Cerpen Hari Niskala

Lubang itu berdiameter sekira satu senti, menghubungkan tembok sebuah kamar mandi dengan kamar mandi lain di sebelahnya. Lubang itu tidak alami, tentu saja. Ada jejak kerja tangan manusia di sana. Serpih-serpih bata merah beserta remah-remah beton abu-abu adalah bukti yang sedikit menjelaskan kerja tangan tersebut. Dan di sebuah sudut di luar kamar mandi, sebuah obeng tanpa gagang menggeletak di dekat sebuah televisi lawas yang sudah lama tak menayangkan siaran berita maupun sinetron kejar tayang. Obeng tanpa gagang itu jadi sesuatu yang amat berharga bagi seorang pemuda pemurung dan penyendiri.

Ialah Mat Ayam, pemuda penganggur yang sering menghabiskan tiga per empat waktunya untuk melamun, sedangkan seperempat sisanya untuk membaca novel-novel cabul stensilan. Gagasan membikin lubang itu sesungguhnya bermula dari dua hal. Ia sadar betul bahwa alasan pertama adalah novel-novel stensilannya. Sementara alasan kedua tidak diketahuinya secara pasti hingga akhirnya ia tetap memutuskan bekerja dengan obeng tanpa gagang itu di malam hari, setelah memastikan bahwa seorang teman yang sama-sama menghuni rumah kontrakan telah pulas tertidur.

Sambil mencari-cari alasan kedua yang belum juga sampai ke pikirannya, ia terus menggali lubang dengan cara memutar-mutarkan ujung obeng pada tembok. Tembok yang semula terlubangi paku ia bikin makin gompal, dan ia tinggal membikin sebuah kedalaman. Seperti mengebor. Tapi ia maupun Hermawan, satu-satunya teman di rumah kontrakan itu, tak memiliki mesin bor. Ia teringat pada sebuah obrolan warung kopi dengan salah satu temannya. Dari teman itu diperolehnya cerita mengenai seorang siswa SMP yang melubangi tembok toilet dengan paku. Anak yang diceritakan itu punya motif menyenangkan, yakni ingin mengintip siswi yang berganti pakaian pada pergantian jam pelajaran olahraga. Mat Ayam tersenyum sembari membayangkan si anak yang melubangi tembok akhirnya dapat menikmati pemandangan dalam wujud lekuk tubuh.

Seseorang tiba-tiba mengetuk pintu kamar mandi. Mat Ayam terperanjat, dan bunyi ujung obeng yang bergesekan dengan batu bata mesti ia hentikan. Suara Hermawan yang terdengar tak tahan untuk buang kencing membikinnya mengalah dan keluar dari kamar mandi sempit itu. Hermawan benar-benar buang kencing, terdengar seperti bunyi air hujan ke pelimpahan. Bunyi deras air kencing yang membentur lantai kamar mandi, entah mengapa, membikin Mat Ayam mengantuk. Ia pun menunda kerja melubangi tembok hingga tiga hari lamanya.

*

Hermawan berjumpa dengan Nisrina di suatu sore kala mereka sama-sama berbelanja makanan ringan di sebuah toko swalayan. Pertemuan tak disengaja itu jadi seperti reuni kecil, membuka ruang berdialog hingga beberapa menit. Usai berbelanja, mereka bersepakat mengudap es cincau di pelataran toko swalayan yang sedang sepi itu.

“Ngomong-ngomong, jika ada rumah yang disewakan, kabarilah saya!”, ucap Nisrina tiba-tiba.

“Kau butuh rumah yang luas? Ukuran berapa?”, tanya Hermawan ditingkahi suara kunyahan cincau di mulutnya.

“Tidak harus luas. Asal saya dapat berteduh saja.”

