Mengantar Antologi Seribu Tahun Lagi
Oleh Djoko Saryono
/1/
Jauh sebelum istilah dan konsep homo sapiens berkembang kuat, istilah dan konsep homo ludens – berpasangan dengan istilah dan konsep homo faber – sudah lebih dulu berkembang pesat. Pandangan manusia sebagai makhluk bermain – beserta makhluk bekerja – berkembang lebih dulu daripada manusia sebagai makhluk berpikir karena konon manusia memang lebih dulu bermain sekaligus bekerja daripada berpikir – revolusi kognitif muncul lebih belakangan daripada evolusi emotif-sosial. Sebagai makhluk bermain tentu saja permainan menjadi aktivitas utama kelompok manusia di samping pekerjaan (dalam pengertian umum dan sederhana, bukan teknis seperti sekarang). Keseimbangan dan keselarasan antara bekerja dan bermain diupayakan oleh kelompok manusia dengan mengembangkan permainan dan pekerjaan tertentu. Bila ditakar, boleh jadi bermain lebih intensif dilakukan oleh manusia daripada bekerja.
Permainan apakah yang dilakukan kelompok manusia untuk mengisi hari-hari mereka? Tentu saja ada berbagai bentuk dan jenis permainan pada satu dan pelbagai rentangan masa. Kata Huizinga (filsuf kenamaan Belanda) dalam buku legendaris berjudul Homo Ludens, seni merupakan permainan tertua manusia – manusia purba atau lama adalah seniman-seniman yang menjadikan seni sebagai permainan. Sebagai salah satu bentuk seni, puisi merupakan salah satu bentuk permainan tertua dalam kehidupan bersama manusia. Sebab itu, pada mulanya manusia berpuisi yang hakikatnya sedang bermain – bermain puisi, bermain bahasa; bukan berseni atau bersastra. Pada dasarnya mereka merupakan masyarakat bermain puisi – pertama-tama mereka merupakan masyarakat tutur puisi (sastra), bukan masyarakat tutur bahasa dalam pengertian speech commnunity sebagaimana sekarang diyakini oleh khalayak ramai. Di sini puisi (sastra) membawahkan bahasa dan berikutnya permainan membawahkan puisi dalam guyub manusia. Sebab itu, puisi dan berpuisi bukan keistimewaan khusus, melainkan sebuah fenomena eksistensial sehari-hari.
Permainan – beserta pekerjaan – dilakukan oleh manusia untuk mendapatkan kesenangan, kegembiraan, dan kepuasan hidup di samping mempertahankan dan merawat kebersamaan, keutuhan, dan keeratan. Demikian juga permainan seni khususnya permainan puisi dijalankan oleh manusia untuk memperoleh kesenangan, kegembiran, dan kepuasaan ruhaniah baik pribadi maupun bersama-sama. Seseorang atau sekelompok orang bermain puisi – bermain bunyi-bunyi, nada-nada, dan kemerduan diksi – agar senang, gembira, dan puas selepas lelah bekerja. Dalam kondisi ini puisi mengemban fungsi pernyataan dan penghadiran diri untuk mengada dalam hidup seperti bentuk-bentuk hidup lainnya. Tak heran, keberadaan puisi relatif setara dengan makanan-minuman pada satu sisi dan pada sisi lain kedudukan berpuisi relatif setara dengan makan-minum. Sampai di sini saya menjadi teringat pernyataan Mangunwijaya dalam Sastra dan Bentuk Hidup (dalam Menjadi Generasi Pasca-Indonesia, 1999: 73—83) bahwa sebagai bentuk hidup yang masih tulen (murni) sastra tak beda dengan makanan-minuman sehingga seorang sastrawan bukanlah manusia istimewa, melainkan manusia biasa. Sastra masih diperlakukan sebagai kagunan, sebuah kegunaan eksistensial dalam ranah sosial, belum disikapi sebagai seni artistis/estetis dan mengalami sofistikasi teoretis sebagaimana perspektif modern.
