“Tapi, Paman, apa yang mau kau lakukan jika hari ini benar-benar kiamat?” Khansa kembali bertanya. Aku tersenyum, bukan karena berusaha sok keren atau memikirkan jawaban yang bijaksana. Tapi merasa bodoh karena aku juga sebetulnya tak siap dengan pertanyaan semacam itu. Aku jongkok, dan berbalik tanya kepadanya, “Kau dulu, kalau kau bagaimana?”
Pandemi ini cukup merenggut kewarasanku. Berita-berita yang kubaca, mitos-mitos mujarab penangkal virus yang kudengar, tetangga yang kudapati tengah berjemur setiap pagi, hingga rutinitas itu-itu aja selama pengasingan diri ini membuat kegilaan rasanya menjadi sesuatu hal yang wajar. Bahkan susunan agenda mandiku yang tadinya tak pernah kupikirkan sebegitunya, seperti: mulai dengan buang air besar—menyikat ketiak—sampoan—cuci muka—dan diakhiri dengan sikat gigi, kini sudah kukhatami betul dan kumodifikasi susunannya sedemikian rupa hanya untuk mencoba awas bahwa aku benar-benar masih hidup di dunia ini.
Aku jarang sekali ke luar rumah, hanya sesekali saja kalau memang itu perlu. Terakhir kali sekitar dua minggu lalu dan itu pun karena Ibu memintaku ke pasar untuk membeli jahe merah. “Katanya bagus untuk menangkal virus,” terangnya sambil menunjukkan salah satu pesan dari grup whatsapp keluarga. Selain itu aku memilih untuk diam saja di rumah. Sebetulnya bukan karena paranoid juga, mungkin karena sudah terbiasa hingga akhirnya jadi malas untuk keluar kalau itu memang tidak perlu-perlu amat. Sebab kupikir hampir semua kegiatan sudah bisa dilakukan dari rumah, mulai dari kerja, berkomunikasi dengan kawan secara daring, hingga yang terpenting mencari hiburan dengan bermain bersama keponakanku, Khansa.
Khansa baru saja memasuki kelas empat sekolah dasar semester lalu, dan sebetulnya aku kasihan betul melihatnya harus berinteraksi dengan guru dan teman-teman kelasnya lewat layar. Tapi apa boleh buat, semua demi kesehatannya meski harus mengorbankan banyak hal menyenangkan yang tak bisa ia dapatnya dari balik laptop.
Suatu hari kudengar Khansa sedang belajar materi Agama Islam, aku bisa mengetahuinya karena kamar kami bersebelahan. Dia tengah memasuki bab iman kepada hari kiamat saat itu, dan tak pernah kudapati Khansa sehening ini ketika sedang belajar daring. Biasanya dia suka diam-diam memainkan legonya di bawah meja laptop hanya untuk menghilangkan rasa kantuk, begitu alasannya ketika suatu hari kutanya kenapa tidak memperhatikan gurunya. Maka sekadar iseng, kutoleh kepalaku sedikit untuk melihat apa yang sedang dilakukannya. Aku cukup kaget saat melihat wajahnya begitu gugup dan pucat, awalnya kupikir dia sakit atau bagaimana. Saat kuhampiri dan kutanya mengapa ia begitu, ia menatapku dengan wajah polosnya dan berkata, “Takut.”
Sejak hari itu, hampir setiap pagi kulihat Khansa ada di balkon lantai dua rumah kami. Saat kutanya Ibunya apa yang sedang dilakukan Khansa, ia hanya tertawa kecil sambil berkelakar bahwa anaknya sedang mengawal matahari. Aku tidak mengerti, maka kuhampiri Khansa yang sedang khusyuk sekali dengan hal yang menyita perhatiannya.
“Ada apa? Apa yang kau lihat?” Aku ikut menoleh dan menerka-nerka apa yang mencuri perhatiannya. Beberapa detik kemudian aku tak mendapati apapun kecuali tetanggaku yang tengah bersiap-siap untuk berjemur. Aku mendesaknya lagi.
“Memastikan matahari terbit dari Timur, Paman,” jawabnya mantap. Aku sempat bingung beberapa saat, kemudian menepok jidat. Ya Tuhan, lucu sekali bocah ini. Tak kusangka materi pelajaran iman kepada hari kiamat beberapa hari lalu masih menempel betul di kepalanya, yaitu salah satu tanda-tanda kiamat besar adalah matahari terbit dari Barat.