Hermawan mengangguk. Tiga hari kemudian, di suatu hari Minggu di bulan September, Nisrina menempati rumah kontrakan yang berletak samping-menyamping dengan rumah kontrakan yang ditempati Hermawan bersama Mat Ayam. Setelah mengobrol sebentar dengan pemilik rumah yang sebenarnya, Hermawan membantu Nisrina memasukkan beberapa barang yang diangkut oleh mobil pikap. Barang yang kelewat banyak, dan Hermawan terpaksa memanggil Mat Ayam—yang bertelanjang dada dan hanya mengenakan kain sarung untuk menutupi bagian bawah tubuh—agar membantunya. Sebuah televisi empat belas inchi dan sekotak mesin penanak nasi terasa ringan saja dipanggul Mat Ayam dalam satu waktu. Nisrina tercengang sesaat, lalu berpura-pura mengelap sepeda yang dibawanya serta.

Sesaat Mat Ayam melirik pada Nisrina, lalu tanpa diduga kedua pandang mata saling bertumbukan. Sesaat pula darah Mat Ayam dibikin berdesir oleh pandang mata yang dirasanya tak biasa itu. Malam harinya Mat Ayam dibikin tak bisa tidur, terlebih ia dapat mendengar Nisrina bersenandung kecil dengan suara demikian merdu. Senandung itu, alangkah menggemaskan. Dan mendekati pukul satu dinihari, setelah memastikan Hermawan telah pulas, Mat Ayam memulai lagi kerjanya melubangi tembok. Ia merasa telah menemukan alasan kedua.

Ia asyik-masyuk dengan bunyi gesekan ujung obeng yang mengerat lapis demi lapis tembok. Sebunyi kecil decitan ujung obeng kemudian bertemu dengan beton, dan ia mesti memutar obeng tanpa gagang itu makin kuat. Lapis demi lapis yang terkerat menyisakan remah-remah debu berwarna oranye dan abu-abu dan warna lain yang tak dikenalnya. Cucuran keringat dari dahi kemudian memaksanya membuka kaos. Bertelanjang dada. Dan ia makin tekun memutar-mutar obeng agar tembok di depannya lekas bolong. Ia jadi serupa penambang yang terus menggali. Ia sedang ingin mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia tidak sepenuhnya menganggur. Setidaknya masih ada yang bisa ia kerjakan, kendati hanya hal remeh-temeh seperti yang sedang dilakoninya sekarang.

Dua bulan lalu ia masih dapat bekerja sebagai penagih hutang di sebuah kantor bank. Namun lama-kelamaan pekerjaannya makin memuakkan, sering bertentangan dengan isi hati, dan akhirnya ia justru memilih keluar saat pekerjaan makin susah diperoleh. Berkali-kali ia melamar pekerjaan lain, berkali-kali pula ditolak. Sehingga ia kemudian merasa mantap dan yakin bahwa menganggur bukan mutlak jadi sebuah kesalahan. Lagipula “menganggur”—menurut pakar bahasa Indonesia—adalah kata kerja aktif (karena diawali me-), bisiknya dalam hati. Dan ia hampir-hampir meledakkan tawa sebelum menyadari bahwa ayam jantan di luar sedang berkeruyuk. Hari telah memasuki fajar baru, sementara lubang yang ia upayakan belum juga menembus tembok di kedua sisi.

Ia memastikannya dengan mengintip ke kedalaman lubang berkali-kali. Hanya gelap bercampur debu-debu samar, pertanda tembok itu masih buntu. Maka ia menggali lebih keras, mengabaikan titik-titik keringat di punggung dan tengkuknya. Sedikit rasa letih membikinnya berhenti sejenak, menata kembali napasnya yang tinggal satu-satu. Ia mengukur ketebalan tembok dengan sesekali mendongak, mengamati bagian atas yang terbuka sambil membikin taksiran dengan mengandalkan isi kepalanya. Ia memasukkan obeng lagi sembari menghitung. Ia telah menggali sedalam tujuh senti. Tiga senti lagi, pikirnya. Dan sebelum ia melanjutkan kerjanya, adzan Subuh terdengar sayup-sayup. Ditangguhkannya kerja itu sekali lagi.