Dalam kerangka homo ludens yang senantiasa merealisasikan berpuisi sebagai bentuk hidup, tentu saja kelompok manusia memiliki (sekaligus berada di dalam) ekologi puitik atau ekosistem puitik yang sangat bagus dan alamiah, yang sering saya sebut masyarakat tutur puisi di mana puisi dan berpuisi masih tulen alamiah, masih benar-benar natural, belum mengalami sofistikasi dan konseptualisasi filosofis yang teknis sekaligus polemis. Sampai di sini saya menjadi teringat buku bertajuk Poetry Before Interpretation karya Jeff Dolven (University of Chicago Press, 2017) yang memaparkan ihwal kondisi puisi sebelum mengalami sebelum mengalami penggayaan dan penafsiran (estetisasi dan interpretasi). Hal ini membawa ingatan saya kepada buku bertajuk Transfiguration: Religion of Art in Nineteenth-Century Literature Before Aestheticism karya Stephen Cheeke (Oxford University Press, 2016). Lebih lanjut hal tersebut mengingatkan saya kepada kitab berjudul Art Before the Law: Aesthetics and Ethics karya Ruth Ronen (University of Toronto Press, 2014) yang menggambarkan kondisi seni termasuk sastra sebelum dan sesudah penegakan hukum estetika dan etika. Berbagai hal tersebut malah kemudian mendorong saya untuk merenungi kembali buku Before Literature karya Sheila J Nayar (Routledge, 2020) yang memaparkan kondisi kisah/dongeng/naratif sebelum ada teknologisasi kata-kata dan rekayasa sosial-budaya. Dalam masyarakat tutur puisi tersebut, yang berekologi puitik atau berekosistem puitik alamiah dan non-diskursif, puisi dan berpuisi sebagai permainan didukung oleh modal kultural khususnya (saya sebut saja) modal puitik (malah modal sastrawi, literary capital). Tegasnya, ekosistem puitik yang berada di dalam dan melekat pada masyarakat tutur puisi jelas menyediakan modal puitik yang kaya dan beragam bagi kelompok manusia yang mendukungnya.
Yang saya maksud modal puitik di sini ialah kekayaan atau aset puitik yang dimiliki oleh sekelompok manusia yang hidup bersama di dalam sebuah masyarakat tutur puisi, yang memungkinkan setiap orang memiliki pengetahuan puisi sekaligus melakukan permainan berpuisi. Modal puitik dimaksud bukan saja berupa pengetahuan puitik atau wawasan puitik yang secara alamiah melekat pada diri, tetapi juga kecakapan puitik dan kepekaan puitik yang tinggi-alamiah. Dengan modal puitik tersebut orang per orang sekaligus kelompok orang bukan saja secara gesit-cepat cakap menangkap sekaligus menyarangkan momentum-momentum puitik yang bertebaran di dalam ekosistem puitik yang ada, tetapi juga sanggup menciptakan momentum-momentum puitik berdasarkan rangsang ekosistem puitik yang ada. Spontanitas dan improvisasi puitik (sebenarnya tak ada yang benar-benar spontan dan improvisasi – yang ada adalah ingatan-ingatan puitik yang dapat dipanggil dan ditampilkan secara kilat) sekaligus kreativitas puitik wajar berlahiran dan berlompatan dalam ranah-ranah publik tempat mereka berhimpun bersama – bermain puisi bersama. Sastra pertunjukan yang masih dapat kita temukan di berbagai masyarakat merupakan satu contoh. Jadi, orang-orang yang bertungkus-lumus dalam sebuah ekosistem puitik yang bagus piawai menangkap dan menyuratkan momentum puitik yang mereka dapatkan sekaligus mampu menciptakan momentum puitik agar mampu bermain puisi. Di sini puisi merupakan tilas atau prasasti momentum puitik.
