– untuk Ali Ibnu Anwar

Cerpen Alif Febriyantoro

Sejak ibumu pergi meninggalkan kita, tiba-tiba saja kau menyukai hal-hal baru. Apalagi sejak kau tahu dongeng-dongeng indah yang dulu sering kau dengarkan dari ibumu sudah habis dan kau menolak jika aku mengulanginya, maka kau akan memintaku membeli buku-buku baru lantas membacakannya. Dan sejak kau tak betah sekolah di taman kanak-kanak, kau selalu saja mengajak bermain ke tempat-tempat baru. Tentu saja setelah itu aku kebingungan untuk menemukan tempat mana lagi yang cocok bagimu. Hingga akhirnya bisa kusiasati dengan membawamu masuk ke sebuah tempat di dalam kepalaku. Dan ternyata kau menyukainya. Bahkan kau ketagihan dan memintaku untuk setiap hari membawamu bertamasya ke dunia ini.

Maka setiap pagi, setelah mandi dan makan roti panggang kesukaanmu, kau akan selalu membujukku. Mula-mula kau menarik ujung bajuku lalu meloncat ke pangkuanku. Bermain-main sebentar di situ. Kemudian kau akan naik ke punggungku dan duduk di pundakku. Tangan mungilmu itu mengacak-acak rambutku yang gondrong.

“Buka pintunya, Yah! Ayo main lagi. Bunga-bunga berwajah ibu! Bunga-bunga berkepala ibu!” bisikmu dengan nada yang menggemaskan.

Setelah kau melihatku tersenyum, isyarat meloloskan keinginanmu, dengan cepat kau akan memeluk dan menciumi pipiku. Badanmu yang hangat, denyut jantungmu, dan bau bedak yang kau pakai, entahlah, selalu bisa membuat kepalaku ini mendadak jadi ringan. Seolah-olah segala penderitaan lenyap seketika. Dan seyumanmu itu, senyum yang mirip sekali dengan milik ibumu, adalah kunci untuk membuka pintu rahasia yang berada di belakang kepalaku.

Lantas ketika kita mulai memasuki sebuah lorong yang berliku-liku mirip seperti perosotan di kolam renang, kau akan berteriak sekencang-kencangnya. Sementara kau tetap berada di pundakku saat kita meluncur cepat bagai menaiki wahana Roller Coaster. Dulu, saat pertama kali mengajakmu ke sini, kedua tanganmu begitu erat menjambak rambutku. Dan selalu saja bisa kurasakan keteganganmu ketika pahamu ini menjepit leherku. Tetapi saat kita merosot lebih lambat karena lorong bagian bawah sudah landai, keteganganmu pun mulai mencair.

Tak butuh waktu lama, sekitar 5 detik kita sudah sampai di bawah. Untung saja tanah di kota ini terbuat dari spon. Maka seperti biasa, saat mendarat, kau dengan sengaja akan menghempaskan badanmu, mengguling ke depan kemudian tertawa. Lucu sekali.

“Apa kita sudah sampai, Yah?” tanyamu saat pertama kali berkunjung ke dunia ini.

“Tentu saja. Lihat, di depanmu terhampar bunga-bunga.”

“Apa ini seperti yang diceritakan ibu?”

“Bukan. Ini baru. Kota ini hanya ada di dalam kepala ayah.”

“Jadi kita sekarang ada di dalam kepala ayah?”

“Benar sekali.”

Aku menyebutnya Kota Sari Bunga. Sebuah kota yang tersusun dari ingatan. Sebuah kota di mana bunga-bunga akan selalu bermekaran, sepanjang musim. Di kota ini, bunga-bunga tumbuh di mana-mana, di segala tempat di mana bunga tak akan pernah tumbuh; di atap rumah, pada dinding-dinding rumah, di tubuh jembatan, di permukaan sungai, di batang pohon, pohon-pohon berdaun dan berbuah bunga-bunga, semuanya berbunga, termasuk di tubuh hewan-hewan, semuanya ditumbuhi bunga-bunga, bahkan di langit, awan-awan membentuk bunga-bunga.

Tetapi di kota ini, tak ada manusia. Rumah-rumah hanya terisi bunga-bunga. Dan jika bunga-bunga itu berubah bentuk, mereka hanya akan berubah menjadi wajah ibumu. Sebentuk wajah yang akan selalu tersenyum kepadamu.

