Oleh Arung Wardhana Ellhafifie

Jebakan Batman Produk Seni

Melanjutkan tulisan saya sebelumnya, Seni di antara ‘Kandang Tikus’ dan ‘Sapi Kerapan’, tidak bermaksud apa pun, selain mencari cara alternatif dalam membangun wacana kritis, diskursus-diskursus, oral presentation, dan ceramah, serta berbagai macam lokakarya, demi satu perubahan atau gerakan yang lebih memiliki dampak lebih baik kedepan. Saya menyadari apa yang mereka perjuangkan, khususnya bagi mahasiswa—bukan buat mereka sendiri,—yang bisa mungkin berkeinginan menjadi kampus negeri, setelah mereka lulus dari kampus tersebut.

Saya ingin mengawali dengan tulisan James P. Spradley (Metode Etnografi, 2006: 134), bahwa semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol. Semua kata yang digunakan informan dalam menjawab pertanyaan Anda pada wawancara pertama adalah simbol-simbol. Maka saya coba menggunakan istilah-istilah yang sangat dekat dengan teks mahasiswa di kampus tersebut. Mereka sering memesan mie kuwah, gak pakek telor, gak pakek lama, dan gak pakek drama. Demikian istilah analisis dalam wacana kritis di warung kopi tenda biru, yang biasa disebut Mak Punki.

Warung kopi mak punki, tempat berkumpulnya mahasiswa seni di Klampis Ngasem. (Foto: AWE)

Saya juga ingin meminjam kata Spradley (ibid., 135), makna referensial yang saya dapatkan dari obrolan warung kopi. Lalu saya kumpulkan bertahun-tahun. Silih berganti alumni, satu dan lainnya. Warung kopi itu, semacam tempat pencarian objektivitas makna yang tidak mereka dapatkan di dalam kampus, karena adanya kekerasan simbolis yang tidak pernah dipahami sekian tahun lamanya. Padahal warung kopi di luar kampus itu, sudah menciptakan tradisi kritis, yang menurut Bordieu dalam Fashri, bahwa itu ditentukan oleh persetujuan atau konsensus dari para subjek penafsir. Fungsinya tak lain melatih kesadaran (Pierre Bourdieu Menyingkap Kuasa Simbol, 2014, 120). Pertanyaannya, sejauh mana kita menyadari hal yang demikian, bahwa kita sedang berada di ambang ketidakberdayaan dan kebodohan?

Bourdieu juga mengatakan ketidaksadaran adalah kondisi-kondisi sosial yang disembunyikan dan dilupakan dari produksi. Produk yang terpisah dari kondisi-kondisi sosial produksi itu berganti makna dan menimbulkan suatu efek ideologis (Pertanyaan-Pertanyaan Sosiologi, 2020, 137). Berdasarkan kutipan dan pertanyaan di atas, saya ingin menawarkan catatan sederhana, melalui hakikat dari mie kuwah gak pakek telor. Tujuannya, untuk menjawab pertanyaan yang dipantulkan dari pernyataan Bordieu, melalui helatan makrab yang digelar di pendopo kampus tersebut dengan menyisakan wacana kritis lainnya. Bahwa, di antara pergerakan, kekerasan simbolis, ternyata masih menyisakan pertanyaan identitas yang sebetulnya sudah saya anggap selesai. Faktanya, identitas kembali menyeruak. Bahkan, merujuk pada analisis atau praduga diskriminasi identitas atau ras tertentu.

Masih perlukah identitas digulirkan dalam situasi yang gawat, akibat ketidaksadaran bertahun-tahun? Atau masih perlukah mempermasalahkan nama malam keakraban di tengah ketidaksadaran adanya dominasi kelas sosial? Jangan-jangan kita terlalu lama ditidurkan atau dininabobokan oleh kedunguan dan kebodohan kita semua. Untuk pikiran setengah waras, hal demikian sudah tidak penting lagi disingkap, dan menyeruak. Namun, saya justru melihat malam itu sebagai modal budaya untuk menarik ulur antara arena intelektual dengan kekuatan eksternal yang harus berlangsung secara dinamis. Sekalipun kita harus sadari penetrasi kekuatan ekonomi yang dilakukan penguasa kelas.