/2/
Karena berbagai transformasi alam dan budaya – termasuk transformasi masyarakat – yang sedemikian luar biasa dan rumit yang dihela oleh bermacam-macam faktor, pada zaman sekarang mungkin kita sudah sulit menemukan atau menjumpai masyarakat tutur puisi yang menyediakan ekosistem puitik seperti yang diulas di atas. Namun, bukan berarti tak ada – dalam batas-batas tertentu saya kira masih ada (meskipun minor dan sedikit) masyarakat tutur puisi dengan ekosistem puitik yang bagus masih eksis di dunia. Diversifikasi, spesialisasi, dan teknikalisasi corak dan aktivitas budaya dan masyarakat mungkin telah menyapu atau membatasi keberadaan dan lanskap masyarakat tutur puisi yang alamiah dan non-konseptual, namun bukan berarti habis tak berbekas sosok masyarakat tutur puisi. Di Indonesia yang sangat luas dan beraneka ragam masyarakat, kawasan, dan budayanya – apalagi dunia – masih dapat kita temukan keberadaan masyarakat tutur puisi. Mungkin pula masyarakat tutur puisi yang dahulu ada telah bertransformasi atau berevolusi sedemikian rupa menjadi “masyarakat tutur puisi” baru, yang demi mudahnya saya sebut saja komunitas puitik (poetic communities, poetic societies).
Sekalipun tatanan masyarakat sekarang sudah berubah drastis dan nyaris total, saya meyakini adanya komunitas-komunitas puitik atau bahkan masyarakat-masyarakat puitik di berbagai tempat di dunia termasuk di Indonesia. Di samping itu, modal puitik yang sudah menjadi warisan budaya tidak serta-merta hilang atau punah ketika masyarakat tutur puisi “tergusur atau tenggelam” akibat yang menyangganya sudah tiada. Bisa jadi modal puitik itu terwariskan pada masyarakat yang baru tumbuh dan berkembang khususnya “masyarakat puitik” yang khas dan terbatas atau komunitas-komunitas puitik yang muncul dan berkembang.
Menurut hemat saya, pada masyarakat kita sekarang (baik yang sering dibayangkan sebagai masyarakat 4.0 atau masyarakat 5.0 maupun masyarakat urban-rural-adat) tengah tumbuh komunitas-komunitas puitik dalam bentuk khusus dan teknis, yang dahulu mirip dengan masyarakat tutur puisi yang sudah diulas di atas. Komunitas-komunitas puitik yang sekarang berkembang itulah yang mewarisi, melestarikan, dan memajukan modal puitik – baik warisan modal puitik maupun cipta-guna modal puitik. Ringkasnya, sekarang kita dapat menemukan berbagai komunitas puitik dengan modal puitik tertentu yang menjadi kekayaan mereka melahirkan puisi dan melaksanakan tradisi berpuisi meskipun sangat boleh jadi puisi dan berpuisi sudah bukan sepenuhnya sebagai permainan lagi. Bisa juga dikatakan dengan kalimat lain bahwa residu-residu modal puitik (kecakapan puitik, kepekaan puitik, dan pengetahuan puitik) melekat dalam komunitas-komunitas puitik terkini dengan ekosistem puitik tertentu.
Sayang bayangkan para penyair (boleh dibaca: penulis puisi) yang puisi-puisi mereka terhimpun dalam antologi berjudul Seri Tahun Lagi yang digawangi oleh Muhammad Lefand ini merupakan satu komunitas puitik masa kini atau terkini yang dimaksud di atas. Meskipun mungkin bersifat lumayan cair dan longgar, mereka bukan kerumunan tanpa dasar dan ikatan yang secara spontan atau tiba-tiba menulis dan mengirimkan puisi-puisi mereka untuk diseleksi dan dibukukan dalam antologi Seribu Tahun Lagi – pada mereka ada dasar dan ikatan yang menyatukan dan mengikat dalam satu komunitas puitik. Kalau bukan komunitas puitik luring (offline), minimal mereka sudah menyatu dalam komunitas puitik secara daring (online) – yang demi gagahnya dapat disebut komunitas puitik digital atau virtual. Menelisik identitas para penyair yang ada, tidak sedikit di antara mereka yang sudah lama berinteraksi dan berkomunikasi luring sedemikian intensif di samping berinteraksi dan berkomunikasi daring.
