Cerpen Mussab Askarulloh

Pernahkah kamu mendengar cerita bahwa kamu lahir berbarengan dengan lahirnya waktu. Tuhan menimangmu di tangan kanannya dan waktu di tangan kirinya seperti bayi kembar. Namun, meski diciptakan berbarengan, Tuhan punya rencana yang berbeda buat masing-masing dari kalian. Kamu diberi tubuh dan bentuk yang rapuh, sementara waktu tetap dibiarkan telanjang. Sampai akhirnya, semakin jejal tubuh materil melekat pada dirimu, semakin kamu tidak bisa melihat dan merasakan waktu. Meski begitu, Tuhan berjanji padamu bahwa waktu akan tetap berada bersamamu meski kamu tidak merasakannya.

Lalu, hadirlah kamu di sini sekarang. Sains modern memberimu banyak pilihan kisah menarik soal asal-usulmu. Sebagian teori mengatakan, awal mula perpisahanmu dengan waktu adalah pada saat kamu berubah menjadi partikel kehidupan yang terlempar dari ledakan besar, lalu terbang menuju sebuah planet yang kebetulan bisa menopang tubuh rapuhmu.

Kamu masuk ke dalam air yang tenang. Perlahan-lahan mulai membentuk organ-organ dengan bentuk dan fungsi yang lebih kompleks. Setelah merasa cukup percaya diri, kamu naik ke daratan untuk mencium udara dan merasakan matahari secara langsung. Singkat masa, tubuhmu yang sekarang bernama manusia ini adalah hasil evolusi dari spesies kera, atau monyet, atau gorila. Entahlah. Sejak berpisah dengan waktu, kamu jadi butuh waktu lebih lama untuk menyelesaikan segala hal. Termasuk evolusi yang panjang ini.

Tunggu. Mungkin kamu akan lebih suka cerita dari versi yang satu lagi. Sejak awal, kamu memang sudah manusia. Kurang lebih.

Ceritanya, sejak memisahkanmu dari waktu, Tuhan memberimu tubuh yang terbuat dari segumpal tanah, lalu memberimu nama Adam. Secara teknis, Tuhan memang menciptakanmu dari segumpal tanah. Namun, kita sepakat bahwa bukan berarti kamu –si Adam- adalah hasil evolusi dari tanah. Sebab, tidak ada proses panjang tahap evolusi dari tanah menuju manusia. Tuhan cukup meniupnya saja, dan boom… jadilah tanah itu manusia.

Lalu, inilah sebenar-benarnya permulaan. Tuhan memberimu sebuah perasaan yang aneh: rasa bosan. Sebenarnya, lebih tepatnya Tuhan sedang memberimu kesempatan untuk kembali bermain dengan waktu. Namun karena kamu tidak lagi bisa merasakan kehadiran waktu sebagai sesuatu yang akrab, akhirnya kamu hanya bisa merasakan kekosongan. Tubuh tiga dimensimu yang rapuh tidak bisa menahan hampa dan dinginnya waktu yang terus bergerak. Kamu menua.

Melihatmu yang semakin lebur karena sendirian menahan kehampaan, Tuhan berbaik hati padamu. Dengan segala kecermatan perhitungannya yang maha tidak mungkin salah, Tuhan menciptakan seorang manusia lagi untuk menemanimu. Seorang, atau sesuatu yang berbeda: seorang perempuan. Namanya Hawa. Kamu bertemu dengannya, dia menambal lubang besar di dadamu. Kalian saling jatuh cinta. Singkat cerita, kamu dan Hawa akhirnya diturunkan ke bumi dan beranak pinak. Kamu terus-menerus ada dan memenuhi dunia. Dan begitulah, betapa seluruh kehidupan manusia di bumi ini, berawal dari rasa bosan.

Lalu sekarang kamu bertanya, jika memang kehidupan manusia di dunia diawali oleh rasa bosan, mengapa bosan yang sekarang sedang kamu rasakan tidak sebegitu berarti seperti rasa bosan yang dirasakan Adam. Kamu merasa tidak akan ada hal besar yang terjadi karena kebosananmu. Bosanmu hari ini, adalah rasa bosan yang biasa saja. Kamu juga tidak berbuat apa-apa, hanya bisa mengalihkannya dengan cara memasukkan segala macam hal ke dalam kepalamu agar tetap sibuk.

“Kamu ngelamun lagi. Ada yang lagi kamu pikirin?”

“Tidak. Tidak ada apa-apa.”

“Kamu bosan ya?”

“Tidak.”

