Di antara Brecht, Muller, dan Stanislavski
Berdasarkan David Barnett: Heiner Muller as the End of Brechtian Dramaturgy: Muller on Brecht in Two Lesser-Known Fragments. Theatre Research International .vol.27 | no. 1 | pp49±57 C International Federation for Theatre Research 2002. Printed in the United Kingdom. DOI:10.1017/S0307883302001050, 52), yang menyebut gagasan radikal Brecht, bukan metodologi kerja Brecth. Artinya kita harus melacak, apakah yang dipraktikkan adalah rumusan kerjanya; dan kalau memang ya bagaimana rumusannya, atau memang melakukan pendekatan dengan cara meminjam gagasan Brecth sebagai landasan berpikir kita dalam merumuskan praktik kerja pada saat latihan. Gagasan Brecth disebutkan bahwa ia menghapuskan celah antara aktor dan penonton. Di mana gagasan ini diadopsi Muller dalam waktu yang lama karena baginya sangat memesona dengan caranya Muller sendiri dalam menghapus celah tersebut.

(Foto: TC)
Karena itu, Muller melakukannya dengan pendekatan yang meledakkan aliran satu arah komunikasi teater dari produk ke konsumen. Sehingga antara aktor dan penonton kehilangan identitas konvensional mereka dan menjadi penjelajah dan artikulator bersama dari isu-isu konfliktual. Meskipun Brecht dan Muller mengakui bahwa konteks teater mereka masing-masing tidak akan mengizinkan sebuah drama tanpa penonton. Penonton juga menjadi kebutuhan keduanya, sama halnya dengan gagasan teater tanpa penonton yang dirumuskan Danarto, bukan berarti teater tidak memerlukan penontonnya. Akan tetapi ada gagasan yang dimaksudnya sehubungan dengan tujuan dari teaternya.
Barnett menjelaskan bahwa Muller dalam penerapan gagasan itu akhirnya membangun Lehrstuck; potongan instruktif sebagai bentuk yang membuka diri terhadap pertanyaan-pertanyaan paling mendasar dari praktik teater dengan cara yang mendorong dramaturginya Brecht sebagai proses pembelajaran Muller dan komunitasnya sampai batas mereka. Barangkali ini juga yang dimaksudkan Reza Gazhali selaku sutradara atas pertunjukannya Orkes Madun II Atawa mang-Umang karya Arifin C. Noer pada Festival Teater Jakarta 2017 (kota administrasi Jakarta Timur). Reza punya tujuan yang tepat sehingga mengadopsi gagasan tersebut dengan pendekatan-pendekatan yang sekiranya sesuai.
Ketika Muller berbicara tentang gagasannya sebagai pembelajaran dramaturgi, salah satu pemain yang memerankan tokoh Bigaya dalam praktik kerjanya melakukan penawaran tokoh yang dimainkan, lalu mendiskusikannya dalam forum sebagai teater pembelajaran. Sama halnya dengan pemain yang menjadi tokoh anak juru kunci: kita terjun dalam pengadeganan, pada saat reading kita membayangkan dan memberikan tawaran ke sutradara. Ia juga menyebutkan dari semuanya itu sebagai proses pembelajaran.
Akan tetapi praktik kerja Brecht maupun Muller pun juga tidak menafikkan Stanislavski seperti yang disebutkan Reza dalam perubahannya. Hanya saja gagasan Stanislavski berbeda dengan Muller maupun Brecth, yang memang menciptakan ruang pemisah antara aktor dengan penonton. Kalau memang itu yang dimaksud, rasanya perlu juga kita saling melacak kembali antara data dari luar maupun pemahaman dari kita sendiri, dari dalam apa yang kita pahami dan diinginkan. Barangkali ketika data dari luar tidak ‘clear’, mungkin lebih baik mengclearkan keinginan yang hendak dilakukan terlebih dahulu.