“Baiklah kalo begitu, kita pastikan matahari terbit dari Timur secara bersama-sama,” beberapa menit kemudian awan menyingkap dan cahaya keluar lewat sela-selanya. Tetanggaku yang tadinya tengah bersiap-siap, mulai berkumpul seperti semut pada gula di sekap sinar yang terbentuk di jalanan. Khansa menghembuskan nafas lega.
***
Khansa mengguncang badanku kencang, aku kaget bukan main dan sontak terbangun dari kasur. Aku bertanya apa yang terjadi. “Kita akan mati, Paman!” Kalimat itu ia ulang berkali-kali. Karena baru saja tersadar, aku cukup kaget mendengarnya. Belum sempat kutanya apa maksudnya, ia menggegam tanganku dan mengajakku ke balkon lantai dua. Lihat paman, matahari tidak terbit dari Timur, katanya sambil menggoyang-goyang tanganku. Aku memperhatikan langit baik-baik dengan mata yang masih kunang-kunang. Seketika darahku yang terkumpul di kepala rasanya seperti selang air yang tersingkap dan dikembalikan sebagaimana mestinya hingga airnya menjalar mengisi ruang yang lain. Aku terduduk di kursi yang ada di sana sambil menghembuskan nafas panjang.
“Ini namanya mendung, Sayang, tidak ada yang perlu kau khawatirkan.”
“Tapi matahari tidak muncul dari Timur.”
“Tapi begitu juga dari Barat,” balasku sambil menunjuk ke arah yang berlawanan. Dari air wajahnya kulihat ia sedikit mereda, sejujurnya aku kesal sekaligus gemas saat itu. Khansa sungguh mengartikan matahari terbit dari Barat sebegitunya, aku tak benar-benar menyalahkan pemahamannya yang begitu. Hanya saja aku kaget bukan main barusan.
Aku mencoba menjelaskannya dengan keterbatasan ilmu yang kumiliki, dengan bahasa yang mungkin bisa membuatnya sedikit lebih tenang. Aku bilang bahwa sebelum matahari terbit dari Barat, akan ada peristiwa-peristiwa lain yang terjadi. Seperti munculnya tanda-tanda kiamat kecil terlebih dulu, terangku kepadanya.
“Kalau begitu aku mau belajar yang giat supaya tidak menambah jumlah orang bodoh di dunia ini, Paman,” Khansa merespon salah satu contoh tanda-tanda kiamat kecil yang kuberikan, yakni banyak orang yang semakin bodoh. Aku mengacunginya jempol.
“Tapi, Paman, apa yang mau kau lakukan jika hari ini benar-benar kiamat?” Khansa kembali bertanya. Aku tersenyum, bukan karena berusaha sok keren atau memikirkan jawaban yang bijaksana. Tapi merasa bodoh karena aku juga sebetulnya tak siap dengan pertanyaan semacam itu. Aku jongkok, dan berbalik tanya kepadanya, “Kau dulu, kalau kau bagaimana?”
“Aku mau mengerjakan PR matematika dan menyelesaikan lego pesawatku dulu,” jawabnya yakin. Aku terkekeh. Setelah itu ia kuajak untuk sarapan terlebih dulu, sepertinya sarapan akan membuat kami jadi lebih baik. Tak lama setelah sarapan, aku bergegas untuk mandi karena aku harus mulai kerja. Meskipun kerja dari rumah, tapi lagi-lagi, mandi rasanya membuatku jadi lebih baik.
Aku mulai dengan buang air besar sekaligus menyikat gigi, kubuka keran sedikit agar menimbulkan riak air di ember untuk menyembunyikan suara plung yang tak sedap kalau didengar. Di sela-sela itu, pertanyaan Khansa lumayan menyita kepalaku. Kira-kira apa yang mau kulakukan kalau hari ini benar-benar akan kiamat? Beberapa menit setelah mencoba merenungkan jawabannya hasilnya tetap nihil. Aku benar-benar tidak tahu.