Apakah kita semestinya berpikir untuk memutus mata rantai yang kuat melalui banyak penelitian ilmiah, hingga gerakan-gerakan kesadaran dominasi kelas, ketimbang mengutamakan produk yang justru memunculkan kebekuan dan kebuntuan? Bukankah karya-karya intelektual yang bersifat avand garde semakin tersingkirkan? Justru karya-karya yang bersifat populer kian merajai. Semestinya kita menjaga kompleksitas masalah tersebut ketimbang menonjolkan diri dalam satu malam keakraban, yang menurut saya dikhawatirkan kita kehilangan suara intelektual. Demikian juga ditulis oleh Bourdieu bahwa kita kehilangan fokus dan substansinya (Arizal Mutahir: Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu, 2011, 136).

Bourdieu dalam Mutahir sudah mengingatkan kita bahwa arena akademis dipahami sebagai seperangkat relasi objektif yang terdiri dari bermacam posisi dan disiplin ilmu dalam distribusi modal (ibid., 109). Kita semua disatukan dari berbagai macam ragam seni bukan untuk membuat batasan antar arena akademis, bukan untuk menyelesaikan perjuangan arena akademis yang semestinya disadari dari dulu untuk tidak berhenti. Kita terlalu dijebak atau diiming-imingi produk seni yang menggiurkan. Tanpa disadari, jebakan itu sebagai pertentangan sesungguhnya yang dikonstruksi oleh dosen terhadap mahasiswa, sebagai ekspresi hierarki kelas.

Salah satu produk seni lainnya yang ditampilkan di makrab, 26 April 2021, di pendopo kampus seni Surabaya. (Foto: AWE)

Nah, malam keakraban itu semacam dramaturgi hantu yang dibangkitkan dari kekuasaan akademis dan reputasi intelektual. Saya tidak yakin betul, bahwa itu senjata dan pertarungan akademis untuk melawan semuanya. Ternasuk menjadi transportasi untuk melegitimasi modal budaya itu sendiri. Boleh jadi, hanya menjadi jalan kesadaran dari wacana kampus seni di Surabaya menuju negeri, yang sudah lama didengung-dengungkan, tetapi selalu menjadi pepesan kosong karena tidak pernah menyadari tentang kekuasaan karya akademisnya yang meliputi harga diri, reputasi, dan aktivitas publik.

Sekali lagi, kita selalu didungukan oleh peristiwa-peristiwa serupa. Sebuah produk yang tidak pernah dipahami juga sebagai bahasa, yang sebetulnya merupakan medium sekaligus alat dalam pertarungan akademis. Bourdieu menjelaskan bahwa bahasa bersuara lebih nyaring dan berpengaruh ketimbang di beberapa arena lain (ibid., 110). Tetapi karena itu tidak bisa dipahami sebagai bahasa untuk membangkitkan kesadaran dari kebodohannya selama ini dalam konteks kekerasan simbolis, maka perasaan paling unggul satu sama lainnya lebih mencuat ketimbang meletakkan seni sebagai eufemisme.  Bourdieu menyebutnya sebagai mesin untuk menstransformasikan klasifikasi sosial ke dalam klasifikasi akademis (ibid., 112).