Menurut Dindon WS (salah satu juri festival tersebut); konsep teater rakyat sebagai pendekatan verbal, teater tanpa batas (pasti bisa jadi gunung) aktor mampu mensugesti-konsisten, masuk rekaman, dan sound efek, mampukah aktor berkomunikasi? Bagaimana menarik empati? Tokoh Semar itu lucu, bagian drama (jantung hati yang dimainkan) kalau ketawa ya nakal, naif di dunia fantasi (logika dongeng), orang kayak apa si Waskah itu, harus memiliki visi yang utuh. Beralistik (daya kekuatan) strata sosial tangan kanan dan kirinya, harus punya naluri kebinatangan.
Jika pernyataan Dindon WS. dihubungkan dengan pernyataan Shomit Mitter (Systems of Rehearsal Stanislavsky, Brecht, Grotowski and Brook. London dan New York, 1992, 38); di mana Brecht yang dianggap tidak cukup membangun karakter orang lain berdasarkan pengamatan yang biasa, sifatnya hanya terletak di dalam pikiran. Bukan proses aktor yang dipertemukan tokoh perannya yang dibawa ke panggung hanya sebagai bahan, tetapi melepaskan diri dari beban riset, observasi, pelacakan, dan tetek bengek lainnya. Namun semacam perkenalan baru dalam realitas yang sifatnya konsisten, sehingga peristiwa yang dilakukannya nanti menjadi konflik internal dan eksternal. Akhirnya aktor bisa memprovokasi dirinya untuk menjadi tokoh peran yang selama ini berada dalam realitas sebagai ‘kawanan baru’, tujuannya untuk mendapatkan keselarasan simpati publik.
Proses keluar masuk di antara batasan aktor dan bagian dari masyarakat sosial merupakan cara oposisi antara teks dan metatext, yang menjadi internal, justru semakin memprovokasi penonton agar lebih terlibat dalam peristiwanya, sekalipun nantinya juga didorong keluar kembali untuk menimbulkan sikap penonton secara langsung pada saat adegan berlangsung.
Brecht, dan Artaud dalam Keinginan Reza Ghazali

Kegandaan yang diarahkan Brecht kepada penonton ini merupakan esensi dari keterasingan yang sebenarnya dalam realitasnya terjadi banyak hal demikian. Cara-cara yang dilakukan Brecht semacam ini bukan hanya saja dilakukan dalam pemeranannya. Maka ketika Reza menjelaskan bahwa pertunjukannya dengan pendekatan penyutradaraan Brecht, saya melihat caranya yang dilakukan tidak seperti dilakukan oleh Brecht. Selain dalam pemeranan, Brecht juga melakukannya pada ilustrasi musiknya yang semula tampak milik teksnya dan membuat penonton terlibat dengan segala macam persepsinya yang memungkinkan terjadi penyimpulan, tetapi musik tiba-tiba mengasingkannya dengan tindakan lainnya yang akhirnya bukan menjadi satu kesatuan. Namun seolah-olah berdiri sendiri, seperti berusaha untuk saling melengkapi. Hal ini yang tampak tak terlihat dalam pertunjukan Teater Camuss, kalau memang mengacu pada pendekatan metodologi penyutradaraan Brecth. Kemudian selintas Reza mengutarakan konsepsi kerjanya merujuk pada Antonin Artaud. Karena itu, kita lacak bersama ciri yang paling sederhana ciri dari keinginan Artaud (Innes 1993, 61).
Sejujurnya saya cukup terkejut ketika mendengar Reza menyebutkan nama seorang Artaud dalam proses pendekatannya; karena bagaimanapun literatur berbahasa Indonesia dari teorinya sepengetahuan saya hanya merujuk pada tulisan Max Arifin yang cukup ‘ruwet’, sementara tulisan Yudiaryani hanya sekitar dua atau tiga lembar saja yang juga cukup ‘rumit’. Hal ini berkaitan dengan pernyataan Fischer-Lichte dalam Shomit Mitter yang dibenarkan oleh Christopher Innes, bahwa teori-teori Artaud yang diutarakannya dalam bahasa yang sangat puitis dan meletakkannya sebagai kritik terhadap teater modern. Apa yang dilakukannya sebagai ungkapan rasa kecewa dengan tawaran ‘teater kejam’ yang dipahami sebagai cara yang ekstrem memandang sikap teaternya karena ia mencari kebenaran absolut dalam pencarian estetisnya. Sementara kebenaran juga berada dalam kesadaran yang akut, sehingga sulit untuk dirumuskannya secara rinci dan ‘sebenar-benarnya’.
