Cerpen Beni Setia

Kematian seperti ber-Lebaran. Anak dan cucu—dari Jakarta dan dari Surabaya sengaja pulang serta berkumpul, dengan si anak serta cucu yang asli dari rumah sini, di ruangan tengah—dekat aku, yang dibaringkan berselimutkan kain panjang—kesayangan istri—pada sekujur tubuh. Mereka berwajah sendu hingga ketika mereka datang,  aku merasa berada di titik saat mereka sepakat akan kembali, pulang dan meninggalkanku dan sesekali, salah satu dari mereka itu mengeluarkan perintah, dengan suara lirih, mengeluarkan uang untuk membeli ini itu dan membuat ini itu. Pelan sekali. Kemudian, santun, menemui si banyak tamu yang datang, bersalam, berbicara dengan suara lirih. Dan cerita tadi itu kembali diulang  (mereka), seakan-akan mereka hanya si kaset rekaman, yang tak menunjukkan punya emosi dan kepekaan. Obyektif mirip rekaman video. Sesuatu yang membuatku ingin menjauh, menghilang dan tak mendengar apa-apa lagi.

Aku merasa bosan bahkan suara lirih itu terasa memalukan.

***

Sudah tiga bulan sakit—mungkin karena tua, renta, setelah lima belas tahun pensiun. Tubuh terasa emas, Kaki lunglai ketika dilangkahkan—meski tetap bisa berjalan dengan agak tertatih-tatih, dan otot tak mau mengencang dan terasa jadi makin kendur, longgar, hingga dibutuhkan tenaga untuk mengencangkannya saat memicu kontraksi untuk bergerak. Juga pada tangan serta punggung. Mungkin juga sekat rongga perut, ketika menarik nafas mengisi rongga di paru-paru menunggu darah dipompa untuk mengambil oksigen, juga ketika menghembuskan CO2. Aku masuk RS dan opname, dn dokter mengajukan usul untuk istirahat total memulihkan kondisi. Seminggu di RS, pulang—dua minggu di rumah—, kemudian masuk ke RS lagi, serta satu minggu dirawat. Sebelum aku sadar bahwa aku telah tua, telah uzur, harus bersiap untuk  ikhlas meninggal, dan memutuskan pulang, berbaring di rumah sambil membaca.

Tadi malam merasa sesak. Sepertinya paru-paru tidak lagi bisa menggerakkan sekat rongga perut, menyerap udara dan darah yang repleks meluncur memasuki sel paru-paru tidak lagi mampu menyerap dan mengangkut oksigen serta jantung berdegup. mengirimnya ke sekujur tubuh, serta (terutama) otak. Aku merasa agak pusing, setengah meriang—lebih tepatnya merasa dingin, terutama pada ujung jari tangan dan kaki—, dan perlahan mnjalar naik ke arah jantung dan kepala. Aku berasumsi meski menolak serta menyangkal penampakan itu: melihat segala hal yang tak seharusnya ada di rumah. Ilusi yang makin lama makin pasti. Sosok bayangan asing berjubah putih melayang-layang. Sosok utuh istri, yang sangat lembut tersenyum. Langit membeku, yang menjadi lingkaran yang berudak dari awan. Dan (kemudian) pelangi, dengan angin sejuk bau wangi kemuning tanpa ada gejala hujan gerimis. Aku tersenggal-senggal.

Dibawa ambulan ke RS, dicek seluruh tubuh—bahkan diinfus serta diberi nafas buatan—, sebelum dokter bilang, bahwa aku hanya butuh istirahat serta dianjurkan untuk pulang. Menjelang Subuh, saat aku dibaringkan di kursi jajaran kedua mobil—setelah di suntik. Terasa mengantuk dan nafas terasa kian memberat—aku terlelap. Tapi gerakan dari sekat rongga perut semakin terasa memberat. Sekat itu seperti mengeras, meski embusan masuk-keluar dari nafas terasa los, hanya meluncur di tenggorokan, sedang selaput penapis airnya jadi kendor, melonggar saat menutupi saluran. Aku merasa ujung tangan dan kaki semakin dingin, dan itu merambat sangat cepat. Aku terengah dan pelan melihat langit merendah, dengan sejulur undakan tangga awan, si sosok putih itu terenyum, dan sosok istriku, di jauhnya, lambaian seakan mempersilakan dan mengajak. Lantas nafasku tersedak, tersentak, dan merasa ada di luar tubuh. Seperti dikeluarkan dari dalam mobil, tapi bisa terus mengikuti laju mobil itu ke rumah.

***

Ketika sampai, ketika dibopong, dipindahkan, baru mereka tahu kalau aku telah meninggal—kabar dikirimkan. Aku tersenyum. Tertinggal di sisi mobil ketika tubuh yang mendingin dan mulai mengeras kaku itu diangkat dan pelan dibaringkan di ruang tengah—menjelang pagi. Tubuh dimandikan dan—meski kaku tak bisa bangun, aku tetap merasa hidup dan lentur bergerak—bersiaga (dan ikut salat) saat disalatkan di ruang tengah, sambil menunggu yang dari Jakarta—memakai pesawat paling dini—, kuburan disiapkan, dan segala urusan tetek bengek administrasi pun diurus banyak orang. Spontan bergerak.

Aku termangu. Aku menonton semua itu. Ingin membantu, tapi terpikirkan: itu tak pantas tidak ada dalam etika kematian. Jadinya aku menonton saja, seperti orang melihat TV pada even siaran langsung tinju, sepakbola, musik, perkawinan, ataupun pemakaman. Ya! Ingin juga sekadar mengobrol mengisi waktu, menyapa banyak orang, atau salah satu orang, tapi semua tak bisa menandaiku, kecuali Alwa yang baru empat tahun itu, yang tidak tahu apa-apa dan melulu tersenyum-senyum ketika digoda, dan karenanya aku tahu: aku ini telah dijauhkan, tapi ketka aku memilih menjauh Alwa menjerit menangis. Karenanya aku diam di pojok ruangan, di belakang semua orang. Menjauh tapi tak mau membuat sedih Alwa. Jadinya aku dipaksa menonton semua itu, sekedar menenangkan Alwa. Termangu melihat tubuh dipersiapkan untuk prosesi pemakaman.

Setelah itu: tubuh menghilang, dikuburkan dan ditimbuni dengan tanah galian yang diinjak-injak dan dipadatkan dan di kedalaman tubuh itu pasti akan merepih, tercabik-cabik oleh pembusukan, dan akan tertinggal tulang, sebab habis digeragoti cacing, bakteri, serta organis renik, hingga aku tahu bahwa tempatku bukan di Bumi lagi. Bahwa Dunia ini telah merepih serta mulai hancur. Karenanya aku harus menaiki tangga dari awan di langit yang selalu setia terjuntai. Tapi, kini, aku tak merasa perlu tergesa-gesa. Aku sekali lagi ingin melihat semua anak-cucuku. Sekali lagi merasakan kesedihan, seperti saat Lebaran usai, dan mereka kembali menjauh dan hilang.

***

DAN setelah itu semua akan lenyap menjauh, terpisah dari Bumi, Dunia, dan segala yang hidup, meskipun tepatnya dipisahkan dan aku tidak puya hak mengada lagi. Meskipun—di dalam wujud Ruh—akan dikutuk seperti Atlas, dihukum memanggul beban hidup kesalahan dan dosa.


Beni Setia, lahir di Bandung, Jawa Barat, 1954. Sastrawan berkebangsaan Indonesia. Namanya dikenal melalui karya-karyanya berupa cerita pendek (cerpen), esai sastra, dan puisi yang dipublikasikan ke berbagai media massa.