Atas dasar latar belakang yang ada, bisa dikatakan bahwa tak banyak di antara para penulis yang baru berhimpun, berinteraksi, dan berkomunikasi untuk keperluan antologi Seribu Tahun Lagi merupakan penyair yang benar-benar baru atau pertama kali tergabung dalam antologi. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa para penyair dalam antologi Seribu Tahun Lagi pada dasarnya merupakan komunitas puitik bauran (blended poetic communities) atau komunitas puitik hibrida (hybrid poetic communities), malah mungkin merupakan orang-orang yang masih menjadi pejalan ulang-alik dua komunitas puitik – antara komunitas puitik daring dan komunitas puitik luring. Bagaimana pun kondisinya, yang masih memerlukan elaborasi lebih lanjut, dengan mengikatkan diri dalam antologi puisi ini mereka telah menjadi representasi satu komunitas puitik baik secara imajinatif dan digital maupun secara real-sosiologis dan fisikal-konvensional walaupun domisili atau tempat tinggal mereka bersebaran di berbagai kawasan Indonesia.
Sebagai satu komunitas puitik bauran, hibrida atau pun fisikal-konvensional sudah tentu nama-nama penyair yang tersurat dalam antologi Seribu Tahun Lagi terikat oleh suatu ekosistem puitik meskipun terbilang cair dan longgar akibat kehilangan intimitas sekalipun terkoneksi dan tersinergi. Ekosistem puitik inilah yang memungkinkan mereka menemukan momentum puitik, menangkap dan menyarangkan momentum puitik, bahkan menciptakan momentum puitik. Tentu saja penangkapan dan/atau penciptaan momentum puitik tersebut berdasarkan kepekaan puitik, kecakapan puitik, dan pengetahuan serta pengalaman puitik tertentu – yang di atas sudah saya sebut sebagai modal puitik para penyair. Keberagaman modal puitik di antara nama-nama penyair yang urun puisi dalam antologi Seribu Tahun Lagi ini mengakibatkan perbedaan-perbedaan momentum puitik, dalam arti momentum apa yang ditangkap dan dituangkan penyair serta momentum apa yang dapat diciptakan oleh para penyair berbeda-beda seperti terlihat dalam puluhan puisi yang termuat dalam antologi Seribu Tahun Lagi. Tak ayal, pada dasarnya puisi-puisi mereka yang terhimpun dalam antologi Seribu Tahun Lagi merupakan prasasti momentum puitik yang beraneka ragam. Sebagai prasasti momentum puitik yang dihasilkan oleh para penyair, puisi-puisi dalam antologi Seribu Tahun Lagi ini mempresensikan bermacam-macam kepekaan, kecakapan, pengalaman, dan/atau pengetahuan puitik para penyair.
Secara kategorial umum, puisi-puisi para penyair Seribu Tahun Lagi sebagai prasasti momentum puitik membayangkan empat kelompok puisi sekaligus penyair. Pertama, puisi yang momentum puitiknya bagus yang dihasilkan oleh penyair dengan modal puitik yang kaya – kepekaan, kecakapan, pengetahuan, dan/atau pengalaman puitik penyair amat memadai. Di sini puisi-puisi menjadi begitu subtil dan sublim dengan kepadatan metaforis yang bagus. Dengan modal puitik yang kaya dan amat memadai, kemuraman dan kesedihan akibat pandemi (wujudnya bisa perpisahan dan kematian) sebagai momentum puitik dapat diolah dan dituangkan ke dalam puisi yang subtil dan sublim yang menggembirakan pembaca.
Kedua, puisi yang momentum puitiknya bagus yang dihasilkan penyair dengan modal puitik yang cukup memadai – kepekaan, kecakapan, pengetahuan, dan/atau pengalaman puitik penyair cukup memadai meskipun tidak dapat disebut kaya dan berumur lama. Di sini puisi-puisi sudah kontemplatif sekalipun kesubtilan dan kesublimannya masih terbatas. Kurang penangkaran dan pengolahan gagasan atau gejala yang menjadi momentum puitik. Misalnya, lumayan banyak puisi seputar pandemi virus korona menjadi seperti reportase karena kepekaan, kecakapan, dan pengetahuan puitik penyair terbatas.