Kenyataannya secara visual, Teater Camuss juga belum mampu mewujudkan cara kerja yang ekstrem tersebut dalam obsesi Artaud yang terobsesi untuk menghidupkan kembali hal-hal gaib. Dari teks yang dihadirkan Artaud saja sudah banyak mengandung masalah dalam kosakata yang mungkin juga menjadi masalah juga bagi Shomit Mitter. Religiusitas ateisnya yang mendalam (jika kita bisa menyebutnya begitu) jelas menghadirkan masalah besar bagi ilmu pengetahuan. Sementara saya tidak sama sekali melihat pertunjukan Teater Camuss menuju ke sana. Apakah Reza memiliki kecenderungan untuk menciptakan teori teater baru dalam validitasnya yang diakui, hanya saja beralih-alih menggunakan teori-teori mereka yang rasanya cukup sulit dilacak validitasnya karena selalu bergerak.
Pelacakan Kembali dalam Dramaturgi sebagai Daya Jelajah Pembelajaran

Sebagai contoh, Shomit Mitter juga mempertanyakan, apakah teori teater yang valid dapat dibangun berdasarkan kosakata bermasalah Artaud. Dan baginya dinilai cukup mengejutkan, bahkan studi kontemporer tetap menggunakan istilah Artaud sendiri untuk menggambarkan upayanya yang juga menjebak penggunanya seperti Reza yang juga ‘terjebak’ karena juga belum tuntas untuk memahami dan mengerti dengan sudut pandang Artaud.
Praktik penciptaan perlu digarisbawahi secara matang dalam rangka pelacakan, baik itu dalam medan kerja penyutradaraan dan dramaturginya. Apalagi dalam rangka daya jelajah pembelajaran, yang nampaknya sangat penting dipahami betul dan diketahui metode penciptaan terhadulu sebagai wacana kerja selanjutnya. Misalnya metode penciptaan Stanislavski, Grotowski, Meyerhold, Schechner, lalu melakukan pelacakan lain lagi; apakah di Timur pendekatan pola-pola tradisi semacam ludruk, makyong, longser, topeng Malang, mamanda, shandor juga saling berhubungan dengan metode penciptaan yang hendak dipilihnya sebagai narasi pengetahuan, sehingga pola pemeranan akan sinkron, metode apa yang sesuai dengan penyutradaraan dalam pemeranannya. Selain hal tersebut, konsep panggung satu arah (proscenium) dan arena juga perlu dipertimbangkan secara garis permainan. Pola pemeranan dan teknik interpretasi naskah yang baik juga akan menghasilkan suasana terhadap penonton juga akan baik, seperti perasaan takut kehilangan, egoisme untuk menjadi pemimpin juga akan bisa terbaca dengan baik, maka perlu dicermati teknik akting yang tepat dan saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Jika sudah menentukan pendekatan kepada cara-cara kerja Brecht, seharusnya dari awal sudah memahami kalau yang hendak dilakukannya mengacu pada cara kerja Bertold Brecht (ibid., 51).
Jika mengacu pada gagasan Arifin, maka cukup beralasan ketika Reza pendekatannya memilih cara kerja Brecht kepada praktik penciptaannya merujuk pada penelitian Barnett; bahwa laku dramatiknya Brecht sangat menyindir yang elegen, tidak kampungan dan sifatnya sangat terhormat. Saya juga memandang bahwa terapannya sangat tajam nan menukik atau menusuk pada sasaran yang tepat.