*

Ia berpura-pura tidur saat Hermawan menawarinya sarapan nasi uduk. Ia mengakhiri kepura-puraan itu setengah jam kemudian—saat Hermawan menyalakan sepeda motor untuk berangkat bekerja di kantor perusahaan asuransi. Udara pagi yang dingin membikinnya enggan mengguyur badan di pagi itu. Ia kembali menyiapkan obeng tanpa gagang dan mulai menggali lagi, dengan ketekunan yang ia sendiri tak dapat jelaskan.

Di sela-sela kerja itu ia mendengar seorang memasuki kamar mandi. Tak syak lagi, itu Nisrina. Sebuah suara guyuran menyusul kemudian, diikuti senandung-senandung kecil, disusul sebuah lagu yang telah lama ia kenal. Ia tahu itu lagu Chrismansyah Rahadi, Merepih Alam. Ia dapat bayangkan betapa nikmatnya mengguyur badan sambil menyanyikan lagu itu. Ia bahkan lupa bahwa ia harus menggali tiga senti lagi. Suara merdu Nisrina membawanya seolah menuju tempat yang sangat tinggi. Sesungguhnya ia phobia dengan ketinggian, namun suara Nisrina terlanjur membikinnya melayang dan lupa pada sengkarut dunia. Diam-diam ia kemudian menjuluki Nisrina sebagai “bidadari yang bernyanyi di kamar mandi”. Itulah satu-satunya penghargaan yang dapat ia berikan pada perempuan manis dan molek itu.

Nisrina terus bernyanyi, tak menyisakan satu pun lirik, bahkan mengulang-ulang satu lagu itu. Merepih Alam lagi. Sesekali ia mencoba menaikkan oktaf. Terdengar lebih merdu hingga membikin Mat Ayam nyaris menitikkan air mata. Tapi ia tak tahu dan makin leluasa bernyanyi, makin leluasa menghayati, makin leluasa menyelami relung-relung dalam dirinya yang tak pernah dijangkau. Tak berapa lama tubuhnya gemetar disergap rasa takut yang aneh. Ia lalu menyelesaikan sesi mandi yang telah memakan waktu lima belas menit itu.

Mat Ayam kembali melanjutkan kerjanya begitu Nisrina keluar dari kamar mandi. Ia hanya butuh waktu sekira lima belas menit hingga dua sisi tembok benar-benar berlubang. Ia mulai dapat mengintip dari lubang sempit. Ia tinggal menunggu waktu sore hari untuk melihat Nisrina telanjang di bawah guyuran air yang akan membikin basah ujung rambut hingga ujung kaki. Ia tersenyum puas. Dan sesaat membayangkan itu, dirasanya ada bagian tubuhnya yang mengeras.

*

Pengalaman itu benar-benar ia rasai sebagai sebuah kesenangan. Itulah pengalaman pertamanya, yang baru ia lihat dalam tiga puluh tahun usia hidupnya, yang sebisa mungkin akan ia jaga kerahasiaannya—sebagaimana mimpi basah yang ia pernah alami belasan tahun silam. Kendati tak utuh, ia dapat lihat gumpalan dada stupa dan rerimbun hitam di pangkal paha. Ya, lubang di tembok itulah yang menjadi perantara baginya mengetahui seluk-beluk wanita ketika mandi. Ia pun jadi tahu bagian tubuh mana saja yang sering berurusan dengan guyuran air, sementara Nisrina tak tahu bahwa dirinya jadi korban cabulnya pikiran Mat Ayam. Lagipula lubang itu amat kecil, hampir-hampir tak terlihat.

Pada keesokan harinya ia dapat lihat Nisrina menjejalkan satu jari ke saluran peranakan. Ia dapat lihat kemudian Nisrina memejamkan mata, seperti merasakan terbang ke tempat yang entah. Seperti ada sesuatu yang hendak diteriakkan, namun Nisrina berusaha menahan diri agar tak mengeluarkan teriakan apapun. Dan jadilah Mat Ayam dibikin melongo sembari mengokang sendiri batang yang mencuat di pangkal pahanya.

