Cerpen Beri Hanna

Seorang kiai asal Kampung Nambuk Kubo, membenarkan kisah Saliman yang membiarkan tubuhnya ditelan buaya hanya untuk menyelamatkan seorang perempuan.

“Sebelum melompat ke sungai, Saliman bersumpah tentang seorang perempuan yang mendatanginya setiap malam. Perempuan itu minta diperistri!” kata kiai.

Orang-orang yang di warung kopi pinggir sungai—mendengar sambil menenggak kopi rebusan air setengah mendidih—sama sekali tidak peduli. Orang-orang ini punya banyak pengalaman buruk tentang keanehan Saliman selain ditelan buaya.

Pada suatu waktu Saliman pernah mengeruk pohon yang ketika ditanya menjawab kampung akan tenggelam. Ia juga pernah membakar binatang hidup untuk menunjukkan siksaan neraka pada orang-orang. Dan di lain hari ia pernah berteriak bahwa pada suatu tengah malam ia akan terbang layaknya burung di langit.

Sebab itu orang-orang lebih suka memandang sapi-sapi peliharaan Buya Komar yang merumput di bawah bukit bebatuan, ketimbang mendengar ocehan kiai.

“Siapa yang tidak ingat? Waktu Saliman mewartakan Tuhan telah meniup segumpal asap untuk menjadi sayap yang tumbuh di punggungnya?” tanya salah seorang di warung kopi itu.

Orang-orang yang diam sambil menyeruput kopi, membayangkan kejadian geger kala itu. Lantaran ketakutan akan gambaran bencana dahsyat akan menggulung kampung, sebagian orang termakan sumpah Saliman yang akan meminta Tuhan meniupkan segumpal asap serupa, untuk tiap orang yang datang melihatnya terbang.

Pada kenyataannya, Saliman tidak pernah terbang. Dari ketinggian bukit bebatuan, ia menjatuhkan dirinya bagai terjun bebas dengan kepala lebih dulu menghantam batu. Orang-orang yang telanjur datang berharap dapat mengelak bencana serupa burung bebas di langit, sempat berteriak, menanyakan sayap yang tidak terlihat di punggung Saliman. Namun mereka terlambat, sebab rasa ngeri lebih dulu menjalar ke sekujur tubuh saat melihat darah telah menderas dari luka yang terbuka di kepala Saliman.

“Ia hampir mati waktu itu,” ucap Buya Komar yang langsung disanggah oleh kiai, bahwa Saliman orang sakti yang tidak bisa mati.

Pernyataan itu membuat suasana sejenak gamang.

Entah karena apa orang-orang geram karena kiai itu terus-terusan membela Saliman.

“Saliman tidak mati bukan berarti ia sakti, mungkin Tuhan belum menginginkan ia mati,” ucap Boya Komar. “Siapa yang tidak tahu, sejak kejadian itu Saliman sering mewartakan hal aneh! Bisa menghilang, menjadi binatang atau pohon, menjadi dua di tempat berbeda, dan sekarang mimpi perempuan di dalam perut buaya! Siapa yang akan percaya?”

Semua orang termasuk kiai terdiam. Mereka menyeruput kopi rebusan air setengah mendidih sampai tandas.

“Boleh tambah satu gelas, Buya?” minta seorang pelanggan.

***

Pada tengah malam lengang, Saliman dipercaya benar-benar telah melompat ke dalam mulut buaya menganga lalu muncul sambil menggendong perempuan. “Lihatlah,” ia berteriak waktu itu, “perempuan ini telah kutemukan.”

Orang-orang yang ditemuinya merasa kopi yang mereka minum adalah darah yang baru saja keluar dari kening yang ditembak bolong. Mereka tak mampu mengelak sesaat Saliman meminta malam itu juga untuk dinikahkan.

Sehari setelahnya, orang-orang tak lagi melihat Saliman dan istrinya. Ia hilang begitu saja.

Salah seorang meludah untuk mempercayai cerita itu.

“Sudah berapa puluh tahun cerita itu dan kita masih percaya?” tanyanya.

“Iya, bahkan kita tidak tahu siapa yang sudah membuat cerita itu!”

“Bisa jadi cerita itu tidak ada, seperti kita tahu gunung es itu di kutub utara, tapi kita tidak pernah melihatnya langsung.”

“Parahnya, kiai yang masih percaya pada cerita itu menambahkan, bahwa Saliman membelah perut buaya dengan kukunya.”

“Omong kosong, memangnya siapa Saliman?”

“Kata kiai, ia nabi!”

***

Bayi itu kurus bagai buah cempedak, membusung perutnya saja. Kepalanya bulat biji alpukat yang tak sempurna. Ia tidak menangis saat keluar dari rahim perempuan yang hamil tanpa suami—dibela-bela orang kampung, bahwa jaman dulu pernah ada perempuan hamil tanpa suami, melahirkan nabi.

Oleh seorang Buya yang sudah tua—tak mampu menghitung berapa cangkir kopi yang telah ia seduh dalam sehari, bahkan tak mampu menghitung berapa jumlah sapi miliknya—bayi itu dikutuk turunan iblis hanya karena tidak menangis seperti kebanyakan bayi bahkan setelah dicubit dan dipukul dengan bambu kuning. Orang-orang yang setuju dengan pernyataan itu, berdatangan sambil membawa parang untuk menggesek leher si bayi secara bergantian, namun tak ada yang mempan.

“Tentu kita tidak bisa membunuh iblis,” ucap seorang yang putus asa sebab tak ada bekas luka di leher bayi.

