian “apa adanya”. Dalam puisi “Rumah”, Dody tidak membicarakan ancaman kematian yang gentayangan di luar rumah, tapi membicarakan protokol yang mengasingkan dari hubungan sosial. Dody tidak mengumpat pada kematian, tapi mengolok-olok upaya-upaya untuk menghindari kematian berdasarkan sains modern – yang institusi ekonominya memerangkapnya menjadi seorang kreditur. Hal yang sama juga kita dapat kita baca dalam “Kisah Pandemi”, mengolok-olok simbolisasi dan kuantifikasi kematian yang digunakan sebagai alarm darurat. Meskipun ada terbersit kecemasan akan teror kematian “Ini harihari peti mati bergerak / berjalan mencari tuannya”, kecemasan tersebut tidak melahirkan umpatan atau olok-olok. Dalam dua puisi itu ada dua ancaman; kematian sebagai kekuatan alamiah dan “modernitas” dalam rupa protokol dan kampanye untuk menghindari kematian. Jadi ancaman kematian bukanlah target untuk ditentang, tapi ancaman modernitas-lah yang ditentang.
Ancaman yang kedua adalah kebobrokan atau dekadensi. Dalam puisi “Memelihara Koruptor” umpatan terhadap keboborokan itu diutarakan secara sinis. Sedangkan dalam “Burung Kondor” dan “Manguni Uni”, Dodi memanggil kekuatan alam yang disimbolkan sebagai burung Kondor dan burung Hantu untuk membersihkan kebobrokan dan memberi peringatan atas kebobrokan. Kebobrokan tidak hanya termanifestasikan dalam perilaku yang merusak ekologi dan korupsi. Kebobrokan juga meradak dalam dunia seni/sastra (puisi) yang termanifestasi dalam perilaku plagiasi, ketidakkompetenan, sembarangan, dan menjilat. Kita dapat membaca kebobrokan dalam dunia puisi dalam puisi, semisal, “Kisah Anjing Tidur”, “Orang-Orang Ingat Lagi Pada Puisi” dan “Puisi, Apa Masih Seni”. Kita ambil saja “Orang-orang Ingat Lagi Pada Puisi”; puisi ini tidak hanya mendeskripsikan kebobrokan dalam dunia puisi, pun mendeskripsikan antitesa kebobrokan pada bait terakhirnya.
Sungguh perlukah puisi diingat dan ditulis lagi
Seperti tahun-tahun lalu, seperti para pendahulu menulisnya
Menjadi sejarah, pemikiran peradaban, menjadi teman
Merenung
Saat sendiri jiwa kering dan gerimis tebal membasuh luka
Keutuh-penuhan puitik, didasarkan pada asumsi ketertautan antara yang berfungsi sebagai otonomi (pemikiran peradaban) dengan heteronomi (menjadi teman merenung), itu berada di masa lalu. Suatu rumusan keutuh-penuhan tersebut paralel, atau diturunkan, dengan keselarasan alam. Keutuh-penuhan atau keselarasan hadir dalam mode autentisitas historis, suatu kekuatan politis puisi (penyair) yang disandarkan pada kesejarahan. Namun demikian, ini bukan penggalian sejarah sebagai temporaritas waktu seperti Romantisme menghentikan status barang konsumsi komoditi sehari-hari sebagai proses estetisasi untuk mengupayakan heterogenitas estetik. Autentisitas historis dalam konteks ini adalah penggalian sejarah sebagai waktu nir-waktu atau “pengkekalan” temporaritas (kesementaraan). Kebobrokan dipertentangkan dengan keyakinan atas tata alam yang nir-waktu dan/atau dengan cara hidup kehidupan yang jauh. Alam ditangkap sebagai seni murni, terterjemahkan sebagai pranata atau cara hidup suatu kehidupan yang jauh, semacam nostalgi atas revivalisme kemuncak stupika di atas Borobudur.
Alam dan/atau suatu bentuk kehidupan yang jauh adalah jantung “Dalam Rumah Puisi”. Mereka adalah alasan untuk melindungi diri dari dan mengumpat kebobrokan. Oleh karena itu, kehidupan alam yang terusik mengusik puisi, seperti perih kupu-kupu yang menjelma puisi dalam “Mencintai Kupu”. Seperti peri capung dalam puisi “Peri Capung” yang mencari dada dan kerongkong untuk mengerang. Selain itu, kehidupan murni, yang ekuivalen dengan seni murni, direpresentasikan oleh kehidupan nelayan dan rumah tangga nelayan – dalam puisi “Nelayan” dan “Aksara Pesisir” – menggambarkan ketenangan yang menunggal dalam kesibukan.