Kamu masih tidak bisa apa-apa. Air mancur di taman masih mengalir. Minuman dingin yang sejak tadi kalian pesan sudah meleleh. Kamu bisa melihatnya dari permukaan gelasnya yang mengembun. Kalian memilih minuman dingin karena memang cuacanya panas sekali sore ini. Kata orang, jika cuacanya panas, maka nanti malam akan turun hujan. Kamu tidak begitu mengerti dengan perhitungan cuaca seperti itu. Atau perkiraan. Atau ramalan. Entahlah.

Kamu akan kembali mengingat persoalan evolusi manusia itu setiap kali melihat air. Kamu pikir, untuk apa kita harus berevolusi dan bersusah payah naik ke darat. Bukankah dunia ini dua per tiganya adalah air. Dengan begitu, tempat kita untuk hidup akan lebih luas, tanpa adanya batas-batas. Tidak akan ada perebutan lahan dan sengketa. Ada cukup banyak air untuk kita semua. Belum lagi jika turun hujan lebat. Permukaan darat akan tertutup air, dan kita bisa bebas berkunjung.

Sejatinya, yang ikut menyuburkan tanah dan menumbuhkan banyak tanaman adalah air. Tapi, manusia menjadi begitu bergegas dan antisipatif ketika hujan turun. Takut basah konon. Padahal, sebagai makhluk hidup yang disulap dari tanah, mungkin kita sudah berdosa dan durhaka ketika menolak hujan. Menolak air.

“Hari ini cuacanya panas sekali ya..”

“Iya. Mungkin nanti malam akan turun hujan.”

“Apa sebaiknya kita pulang? Mumpung belum hujan.”

Kamu kembali mengingat cerita tentang bagaimana seluruh alam semesta diciptakan dari sebuah kehampaan yang meledak. Ledakan itu menciptakan bintang-bintang besar yang bersinar, dengan planet-planet kecil yang mengitarinya. Salah satu planet itu adalah Bumi, yang sampai saat ini masih kamu tinggali.

Kadang kamu berpikir, jika saja si Adam itu diciptakan oleh Tuhan dari api, saat ini mungkin seluruh umat manusia akan tinggal di matahari. Atau, jika saja partikel kehidupan yang beruntung itu hinggap di matahari, bukannya di bumi, tentu rangkaian panjang perjalanan evolusi itu akan terjadi di sana. Tetapi, tentu kamu akan melewatkan bagian ‘menjadi makhluk air’, karena kamu sendiri ragu kalau di matahari akan ada air.

Lalu kamu akan menjadi makhluk api. Tidak takut api. Tidak menghalau panas yang menerpa tubuh, tentu saja, karena tubuhmu sendiri adalah api.

“Lewat sini saja. Di sini lebih teduh. Tidak panas.”

“Kamu benar-benar ingin pulang?”

“Mungkin sebaiknya begitu. Takut keburu hujan.”

“Lebih takut mana, kena hujan atau panas matahari?”

“Aku lebih takut kalau kamu bosan.”
Kamu hampir tidak pernah bisa menyimpulkan apapun. Karena memang tidak semua hal bisa disimpulkan. Sama seperti tidak semua hal dapat dimengerti. Sama seperti tidak semua orang membenci panas matahari. Sama seperti tidak semua orang takut basah karena hujan. Sama seperti tidak semua hal bisa dikatakan dengan terus terang. Sama seperti hal-hal lainnya yang malas kamu pikirkan. Atau sulit. Atau memang tidak ada.

Kamu ingin ledakan besar itu tidak pernah terjadi saja. Biarkan saja kehampaan itu tidak berbuat apa-apa. Biarkan ketiadaan menjadi satu-satunya yang ada. Di dalam tubuh raksasa kekosongan nol dimensi itu, kamu mungkin juga tidak akan pernah ada. Dia juga tidak akan pernah ada. Seperti pepatah tua: “lebih baik tidak memiliki agar tidak kehilangan”. Entahlah.

Tapi hari ini mataharinya panas sekali. Dan mungkin juga nanti malam akan turun hujan seperti kata orang-orang. Dan mungkin rasa bosanmu juga akan berlalu. Seperti yang pernah kamu dengar, entitas dengan tubuh tiga dimensi seperti dirimu memang membutuhkan waktu yang lebih lama dalam menyelesaikan semua hal. Untuk saat ini, Kamu sudah bertemu dengannya. Itu saja yang penting. “Kita lewat sebelah sana saja. Aku mau membelikanmu es krim.”


Mussab Askarulloh. 25 September 1993. Alumni Universitas Negeri Jakarta. Instagram @askarullohmussab.