Awalnya kuanggap jawaban Khansa begitu kekanak-kanakan, karena bagaimanapun memang usia dia juga demikian. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, Khansa dan aku adalah dua orang dengan tipe berbeda jika dihadapkan dengan kematian. Kepalaku justru sibuk terjebak di memori masa lalu yang mengingatku akan hal-hal yang rasanya membuatku berharap waktu tidak secepat itu atau tidak berakhir dalam waktu dekat, sedangkan Khansa hanya ingin sesegera mungkin menyelesaikan tugas sekolah dan menyusun legonya.
Aku membuka gawai untuk sekadar mengalihkan kebuntuan tersebut. Aku mulai dari membaca portal berita harian yang dipenuhi informasi tentang meningkatnya jumlah pengidap virus yang sejalan dengan pekerja yang di-PHK. Kemudian membuka media sosial yang sedang ramai memperdebatkan pro-kontra vaksin yang akan diedarkan bulan depan dan kampanye tentang kaitan pandemi dengan elit global serta hal-hal omong kosong lainnya, lalu beralih ke grup whatsapp yang dibanjiri pesan singkat tentang rupa-rupa konspirasi pandemi, hingga tautan berita seorang janda Cianjur yang mengaku hamil gegara angin semriwing yang masuk ke selangkangannya, dan tautan tautan lain yang jika kulanjutkan mungkin bisa membuat isi perutku ikut keluar juga. Maka segera setelah itu kututup kembali gawaiku. Ini benar-benar tak membantu.
Banyaknya orang bodoh di dunia ini, aku membatin berulang-ulang. Aku tertawa karena merasa geli sendiri dengan jawaban yang kuberikan kepada Khansa. Meski setelah kupikir-pikir lagi, sepertinya jawaban itu sudah lumayan tepat mengingat banyak hal sinting yang saat ini sudah dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Kalau begitu, rasanya dunia memang sedang dalam proses menuju akhir. Lantas jika kiamat sudah benar-benar terjadi, yang kulakukan sejauh ini adalah: tidak ada. Begitu-begitu saja dengan harapan naif bahwa besok dan seterusnya akan lebih baik lagi.
Tapi anehnya kenapa aku juga menjadi turut khawatir jika matahari tidak terbit dari Timur? Entahlah, pertanyaan itu sulit betul untuk dijawab. Aku memutuskan untuk menyudahi kegiatan perenungan ini dengan: cebok, sampoan, menyikat ketiak dan kuakhiri dengan cuci muka. Saat tengah mengeringkan tubuh, Khansa menggedor kamarku. Aku membuka sedikit dan bertanya ada apa.
“Paman, ayo kita pastikan matahari terbit dari Timur bersama-sama.” Aku menyuruhnya untuk tunggu sebentar dan segera mengenakan pakaian. Setelah semua selesai, aku menghampirinya.
Kami sama-sama pergi ke balkon lantai dua, kulihat awan-awan gelap yang tadi menggumpal memang pelan-pelan mulai menghilang seperti aromanis yang masuk ke dalam mulut.
“Lihat, Paman, matahari mulai terbit dari sana!” Langit mulai cerah. Lambat laun sinarnya semakin menyala hingga membuat mata kami sedikit picing. Aku tersenyum, sejujurnya aku betul-betul ikut senang. Syukurlah jika matahari masih terbit dari Timur, paling tidak aku masih punya waktu untuk memikirkan jawaban apa yang benar-benar tepat untuk pertanyaan Khansa.
“Paman, aku masih penasaran. Apa yang akan kau lakukan jika hari ini benar-benar terjadi kiamat?” tanya Khansa tiba-tiba.
“Hmm. Entahlah,” timpalku sejenak. Khansa menunggu jawabanku. “Jika hari ini benar-benar akan kiamat, mungkin aku akan membantumu mengerjakan PR matematika dan menyusun lego pesawatmu selagi sempat,” lanjutku untuk menutup pagi yang baru saja mulai sambil menggendong tubuhnya yang kecil dan membawanya ke kamar. Khansa tertawa geli.
Rawamangun, awal tahun 2021

Muhammad Putera Sukindar, lahir di Bogor 15 Juni 1996. Hampir bercita-cita jadi penulis, tapi kayaknya nggak jadi. Sebelum tidur suka nonton video penampakan di youtube, kalau punya rekomendasi video serem bisa colek ke IG @ptrskndr