Judul: Mawar dan Mayat |  Penulis: Haryo Pamungkas | Tebal: 124 halaman | Penerbit: Bashish Publishing | Edisi: November, 2020 | ISBN : 978-623-95322-0-8

Oleh Nurillah Achmad

Saya kira, Alenia menjadi tokoh istimewa bagi Haryo Pamungkas. Dalam beberapa cerita, ia sengaja menasbihkan nama yang sama dengan latar peristiwa berbeda. Anggap saja sebagai tokoh sentral, Alenia berhasil hidup sebagai anak kecil yang menerima donor jantung; sebagai cucu dari penulis tua yang tengah mengenang masa muda. Mengenang lingkungan zaman dulu yang kini telah berbeda; atau Alenia hadir sebagai anak kecil yang mati mengenaskan setelah terusir atas nama penggusuran.

Berangkat dari kelihaiannya dalam menyematkan nama tokoh, cerita-cerita Haryo tak lantas berhenti pada titik kamuflase dengan tujuan mengaburkan ide pokok cerita, tapi justru dari sanalah gagasannya dimulai. Dari isu politik, orang-orang yang terpinggirkan, kemiskinan dan ketimpangan sosial, semua diramu menjadi cerita yang memiliki satu benang merah; perenungan.

Memang begitulah tugas seorang pengarang. Apa-apa yang terjadi di sekitar. Entah dalam bentuk kegelisahan, permasalahan lingkungan, dan sebagainya, memang harus terus-menerus direnungkan. Mustahil sebuah cerita akan memiliki ruh istimewa jika tak direnungkan dalam-dalam. Dan Haryo telah melakukannya sedemikian rupa.

Suara-suara yang selama ini tak dianggap, ia angkat ke permukaan melalui dimensi tokoh masing-masing. Mari kita lihat dalam cerita yang berjudul “Matinda”. Perempuan api unggun yang menyeduh kehidupan malam di sekitar stasiun. Haryo mengajak pembaca dengan menyelami tokoh laki-laki—seorang aktivis kampus yang menentang kebijakan penggusuran lokalisasi sebagai jalan keluar—yang jatuh hati pada Matinda, tetapi terpaksa meninggalkannya sebab tokoh laki-laki mesti merantau ke Jogja.

Pada titik inilah, setelah 29 tahun berpisah, tokoh laki-laki kembali dan ternyata bertemu dengan anak kecil yang rupanya anak dari Matinda. Getir, pahit, tentu saja dirasakan tokoh lelaki. Tetapi dengan rentan waktu yang cukup lama, adalah alasan yang tepat saat Matinda melanjutkan kehidupannya sendiri. Masing-masing tokoh yang memilih untuk menjalani takdir masing-masing, membuka tabir cerita Haryo bahwa seorang pengarang, semampu mungkin harus adil dalam melukiskan tokoh dan musabab peristiwa yang terjadi. Sehingga nantinya, hitam dan putihnya hidup tak melulu didengungkan terus-menerus, melainkan akan muncul warna yang lain.

Pergulatan semacam ini tentu saja tak berhenti pada kisah romansa saja. Ia juga hadir melalui tokoh anak kecil yang tangannya dipotong sang ibu, lantaran sering mengobok-obok ikan di akuarium hingga binatang cilik ini klenger. Sang ibu tak hanya menampar, tetapi juga melakukan tindakan tragis. Dan Haryo,secara tersirat, menuturkan musabab mengapa sang ibu bertindak brutal. Selama sang suami berada di rumah, nyatanya tokoh ibu kerap ditampar dan memperoleh tindakan kasar dari suami, dan itu dilampiaskan pada anaknya. Sebab-akibat pada cerita akan menjadi menarik jika kita menelusurinya dengan cermat. Sebuah cerita tak hanya elegan dengan pemilihan diksinya yang menarik, melainkan soal gagasan apa yang sebetulnya pengarang sajikan. Dan gagasan yang disuarakan melalui masing-masing tokoh adalah cara bijak dalam menghadirkan cerita yang baik.


Nurillah Achmad

Nurillah Achmad. Menyantri di TMI Putri Al-Amien Prenduan, Sumenep sekaligus alumni Fakultas Hukum Universitas Jember. Emerging Writer Ubud Writers & Readers Festival 2019. Menerbitkan kumpulan cerpen, Cara Bodoh Menertawakan Tuhan (Buku Inti, 2020). Novel terbarunya Lahbako (Elex Media, 2021) Saat ini tinggal di Jember, Jawa Timur,