Puisi-puisi dalam antologi “Dalam Rumah Puisi” merepresentasikan skenario hidup seni sebagai bentuk-bentuk yang di dalamnya kehidupan menjadi seni. Kehidupan sebagai seni paralel dengan konsep museum di mana khalayak dihadapkan pada artefak-artefak sebagai bentuk-bentuk yang memproyeksikan kesejarahan yang disandikan. Kunci estetisasi dalam skenario ini adalah menanamkan elemen-elemen pengalaman estetik ke dalam bentuk-bentuk format pemikiran yang sudah jadi. Proses estetisasi ini mengarah pada dua jalan yang bertentangan. Pertama format pemikiran yang menyejarah mewujud sebagai bentuk-bentuk baru sensible yang dilahirkan oleh elemen-elemen pengalaman estetik. Dalam hal ini kesejarahan masuk ke dalam sebagai isi. Kedua, elemen-elemen pengalaman estetik terserap ke dalam format pemikiran sehingga kesejarahan mewujud sebagai bentuk pemikiran yang transparan. Dalam hal ini seni adalah sejarah yang dibekukan, revivalisme “sempurna” yang mereduksi pengalaman estetik sekedar sebagai bubuh cap kesenimanan/kesastrawanan: bentuk-bentuk sejarah yang membeku. Artinya, estetik adalah kesejarahan itu sendiri. Seni berhenti sebagai kehidupan, atau seni tak lebih sebagai seni. Seni berhenti sebagai objek yang membangkitkan sensibilitas khalayaknya. Dengan kata lain seni menghilang.
Revivalisme “sempurna” itu mengambil dua mode transparansi kesejarahan. Pertama, kesejarahan hadir sebagai kekasat-mataan dan keterbacaan sebagaimana pengerjaan ulang mitos Medusa dalam “Pigora dan Gambar Kepala”, legenda urban dalam “Cerita Lama”, atau penggambaraan kehidupan nelayan dalam “Aksara Pesisir” dan “Nelayan”. Kedua, kesejarahan hadir sebagai ambience yang merepresentasikan seni/puisi bukan hanya di atas panggung sejarah, bahkan sekaligus disutradarai kesejarahan. Mode ambience ini dapat kita baca pada mayoritas puisi, tapi paling gamblang dalam pengerjaan ulang mitos Sisifus dalam “Sisyphus” dan pengerjaan ulang Metamorfosis-Kafka dalam “Rumah”. Mode ambience yang merepresentasikan pengalaman dalam kerangka kesejarahan ini berbeda, bahkan berkebalikan, dengan pengerjaan ulang Odyssey Homer (buku atau bagian I) oleh Fenelon (1699), The Adventures of Telemachus, yang merepresentasikan kesejarahan dalam kerangka pengalaman. Bentuk baru kisah petualangan putra Odysseus itu diimplikasikan oleh pengepasan kesejarahan dalam pengalaman, bukan sebaliknya. Apa yang menyertai kelahiran bentuk baru ini, tentu saja, gerak estetik yang revolusioner, seperti Pavilion of Realism-nya Gustave Courbet yang didirikan di seberang galeri resmi pemeran (salon) Paris 1855. Courbert tidak hanya mengkontradiksikan antara sosok-sosok kelas menengah Ornan dengan potret-potret sosok elite aristokrasi, ia juga membolehkan pengubahan orientasi kanvas dari vertikal ke horizontal dan penjarakan display lukisan-lukisan pada dinding ruang pamer. Sementara Fenelon tidak hanya mengubah voice (suara) Mentor (Athena) dan Telemachus dengan suara Mentor (Fenelon) dan Telemachus (Louis VI) melalui pencerminan sejarah pada pengalaman hidup, pun mengubah syair bersajak homerus menjadi prosa yang merupakan praktik berbahasa sehari-hari. Kehidupan meniupkan ruh pada jiwa mati sejarah, memberikan ranah fisik dan spiritual pada kesejarahan. Pavilion dan The Adventures memberikan konfirmasi bahwa politik sastra/sastra politik, atau seni pada umumnya, hanya dapat dicapai melalui ketepatan politis dalam isi dan bentuk literernya. Pada kenyataannya, puisi “Rumah” adalah pengepasan pengalaman pandemi dalam kerangka sejarah. Gregor Samsa, sebagai karakter historis, direnggut dari ranah fisik dan spiritualnya – salesman dan situasi alienasi kerja (individu yang menempati ruang-waktu spesifik dalam struktur masyarakat sosial) – dan Metamorfosis hanya menyisakan plot yang memandu pada terpenuhinya “takdir” karakter. Jikapun “Rumah” menyediakan ranah fisik dan spiritual, yakni individu secara umum dan situasi alienasi pendemi, hal ini mendistorsi yang spesifik dengan yang umum. Seperti bayangan pencerminan murni yang merefleksikan anggota tubuh bagian kanan menjadi anggota tubuh sebelah kiri, atau sebaliknya. Bayangan apapun hasil pencerminan murni, kehidupan atau kesejarahan, ia akan menjadi bentuk terbalik tanpa kedalaman tiga dimensi dan tersubordinasi oleh objek pencerminan.