Mie Kuwah Gak Pakek Telor

Catatan ini dibuat dengan lima teknik lapangan yang merujuk pada tulisan Spradley (ibid., 321-324) yakni prinsip teknik tunggal, prinsip identifikasi tugas, prinsip “alur maju bertahap”, prinsip penelitian orisinal, dan prinsip penyelesaian masalah. Bagian ini sebagai awal order yang biasa dilakukan untuk menghemat biaya. Sekalipun bisa berdasarkan selera yang tidak menyukai telor. Order ini saya kira merupakan satu pilihan alternatif untuk menghitung daya jelajah di hari yang akan datang. Mie kuwah semacam interaksi sosial khas mahasiswa seni di Surabaya di antara seliweran buruh pasar, pedagang mie tektek, pedagang nasi goreng, pedagang mie ayam, ustaz, guru, aparat militer, ketua RT, ketua RW hingga pekerja club malam.

Mie kuwah gak pakek telor sebagai satu kesadaran yang paling logis ditempuh di antara tagihan-tagihan yang menumpuk seperti uang semesteran, biaya hidup sehari hari, dan uang kos, seakan-akan kita tidak dapat hidup dengan realitas yang dihadapi. Seolah tidak dapat melanjutkan kondisi atau eksistensi intelektual dengan fakta-fakta yang dihadapi.

Mereka sebetulnya percaya satu permainan di luar kuasa simbol dengan mempertaruhkan dan memberikan segenap kemampuan yang dimiliki kepada orang lain untuk menciptakan relasi sosial. Celakanya relasi sosial ini menimbulkan sifat golongan, yang sekiranya memiliki kecakapan sepadan atau di bawahnya, maka mereka adalah golongannya.

Kekerasan simbolis sebetulnya sudah menuntun mereka pada jurang pemisahan. Sebab di dalam kampus, para penguasa simbolis dijunjung tinggi, dihormati, dan dihargai sedemikian tinngginya untuk mendapatkan nilai, atau mendapatkan peye demi mempertahankan hidup dari tagihan-tagihan tersebut.

Bryan Turner dalam Jenkins meringkas keinginan Bourdieu bahwa, status bisa saja dikonsepkan sebagai gaya hidup, yaitu sebagai totalitas praktik kultural seperti pakaian, tuturan, kenampakan luar dan watak badani…(Membaca Pemikiran Pierre Bourdieu, 2016, 198). Saya juga beranggapan bahwa pilihan klasifikasi sosial sebagai golongan dan bukan golongan, bergaul dengan golongan yang memiliki literasi dan bergaul dengan golongan yang tidak memiliki literasi, juga bagian dari status sosial yang sebenarnya tanpa disadari pengaruh dari mekanisme kuasa simbol di dalam kampus.

Dosen-dosen yang bertentangan dengan mahasiswa hanya sepenuhnya dipahami sebagai bagian dari bukan golongannya. Padahal dosen-dosen itu tidak pernah merasakan mie kuwah gak pakek telor di warung Mak Punki.

Dosen dan mahasiswa masing-masing memiliki ranah. Pertentangan yang tercipta selama ini bukan didasarkan atas ranah, melainkan kepentingan nilai akademis sehingga tidak punya wacana kritis. Cukup jilat pantat dosen dan penguasa kampus, maka cukup dianggap selesai. Mahasiswa yang bertentangan dengan dosen dianggap bukan golongannya. Mereka tidak pernah memahami bahwa ranah kita semua berbeda. Bourdieu sudah menjelaskan dalan Fashri bahwa ranah merupakan arena kekuatan di dalamnya terdapat upaya perjuangan untuk memperebutkan sumber daya (modal) dan juga demi memperoleh akses tertentu yang dekat dengan hierarki kekuasaan (ibid., 106).

Di sinilah letak kebodohan mahasiswa yang bisa diperalat dosen dalam menciptakan hierarki kekuasaan. Padahal mahasiswa juga memiliki hierarkinya sendiri dengan menyadari dirinya sebagai agen, memikirkan strategi-strategi, memandang realitas sosial yang paling dekat sebagai suatu topologi (ruang), memikirkan struktur-struktur kerja ketimbang mempermasalahkan golongan, produk seni, istilah-istilah seni, dan lain sebagainya.