Ketiga, puisi-puisi yang momentum puitiknya lumayan atau cukup bagus dan mengena yang dihasilkan oleh penyair dengan modal puitik biasa-biasa saja, dalam arti kepekaan puitiknya sudah ada, kecakapan puitiknya masih harus ditingkatkan, dan pengetahuan puitiknya masih terbatas serta pengalaman puitiknya belum panjang atau belum banyak. Di sini puisi-puisi sudah lumayan bergaya dan diusahakan reflektif sekalipun belum kontemplatif dan subtil.
Keempat, puisi-puisi yang momentum puitiknya biasa-biasa saja dan klise yang dihasilkan oleh penyair yang modal puitiknya harus dikembangkan lebih lanjut. Tampak penyair masih harus meningkatkan kepekaan, kecakapan, pengetahuan, dan pengalaman puitiknya. Bukan saja masih kesulitan memilih momen atau gejala dan sudut pandang bagi puisinya, di sini penyair masih tergolong terbatas kejelian-ketajaman dan kecakapan puitik – yang mungkin disebabkan oleh pengetahuan dan pengalaman puitiknya yang perlu terus diasah. Walaupun demikian, secara umum puisi-puisi dalam antologi Seribu Tahun Lagi ini tergolong dalam kelompok pertama dan kedua. Tak banyak puisi yang masuk dalam kelompok ketiga dan keempat. Karena itu, antologi Seribu Tahun Lagi ini layak disambut gembira, bahkan dibaca sebagai asupan nutrisi puitik pembaca atau khalayak puisi Indonesia. Kenapa? Pertama-tama karena puisi-puisi dalam antologi ini memang sudah layak menyandang sebutan puisi sesuai dengan rambu-rambu atau kaidah puisi yang sudah diusulkan oleh berbagai pihak. Selain itu, bagi saya, sebagian besar puisi dalam antologi ini disusun pada masa-masa sulit akibat kemelut pandemi, yang menggambarkan para penyair berus berkreasi atau minimal terus melahirkan puisi dan berpuisi.
Menurut hemat saya, hal ini menunjukkan bahwa para penyair berusaha menempatkan diri sebagai homo ludens dan mengajak para pembaca menjadi homo ludens. Dalam hal ini penyair dan para pembaca diajak menempatkan diri sebagai makhluk yang bermain puisi sekaligus mengangkat kembali puisi sebagai permainan. Dalam ketat kepungan sekaligus keterbatasan gerak langkah manusia, ajakan menjadi homo ludens dengan bermain puisi atau membuat permainan puisi terbilang menyehatkan dan membugarkan yang dapat menyeimbangkan kondisi psikokultural, bahkan psikososial penyair dan pembaca. Puisi dalam antologi Seribu Tahun Lagi sebagai permainan homo ludens tentulah akan mengimbangi pikiran dan gagasan kita sebagai homo sapiens. Di tengah krisis eksistensi homo sapiens lantaran pademi Covid-19, jelaslah berharga dan bermanfaat memperkuat homo ludens dengan mengapungkan aktivitas bermain puisi dan mengusung puisi sebagai permainan. Dengan keseimbangan posisi dan peran homo sapiens dan homo ludens, maka kewarasan publik dapat dipertahankan. Antologi Seribu Tahun Lagi ibarat permainan puitik homo ludens yang mengajak para pembaca bermain puisi di tengah badai dahsyat pandemi. Saya kira inilah kontribusi pokok antologi Seribu Tahun Lagi di antara longsornya kemanusiaan kita hari-hari ini – dia memberikan permainan puitik kepada kita; dia mengajak bermain puisi kepada kita. Dengan demikian, dia – antologi Seribu Tahun Lagi ini – mengajak pembaca kepada kegembiraan, yang dalam bahasa gagahnya dapat disebut poetical journey. Maka tabik atas terbitnya antologi Seribu Tahun Lagi.

Djoko Saryono adalah pembaca puisi sebagai permainan