Revivalisme historis “sempurna” yang merupakan mekanisme estetisasi, pada saat yang sama juga menyingkapkan suatu konvensi dalam prinsip representasi kebahasaan yang berlaku di dalamnya. Asumsi sejarah sebagai “keutuhan seni”, oleh karenanya, meletakan kesejarahan sebagai acuan untuk menafsir karya seni, baik memaknai maupun menerjemahkan/re-kreatif. Kesejarahan merupakan suatu sistem kebahasaan yang berpijak pada struktur plot yang memiliki elemen struktural sistemik – karakter, tindakan/aksi, dan voice – yang paralel dengan struktur retorika – inventio, dispositio, dan elocutio – dan paralel dengan struktur sintaksis – subyek, predikat. Namun demikian, prinsip representasi yang bermanifestasi dalam sistem retorika tidak hanya bertumpu pada prinsip mimesis/representasi kebahasaan, tapi terikat oleh doktrin decorum yang menghubungkan karya seni dengan “realitas” dalam kaitan etik. Sementara representasi kesejarahan lebih berpijak pada supermasi elocutio (eloquence/kefasihan berbahasa) di mana bahasa dianggap secara transparan memproyeksikan “realitas” – metafor resemblance/penyerupaan. Hal ini mengimplikasikan sejarah dan hari ini seolah dapat dihubungkan secara langsung.
Tetapi, bagaimanapun, bahasa tidak mungkin berbicara dengan dirinya sendiri. Bahasa tidak mungkin hidup hanya dengan gramatika. Agar hidup, bahasa juga membutuhkan penulis dan pembaca, pembicara dan pendengar. Dengan demikian, bahasa memerlukan konvensi sosial yang merupakan ruang-waktu hidupnya. Dengan kata lain, kebahasaan tidak dapat menjadi prinsip representasi tanpa doktrin “decorum”. Decorum bukanlah realitas apa adanya, tapi suatu realitas yang dibingkai dalam konvensi sosial yang merupakan pengaturan sosial yang didasarkan pada distribusi sensible (cara melihat, cara berkata, cara bertindak, cara merasakan, dan cara berpikir). Distribusi sensible yang beroperasi sebagai sarana pengaturan sosial mempunyai dua elemen legitimasi yang saling berkait: pengetahuan empirik (logis) dan mitos (cerita). Sebagaimana ideology yang berfungsi hanya jika mengalami mi(s)tifikasi. Distribusi sensible dapat berfungsi sebagai sarana pengaturan sosial jika pengetahuan empirik dipercaya. Kepercayaan tidak memerlukan sokongan bukti-bukti empirik, karena kepercayaan adalah sensibilitas umum. Dengan demikian, mi(s)tifikasi adalah suatu cara atau metode untuk mengubah yang partikular menjadi yang umum. Bahasa sebagai bahasa seni, oleh karenanya, beroperasi ganda: disamping berfungsi sebagai bahasa sehari-hari melalui jalinan gramatika (logis) dan konvensi sosial (logos), juga berfungsi sebagai bahasa seni melalui jalinan pengetahuan (logis) dan cerita (muthos/mitos).