Sekali. Dua kali. Lima kali. Kegiatan mengokang batang itu kemudian menjadi perihal rutin yang terjadwal di tiap pagi dan sore. Mat Ayam bahkan mengingat jam dan menit yang membikin jantungnya terpacu penuh semangat. Dengan demikian Mat Ayam kembali menemukan daya hidup, seperti kuda yang kembali menemukan alasan berlari kencang. Ia menerjang dan menyibak debu-debu. Semua itu berkat Nisrina, pikirnya.

“Tidakkah ia masih lajang?”, tanya Mat Ayam suatu hari.

“Ia sudah menikah. Suaminya bekerja di luar kota.”, jawab Hermawan.

Mat Ayam menelan ludah sesaat. Ada kegugupan tak terkira yang turut membikin kalimat-kalimat dari mulutnya jadi berantakan.

“Suaminya masih menafkahi? Ah, maksud saya, mengapa ia harus ngontrak rumah?”

“Entahlah. Saya bahkan belum tahu siapa suaminya.”

Mat Ayam manggut-manggut sebelum ia tahu ada sebuah beban yang menekan dadanya. Ia tak mengerti mengapa dadanya jadi sesak saat tahu bahwa Nisrina telah bersuami.

Seminggu kemudian ia beranikan diri mengobrol dengan Nisrina yang tengah berkutat dengan komputer. Dari obrolan singkat itu kemudian ia tahu bahwa Nisrina tak betah dengan omelan sengak mertua perempuannya, juga mata nyalang mertua laki-lakinya. Tiap hari, kala suaminya telah berada di luar kota, Nisrina memperoleh beban kerja laiknya buruh rumah tangga. Ia tak dibayar untuk mencuci pakaian luar-dalam kedua mertuanya itu, tentu saja. Dan ia juga tak dibayar untuk mendengarkan omelan, apalagi melihat mertua laki-lakinya merancap di pintu kamar mandi pada sore hari.

“Bagaimana kabar suamimu?”, tanya Mat Ayam kemudian.

“Ia tak tahu nasib saya. Ia sedang di luar kota. Ah, saya tak betah, Mat. Atas alasan itulah saya kabur.”

“Suamimu tahu kau di sini?”

“Tidak. Nanti saja saya beritahu.”

Mat Ayam tak melanjutkan. Sekali lagi ia terkesan pada suara Nisrina yang berat namun lembut. Sekali-dua ia juga mencuri-lihat tetes-tetes keringat Nisrina di dahi dan leher.

“Kau lihat apa, Mat?”, tanya Nisrina kemudian.

Pertanyaan itu sontak mengejutkan Mat Ayam. Sebuah kegugupan menyerimpung kata-kata yang hendak dilontarkannya. Ia bahkan buru-buru bangkit dan ngeloyor pergi tanpa menoleh pada Nisrina.

*

Lubang kecil di tembok itu masih menghubungkan dirinya dengan Nisrina hingga berbulan-bulan kemudian. Ia pernah didera bosan cukup panjang, namun toh ia kembali mengokang batang di pangkal selangkangannya sembari melihat lekuk tubuh Nisrina di bawah guyuran air. Hermawan sama sekali tak tahu perangai degil sejawatnya itu, lagipula ia telah menjadwal dirinya mengunjungi rumah bordil tiga kali di tiap pekannya. Mengetahui hal itu, Mat Ayam merasa hidupnya makin sepi, mungkin sesepi Nisrina di bawah guyuran air dengan lagu-lagu sendu.

Hingga tibalah suatu malam yang menghantuinya berhari-hari kemudian. Malam itu terasa lumrah saja, kecuali satu hal yang ia dapat intip dari lubang. Ialah seorang perempuan yang mengenakan kimono dan mengguyur diri dengan beberapa siraman gayung. Ya, Mat Ayam benar-benar melihatnya. Perempuan itu berwajah Jawa, dan setelan kimono membikin pemandangan tampak ganjil. Ia pun dibikin tak dapat berkedip kendati tak pernah menghasrati orang-orang berkimono. Perasaan kecewa, heran, malu, dan geram bercampur-baur karena harapannya melihat tubuh telanjang tak kunjung kesampaian. Ia menggerutu, namun tak beranjak dari tempat mengintipnya. Ia lalu dikejutkan oleh pemandangan di luar nalar. Dilihatnya bola mata yang tiba-tiba mencelat dari kelopaknya, juga lidah yang tiba-tiba terjulur memanjang oleh tarikan ketam. Lidah itu pun nyaris lepas dari rongga mulut beserta raungan memilukan. Mat Ayam hendak berteriak, namun celananya terlebih dulu basah oleh rasa takut yang kelewat besar, yang menghinggapinya hingga nyaris pingsan.