“Ayah, Ayah, coba lihat! Bunga-bunga berwajah ibu muncul lagi.” Kau menarik tanganku dan berlari menuju ke tengah kota. Sebelum berubah bentuk, bunga-bunga itu biasanya selalu memancarkan cahaya.

“Ayah, lihat! Wajah ibu sekarang tambah cantik. Hmm… baunya benar-benar mirip seperti ibu.”

Kau diam sebentar, memandang wajah ibumu.

“Ibu, Ibu, sekarang Elena sudah bisa menggambar, lho.”

Tentu saja tak ada jawaban dari bunga berwajah ibumu itu. Tetapi walau kau sudah tahu bahwa bunga-bunga berwajah ibumu itu tak akan pernah mengeluarkan kata-kata atau mengedipkan mata, kau akan tetap menunggu momen menyenangkan itu.

“Hmm….” Kau berkacak pinggang. “Coba kalau bunga berwajah ibu bisa bicara. Pasti seru.”

Melihat tingkahmu ini, aku hanya bisa tersenyum dan mengelus-elus kepalamu yang mungil. Ketahuilah, Elena, di kota ini memang tak ada kata-kata. Bunga-bunga hanya bergerak dan itu adalah bahasa perasaan. Tetapi sebagaimana anak-anak seusiamu yang selalu ingin tahu, kau selalu bertanya, kenapa aku tak pernah memberikan kata-kata untuk mereka. Ketahuilah, sejak ibumu pergi, di dalam kepalaku kata-kata telah berubah bentuk menjadi ibumu. Sebab ibumu tak butuh kata-kata. Sebab ibumu adalah kata-kata itu sendiri. Namun percuma, menjelaskannya kepadamu sekarang sama halnya dengan memberitahumu bahwa sebenarnya bentuk bulan itu kotak, kau pasti akan segera membuang muka dan mengatakan: Ayah sukanya mengarang terus!

“Ayah sukanya mengarang terus!”

Nah. Kudengar kau berbisik lagi kepada bunga-bunga berwajah ibumu. Tapi saat kau menoleh ke arahku, kau mendadak cekikikan sambil tanganmu yang mungil itu menutup mulutmu. Aku tak bisa lagi menahan tawa. Tingkahmu ini sungguh menggemaskan.

Kemudian kita berdua duduk pada sebuah bangku taman. Kedua kakimu yang menjuntai itu berayun-ayun sementara jari-jarimu kau ketuk-ketukkan pada bangku.

“Ayah, kenapa langit di sini selalu terang ya, padahal matahari tak pernah muncul?” tanyamu sambil bersandar ke bahu.

“Itu karena sudah ada bunga matahari, Sayang.”

“Jadi, kenapa Ayah tidak menanam bunga matahari di rumah?”

Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum. Sejujurnya aku tak menemukan kata yang tepat untuk menjawab. Sementara kau terus saja berbicara sesukamu, tentang apa saja. Setelah kau berhenti mengoceh, kau turun dari bangku dan kemudian merebahkan tubuhmu ke rumput.

“Di sini enak, empuk. Kenapa bisa empuk ya?”

“Itu karena tanah di kota ini terbuat dari spon.”

“Spon itu apa?”

“Seperti yang ada di televisi. Yang kuning itu.”

Kau menutup matamu, sementara jari telunjukmu itu kau ketuk-ketukkan di dagumu.

Lantas dengan cepat kau membuka mata. “Oh, aku tahu! Sponbob, kan?”

“Nah, itu. Tapi bedanya, di sini ada banyaaak sekali.”

“Ih, lucuuu! Boleh dibawa pulang?”

“Tidak bisa, Sayang. Nanti bunga-bunga di sini akan kesepian.”

Wajahmu merengut. Kalau sudah cemberut begitu, kau benar-benar mirip seperti ibumu. Tapi kemudian kau terlihat riang kembali. Berdiri dan menari-nari. Berputar-putar, mirip seorang balerina. Dan rambutmu yang selalu dikepang dua itu bergoyang-goyang.

Sementara dari segala arah, hewan-hewan bertubuh bunga-bunga mulai berdatangan. Di atas sana, burung-burung bersayap bunga-bunga juga mulai bermunculan. Kau membuka mata lebar-lebar dan membekab mulutmu sendiri. Seperti menemukan sesuatu yang tak pernah kau bayangkan sebelumnya.

“Ayah, Lihat!”

