Oleh Sofia Nurlaili

Profesor Psikolog yang bernama Eti Nurhayati mengatakan “Perempuan dipandang sebagai sebuah keambiguan. Perempuan dipuja sekaligus direndahkan.” Ibaratnya, perempuan dipuja mempunyai daya pesona yang tinggi, tetapi dalam waktu yang sama perempuan dijajah hanya untuk memenuhi diri dan keuntungan. Perempuan dapat diibaratkan seperti bunga yang kuncup, dirawat dan dijaga hingga mekar. Setelah mekar, bunga itu dipotong hanya untuk memenuhi keinginan untuk memiliki. Tanpa disadari, bunga itu akan layu dan mati. Begitu pula mengenai psikisnya, perempuan adalah makhluk yang menyebalkan dengan segala kerumitan di dalam jiwanya. Sikap dan sifatnya yang berbeda dari laki-laki, dianggap sangat menyulitkan.

Hal ini sesuai dengan teori Sara Mills bagaimana seseorang ditempatkan dalam subjek tertentu. Mills menguak bagaimana perempuan ditampilkan dalam sebuah teks. Teori ini mengarah ke wacana perspektif feminis yang menunjukkan bagaimana teks dalam menampilkan perempuan. Perempuan yang ditampilkan selalu dalam keadaan salah dan marginal dibandingkan dengan laki-laki. Fokus perhatian Mills adalah perempuan yang tampilkan dalam sebuah teks baik berita, gambar, maupun karya sastra.

Karena perempuan makhluk yang kompleks, banyak pengarang karya sastra yang menjadikannya sebagai bahan dasar untuk pengembangan kisah-kisahnya. Karya sastra sebagai sebuah wacana jenis narasi, tentu dikembangkan dengan memperhatikan prinsip penokohan, alur, latar, sudut pandang, tema, dan amanat. Oleh karena itu, tulisan ini menitikberatkan pada tokoh perempuan yang dimarginalkan (sesuai perspektif Mills) dalam cerpen Suatu Hari dalam Kehidupan Wanita Bertato karya Alif Febriyantoro.

Perempuan yang bernama Raina dalam cerpen karya Alif Febryantoro, ditampilkan sebagai perempuan yang cantik dan tubuhnya memiliki banyak tato. Bahkan Raina menjual kehormatannya pada setiap lelaki. Ia hanya diberikan janji-janji oleh para pelanggannya bahwa ia akan dinikahi. Namun selalu gagal. Banyak lelaki yang meninggal sebelum menikahi Raina. Malangnya, Raina juga meninggal dibunuh oleh seorang istri dari salah satu lelaki yang akan menikahinya.

Perempuan yang dilecehkan

Mengingat awal mula tato pertama itu muncul, tepat lima tahun yang lalu ketika keperawanannya direnggut enam orang preman pasar.

Pada awalnya, Raina gadis lugu yang patuh kepada orang tuanya, tetapi ketika dewasa diperkosa oleh enam orang preman pasar. Ia mengubah perilakunya menjadi pekerja di Bar, karena frustasi dan membiarkan menjajakan tubuhnya dengan ditiduri oleh para lelaki.

Wanita itu pun bangkit dari ranjang. Perlahan-lahan menyingkirkan selimut yang menjaganya sepanjang sepertiga malam. Dan kini tubuhnya benar-benar telanjang.

Terdapat kalimat ‘Dan kini tubuhnya benar-benar telanjang’ yang menunjukkan bahwa tokoh perempuan yang bernama Raina mengalami bentuk marginal atas tindakan asusila yakni pemerkosaan. Raina sebagai objek penceritaan karena pengarang menjadikannya pihak yang didefinisikan dan digambarkan. Pengarang mengajak pembaca merasakan bagaimana perasaan perempuan yang ketika ia berada di keadaan terpuruk karena setelah diperkosa, tokoh Raina yang tidak mendapatkan dukungan dari siapapu hingga langsung memutuskan untuk terjun ke dalam seks bebas yakni memasang tarif kepada laki-laki yang ingin meniduri diri menjadi pelacur.

Tokoh Raina dibunuh

Pyaar! Kali ini giliran pria itu yang merasakan ada sesuatu yang pecah di dalam hatinya sendiri. Bau amis darah mulai tercium dari dalam kado itu, yang kemudian bisa dilihat dengan jelas selembar kulit manusia dengan tato wanita bersayap yang memegang sebilah pisau, yang di bawah gambar itu tertulis: “ISTRI GILA” (Febriyantoro, 2019).

Terdapat kalimat ‘Bau amis darah mulai tercium’ yang menunjukan bahwa darah itu milik Raina yang ditandai dengan tato bersayap di tubuh Raina. Ini menjadi tanda bahwa Raina mengalami bentuk marginal atas tindakan pembunuhan. Ia dibunuh oleh istri dari laki-laki yang akan menikahi Raina.  Hal ini dapat diketahui bahwa perempuan cenderung ditampilkan dalam teks sebagai pihak yang salah dan marginal dibandingkan dengan tokoh laki-laki. Ketidakadilan yang selalu jatuh pada perempuan menjadikan perempuan tokoh yang marginal. Penggambaran tokoh yang buruk dalam sebuah teks selalu menunjukkan keaadaan salah perempuan.


Sofia Nurlaili, Mahasiswa FKIP Universitas Jember. Akun ig: @sofia2811__