Keesokan harinya Mat Ayam mengemasi pakaian dan novel-novel stensilan koleksinya. Ia lalu pergi diam-diam dari rumah kontrakan itu. Ia tak berpamitan pada Hermawan, juga pada si pemilik rumah, terlebih pada Nisrina. Duga-sangkanya mengatakan bahwa Nisrina adalah jelmaan hantu berkimono itu.

*

Tak seorang pun tahu bahwa Matsuyama Taki, seorang perwira berpangkat Bundancho, telah turut membikin lubang di tempat itu pada tujuh puluh enam tahun silam. Ia telah membikin aib buat dirinya sendiri, juga buat kekaisaran Matahari Terbit yang telah mengirimnya ke wilayah jajahan. Perbuatan sembrononya membikin seorang perempuan Jawa bernama Jayanti berbadan dua. Sesungguhnya si perwira berpangkat Bundancho mencintai Jayanti, namun ia tahu bahwa cinta yang demikian tak serta-merta dapat dibenarkan.

Dalam kegamangan yang tak tertolong itu ia kemudian mengajak Jayanti berjalan-jalan di sebuah sore yang indah (atau lebih tepatnya: berpura-pura mengajak Jayanti berjalan-jalan menikmati sore yang indah di bulan April). Mereka sama-sama dapat mendengar bunyi gareng dan cuitan kucica yang menandakan musim kemarau akan mendudukkan dirinya di bumi Kalaka. Mereka mengagumi dataran permai di kanan dan kiri. Dan Matsuyama Taki mesti berpura-pura senang agar kekasihnya yang mengandung janin tiga bulan itu tak menampakkan raut masam. Lagipula Jayanti sedang mencapai fase kecantikan paling sempurna dalam pakaian kimono bermotif burung bangau. Matsuyama Taki tak mau merusak keindahan paling memukau dalam hidupnya itu.

Mereka tiba di sebuah gubuk tak berpenghuni. Mereka bermaksud mengaso barang setengah jam sebelum kembali ke kediaman masing-masing. Ada sedikit tanya-jawab di antara mereka, sebelum kemudian Jayanti menangis menyesalkan janin di rahimnya. Ia kemudian mendesak Matsuyama Taki agar menikahinya, namun si kekasih bergeming. Lamat-lamat suara gareng dan cuitan kucica masih terdengar, namun kemudian hening mengambil alih. Matsuyama Taki menenangkan Jayanti hingga beberapa menit sebelum kemudian mereka bertengkar lagi.

Entah setan apa yang kemudian hadir, Matsuyama Taki mengambil sepucuk revolver yang menyisakan dua peluru. Ia ingat betul dua peluru itu. Sedikit suara angin dan deru di dalam darahnya kemudian membuahkan dua letupan. Matsuyama Taki membikin dua lubang di tubuh kekasihnya: di perut yang berisi janin dan di kepala. Ia tersedu-sedan sembari berlutut di dekat tubuh Jayanti. Sembari menangis ia mengatupkan mata kekasihnya, berdoa dengan doa yang ia kenal—seperti memohon ampun pada dewa. Dan entah setan apa yang kemudian hadir, ia dipromosikan untuk naik pangkat sepekan kemudian. (*)

15:54

01092020


Hari Niskala, dilahirkan di Kabupaten Tulungagung. Novelnya yang telah terbit berjudul Jalan Pulang dan Omong Kosong yang Menunggu Selesai (Rua Aksara, 2021).