“Itu kucing, kan?”

“Wah, besar sekaliii.”

“Ajaib!”

“Ayah, mereka tidak menggigit, kan?”

Belum sempat menjawab, kau langsung lari begitu saja. Cepat sekali. Bahkan aku mengira kau akan merasa takut. Tapi ternyata tidak. Jadi aku diam saja. Hanya melihatmu dari kejauhan. Kau bermain dengan kucing-kucing berbulu bunga-bunga itu, yang ukuran tubuhnya sedikit lebih besar darimu. Kau berlari-lari dengan mereka. Saling mengejar satu sama lain. Dan kau tertawa terpingkal-pingkal. Kemudian berguling-guling.

Cukup lama kau bermain dengan mereka hingga akhirnya kau kembali sambil berlari kecil. Kau berkeringat dan bedakmu itu sudah luntur. Napasmu tidak beraturan.

“Huh, capek, Yah!” Kau membungkuk dan memegang perutmu sendiri.

“Tapi Elena senang, kan?”

“Senang, dong. Habis mereka kocak.”

“Kocak?”

“Iya kocak, lucu seperti film kartun.”

Lagi-lagi kau tertawa. Aku pun sama. Suara tawa kita berhamburan; berubah bentuk menjadi bunga-bunga, lantas terbawa angin dan melayang-layang di udara.

Sebenarnya, dulu aku begitu khawatir saat memutuskan untuk mengajakmu bertamasya ke kota ini. Maka kutanamkan sugesti, kalau tidak pulang sebelum pukul 12 siang, pintu keluar akan terkunci dan selamanya kita akan terjebak di dunia ini. Semua itu demi mengurangi antusiasmu agar kau tidak bermain terlalu lama di sini. Tentu saja aku tak ingin jika suatu saat kau tak sengaja terperosok ke lubang-lubang rahasia yang tersembunyi di sudut-sudut kota. Lubang-lubang yang tersebar dan tak terhitung jumlahnya, lubang-lubang yang hanya akan membawamu ke satu tempat di mana segalanya hitam dan kelam. Sebuah tempat yang aku sendiri pantang untuk kembali memasukinya….

***

Kita harus berjalan melewati jembatan sebelum akhirnya sampai pada sebuah tangga menuju pintu keluar. Sebelum menaiki tangga, seperti biasa, kau akan naik ke pundakku lebih dulu. Kedua tanganku sibuk berkonsentrasi: tangan kiri memegang kakimu, dan tangan kanan menggenggam erat sisi tangga. Sementara kedua tanganmu kau rentangkan selebar mungkin mirip seperti pesawat terbang. Saat hampir sampai di pintu keluar, kau berteriak sekeras-kerasnya.

“Besok main lagi! Besok main lagi! Kucing-kucing berbulu bunga!”

Setelah melewati pintu, kau lekas turun dari pundakku. Dan seperti biasa, kau akan berhambur ke halaman untuk menyiram bunga. Sebab dalam ingatanmu, pesan dari ibumu akan selalu kau ingat. Selamanya.

“Elena Sayang, bunga-bunga harus disiram dan jangan sampai dibiarkan layu.”

Sementara dari jendela kamar yang terbuka, kuperhatikan setiap gerak-gerikmu. Hari ini kau terlihat begitu gembira. Menyiram bunga sambil bernyanyi-nyanyi. Sungguh lucu sekali.

Tapi mendadak aku tercengang. Ada sesuatu yang membuat denyut jantungku berdebar lebih kencang. Seakan-akan belum percaya saat kulihat rambutmu yang sudah terurai itu tiba-tiba bergerak. Kau pun merasa heran kemudian menengadah. Siapakah yang baru saja menyibak rambutmu, yang awalnya hanya menutupi separuh wajahmu kini berpindah sendiri ke bagian belakang telingamu?

Sedangkan di sudut mataku, air mata tak bisa kutahan lagi. *

Jember, 22 Mei 2021


ALIF FEBRIYANTORO, lahir di Situbondo, 23 Februari 1996. Buku-bukunya antara lain, 60 Detik Sebelum Ajal Bergerak (Kumpulan cerpen, 2017), Romila dan Kutukan Ingatan (Kumpulan cerpen, 2019), dan Sebelum dan Setelah Hujan, Sebelum dan Setelah Perpisahan (Kumpulan cerpen, 2020). Kini berdomisili di Jember.