Dramaturgi Brecht memiliki pengait yang beraturan sehingga objek yang hendak ditembusnya semakin terjerat karena ikatan dramatiknya terus mengait, dan kalau didekatkan pada generasi selanjutnya seperti Muller yang cenderung sinis, pada tatanan objek sosial yang sama. Hanya perbedaannya terletak kepada Brecht yang berusaha menganalisis subjek manusia dalam konteks sosiohistorisnya, sehingga kalau kita sandingkan dengan teks-teks Arifin dalam Umang-Umang cukup beriringan, sementara Muller menggantikannya dengan objek mekanis dengan menyindir reduksionisme yang dirasakan dalam skema Brecht. Memungkinkan juga cara yang dilakukan Muller, bisa dilakukan oleh Reza terhadap skema-skemanya Arifin. Atau hal apa lagi yang bisa memungkinkan dalam memenuhi keinginan setelah menginterpretasi teknya Arifin C. Noer. Bukan hanya sibuk memikirkan wilayah-wilayah visual yang pada umumnya kita semua sering terjebak.
Seperti yang dinyatakan dalam Philoktet 1979, Brecht (ibid., 53) kita ketahui secara sadar pertunjukannya di atas panggung sangat kontradiktif. Karena itu, Muller yang lebih sinis dengan caranya, bukan merekonstruksi apa yang sudah dilakukan Brecht seperti serupa. Namun Muller menggunakan di balik visual Brecth sebagai sasaran objek sosialnya. Muller lebih mencari dan melacak alat yang digunakan atau dijadikan bahan. Semisalnya sebuah produk jaket yang sudah jadi, maka Muller menggunakan kulit beruang yang digunakan Brecth dalam pemanggungannya, sehingga Muller yang sinis karena kritiknya hadir sebagai fakta dan berfungsi sebagai pelaporan.
Karena itu, sangat memungkinkan objek sosial Arifin dilacak kinerja dramaturginya. Jika mengacu pada gagasan Brecht, hal yang paling menarik adalah dilakukan kinerja dramaturginya bagaimana membaca Arifin, sehingga praktik kerja Muller yang menyusun ulang kerja dramaturginya Brecht dan melacak dari setiap dokumennya sehingga menemukan perspektif lainnya. Muller tidak menggunakan topengnya Brecht secara langsung, tapi melakukan usaha di balik topeng tersebut yang lebih krusial dan kompleks persoalan sosialnya. Barangkali hasil visual di panggung Teater Camuss, memungkinkan cara Muller atau usaha lainnya yang dilakukan Reza terhadap Arifin. Barangkali juga nantinya akan menghasilkan sebuah aset dari posisi yang dikritik secara implisit dari teksnya Arifin.
Muller sekalipun dalam praktik kerjanya mengembangkan dari praktik kerja dramaturginya Brecht, tapi di sisi lain Muller secara tidak langsung melalui praktik kerjanya yang mencari di balik latar belakang peristiwa sosial secara detail dan mendalam merupakan catatan kritik terhadap Brecht. Maksudnya adalah praktik penciptaan kita selama ini bertumpu kepada hasil penciptaan, bukan membedah dan menganalisa teks-teks sebelumnya yang dibenturkan dengan perubahan zaman. Sehingga akan muncul analisis wacana yang berbeda dalam perspektif dramaturgi baru nantinya dengan menggunakan alat disiplin ilmu manapun. Entah itu mendudukkan arsitektural, teknologi, disiplin ilmu nuklir, teknik sirkus, ilusi, animasi, ilmu komunikasi, maupun beberapa sains lainnya kepada dramaturginya Arifin untuk menggiring pada dialektika baru, dalam proses penjelajahan fakta yang sedang terjadi, dilihat dan dirasakan bersama demi dampak yang signifikan terhadap lingkungannya masing-masing.

Arung Wardhana Ellhafifie, Dramaturg, periset, yang kini menempuh pendidikan pascasarjana di ISI Solo