Mereka termenung hingga akhirnya menyimpulkan, hanya nabi yang bisa membunuh iblis. Mereka ingat dan langsung meyakini bahwa Saliman jelmaan Nabi Yunus, namun beberapa orang menyanggahnya, karena Nabi Yunus ditelan paus bukan buaya. Lagi pula Nabi Yunus tidak pernah memenggal kepala anak melainkan Ibrahim.

“Jadi kita perlu ditelan buaya untuk memanggil Nabi Saliman?” tanya salah seorang.

“Kita belum tahu Saliman itu nabi apa bukan.”

“Betul. Bahkan ia tidak punya sayap!”

“Bodoh. Yang punya sayap itu malaikat.”

Maka mereka semua terdiam. Bersamaan dengan lengang yang begitu terasa seperti angin tidak bertiup, mereka seolah dibawa ke sebuah tempat yang aneh, padahal serupa kampung Nambuk Kubo yang tiada beda sedikit pun.

Di sana angin berdesir, pohon bergoyang, orang-orang melihat seribu layang-layang jatuh dari langit lalu sebuah cahaya menyusul muncul sambil bernyanyi dengan lagu yang baru diciptakannya saat itu[1]; siapakah Saliman, siapakah Saliman.

Sosok dari cahaya itu menari-nari bersama layang-layang tanpa arah. Sementara itu, sepotong awan di langit, sebongkah batu di bumi, sebatang pohon, selembar daun, seekor serangga sampai benda-benda lain seakan ikut bernyanyi; siapakah Saliman, siapakah Saliman. Mereka pun saling berhadap dan ikut bernyanyi; siapakah Saliman, siapakah Saliman.

Angin berdesir, pohon bergoyang, daun berguguran, batu bergerak-gerak, serangga berterbangan. Sosok tadi telah pergi menuju langit dan tidak lagi bisa dilihat, bahkan mereka lupa apa yang barusan terjadi.

Jeda dalam bingung yang tak sampai ujung kebenaran tentang peristiwa yang terjadi, mereka memilih untuk tidak peduli. Dan salah seorang berkata, “Sehari setelah menghilang dari kampung, Saliman dan istrinya hidup di dalam perut buaya, bukan langit.”

Seakan perkataan itu memang dibisikkan langsung ke telinga masing-masing, orang-orang paham dengan keputusan yang benar-benar tepat saat itu; melempar bayi ke dalam mulut buaya menganga dan membiarkannya bertarung melawan Nabi Saliman. Mereka merasa hal itu pantas dilakukan.

“Jadi benar ia Nabi?”

“Kelak, hanya bayi itu yang tahu.”

***

Warung kopi itu masih berdiri. Tak ada yang berbeda kecuali pelanggan lama yang tidak kembali. Selain kiai dan buya yang sudah tua ditambah seorang lelaki muda, tidak ada orang lain yang duduk di sana. Bukan tanpa alasan, hal itu pengaruh temuan minuman baru hasil dari orang kampung mengolah pohon nira menjadi tuak yang belakangan lebih populer. Orang kampung lebih senang bercakap sambil mabuk.

“Gam, bagaimana kamu lahir?” tanya kiai yang baru menandaskan satu teko tuak pada seorang lelaki muda itu. Kiai itu sudah berkali-kali mengelabui Buya Komar yang tua dan pikun bahkan tak mampu mencium aroma tuak yang khas.

Buya Komar pikir, kiai atau seorang yang entah siapa dalam pandang matanya, meminum kopi yang dibuat olehnya.

“Betul kata orang-orang, aku lahir dari perut buaya yang kusobek dengan kukuku,” Gam menjawab dengan yakin. Ia juga menambahkan sewaktu-waktu ia akan tidur di dalam perut buaya dan sewaktu-waktu tidur di rumah Muslimah, istri muda Buya Komar—yang sekarang entah ada di mana, banyak diduga punya simpanan daun muda.

Untuk membuat kiai percaya, Gam tersenyum lalu menjelaskan, bahwa selagi mereka berbicara, ia sudah menghilang berkali-kali, ke rumah Muslimah, ke rumah kiai—ia mengaku menjawil pantat istrinya—dan kembali duduk berbicara dengannya. Gam juga meminta maaf serta turut menyesali jika mata kiai bukanlah mata yang dikaruniai untuk melihat kecepatan seseorang menghilang.

Kiai kesal. Setelah meludah, ia berkata Gam penuh dengan omong kosong. Sambil meludah sekali lagi, kiai mengayunkan tangannya. Darah menetes dari bibir Gam setelah ia terjungkal. Kiai tertawa. “Memang mataku tidak dikaruniai, tetapi tanganku dikaruniai untuk mengalahkan kecepatanmu menghilang.” Kiai puas bisa menghajar Gam. Ia bergumam persis seperti legenda kepala Saliman yang menghantam batu. Ia puas telah mempermalukan Gam, meski tidak pada Buya Komar yang mungkin tidak benar-benar melihat kejadian menghajar itu dengan utuh.***


[1] Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat, cerpen Danarto yang menggambarkan Jibril turun dari langit.


Beri Hanna adalah penulis kelahiran Bangko. Ia sering terlibat dalam beberapa pertunjukan teater berbasis riset tubuh dan tata ruang, baik sebagai dramaturg, aktor, dan tim artistik bersama Tilik Sarira. Ia memenangi Sayembara Novel Renjana, 2021. Ia bergiat di Kamar Kata Karanganyar. Bukunya akan terbit berjudul Menukam Tambo.