Kesejarahan hadir pada hari ini sebagai cerita, sebagai muthos/mitos. Revivalisme historis “sempurna” yang merupakan mode transparansi kesejarahan dalam karya seni, oleh karenanya, adalah reproduksi mitos. Apa yang menjadi laten dalam kesejarahan yang merupakan “suara” yang gentayangan adalah “yang berbicara/bercerita”, empirisitas/aktualitas tindakan. Ada dua cara agar “yang berbicara” menjadi manifes; merayakan hari ini sebagai duplisitas sejarah dengan menyimulasikan tindakan karakter historis yang sudah “mati” seperti Don Qixote yang bertindak seperti buku yang dibacanya; dan memperdengarkan “suara” sebagai testimoni dengan menyajikan “tubuh mati”. Manifestasi pertama menghidupkan karakter historis yang sudah mati dengan membuat tubuh hidup berbicara sebagai “orang mati”. Artinya tubuh hidup berbicara dalam bahasa bisu, berbicara dengan gerak tubuhnya (bertindak). Manifestasi kedua adalah menyajikan artefak yang merupakan bukti bisu kesejarahan. Artinya, artefak juga bicara dalam bahasa bisu.
Manifestasi sejarah atau kehadiran sejarah sebagai “orang bisu” didorong oleh upaya untuk memulihkan hubungan antara pemaknaan dengan visibilitas. Praktik puitisitas paling gamblang dalam hal ini adalah puisi-puisi Afrizal Malna. Sebagai misal, “Warisan Kita” yang merupakan historisasi benda-benda sehari-hari agar dapat berbicara sebagai artefak kasat mata yang melakukan testimoninya sendiri. Namun demikian, praktik puitisitas semacam ini gampang terdorong pada penilaian etik yang mendistorsi testimoni dengan membingkainya dalam politisasi puisi. Sebagai misal, Sisifus yang bagi Camus tidak perlu dibayangkan menderita dalam menjalani hukumannya, dalam puisi “Sisyphus” menjadi Sisifus yang tidak menyadari penderitaannya karena dihibur oleh drama Korea. Camus yang menulis ulang mitologi Sisifos-Homer dengan mengubah karakter bajingan tengik penipu menjadi karakter yang melakukan perjuangan hidup dalam filsafat absurditas untuk menunjukan supermasi visibilitas atas pemaknaan berakhir dalam bingkai pemaknaan dalam puisi “Sisyphus”. Pemaknaan tanpa memaknai yang didemonstrasikan dalam filsafat absurditas Camus seolah dikembalikan lagi pada puisi “Sisyphus” pada mitologi Sisifos-Homer saat dewa-dewa hadir dan ikut campur tangan dalam kehidupan manusia. Namun, sebagaimana pada masa Camus, hari ini dewa-dewa tidak hadir dan tidak ikut campur tangan. Puisi-puisi dalam “Perayaan Pertikaian Dalam Rumah Puisi” secara umum menghadirkan kesejarahan dalam bingkai pemaknaan. Politisasi puisi macam inilah yang mungkin mendorong “anjing” mengumpat, membuat “pohon” menjadi benteng, dan visibilitas (tubuh) dibunuh dalam pertikaian di dalam “Rumah” agar kelak ia dapat menulis dirinya sendiri pada “daging hidup” sebagai “Festival Puisi Sendiri”. Namun demikian, penulisan kembali “Dalam Rumah Puisi” di atas “daging hidup” sebagai “Festival Puisi Sendiri” masih berada dalam siklus penerjemahan bentuk seni, siklus simulakra. Tidak seperti Veronique Graslin, karakter dalam The Village Rector-nya Balzac (1839), yang menerjemahkan novel Paul and Virginia-nya Bernardin de Saint-Pierre (1788) dengan menulis di atas “daging hidup” dengan membendung air dan menyalurkannya melalui aliran irigasi bercecabang untuk mengubah tanah tandus menjadi lahan subur.
Tulisan upaya untuk acara bedah buku “Perayaan Pertikaian Dalam Rumah Puisi” di Café Cosmo Memory, Jember, tanggal 28 Oktober 2021.

Dwi Pranoto, Penulis dan Penerjemah asal Jember