Para mahasiswa yang menonton malam keakraban, 26 April 2021, di pendopo kampus seni di Surabaya. (Foto: AWE)

Permasalahannya mereka sudah membentuk habitusnya dengan menciptakan golongan, relasi kelas intelektualnya sendiri. Sehingga, selamanya apa yang diinginkan hanya omong kosong. Selamanya mereka kayak keledai membawa kitab tanpa tahu konten dari kitab yang dibawanya. Dan selamanya pula melahirkan regenerasi yang ‘ujug-ujug’ mudah disulut tanpa skema. Padahal mie kuwah gak pakek telor adalah penanda yang paling masuk akal untuk mengubah habbit, untuk memikirkan ranahnya yang kelak terjadi regenerasi yang lebih kritis. Bukan sekadar kongkow rokok`an di warung dalam kampus.

Mie Kuwah Gak Pakek Lama

Ketidaksadaran epistemologis selalu berkelindan dengan ketidaksadaran sosiologis. Saya melihat banyak kaum intelektual seni di kampus itu, berada pada kedua wilayah tersebut. Padahal sebetulnya malam keakraban itu, sudah menjadi pertanda signifikan bahwa mereka memiliki permainan bahasa yang cukup kuat. Mereka memiliki medan sosial yang sebetulnya tidak bersifat statis, melainkan bersifat dinamis.

Lantas buat apa saya menghiraukan mahasiswa lainnya yang tidak setuju dengan istilah makrab, lantas buat apa mempermasalahkan istilah performing art, performance art, dan happening art, kalau mereka tidak menyadari apa yang dikatakan Wittgenstein, bahwa, malam itu sebagai pertaruhan intelektual untuk menyatukan kekuatan-kekuatan sebagai akademisi seni yang terombang ambing dengan berbagai kepentingan.

Tentu saja Wittgenstein dalam Fashri memang ada yang memenangkan pertarungan dan kalah dalam pertarungan (ibid., 135). Tetapi masalahnya bagaimana cara memenangkannya kalau kita tidak memutus golongan sesama intelektualnya sendiri, dengan selalu menyerukan mie kuwah gak pakek lama, yang selalu dirundung dengan perut lapar setiap malam?

Saya secara pribadi dalam pengamatan ini, bahwa pertentangan-pertentangan antara dosen dan mahasiswa bukan hanya berlandaskan kepentingan golongan dan nilai akademis semata. Tetapi pertentangan itu seyogyanya sudah dibangun sejak dulu karena untuk memperebutkan berbagai macam jenis modal untuk memelihara posisi kelompok akademis tertentu, saya rasa semestinya diputus mata rantainya dengan menggunakan asas mie kuwah gak pakek lama. Di mana perut yang keroncongan akan menimbulkan malapetaka, golongan manapun pastinya akan mengalami yang sama.

Mau yang pandai, mau yang bodoh, mau yang seringkali baca buku, mau yang malas membaca, semuanya bakal sama dengan asas tersebut dan menyepakati bahwa konten pergerakan secara kritis segera dilakukan gak pakek lama, karena kalu lama kita semua pastinya saling tikam antara satu dengan lainnya karena kelaparan semuanya.

Mie Kuwah Gak Pakek Drama

Drama pendek dan berkesinambungan selalu hadir setiap malam di warung Mak Punki itu. Dan kami semua terbiasa dengan tontonan semacam itu. Tanpa mengurangi jumlah pembeli karena adanya drana sang istri yang selalu ngomel sama suaminya. Sang suami yang kelemar kelemmer dimarahi sang istri. Drama-drama pendek selalu menghiasi di antara wacana kritis mahasiswa, yang sebetulnya lebih merasakan kekerasan simbolis di luar kampus ketimbang berada di dalam.

Saya melihat bahwa sebetulnya pada malam keakraban yang dipenuhi dengan drama layaknya percekcokan suami istri di warung kopi, semacam unjuk gigi dari kode kode budaya yang membagi kelas di kampus tersebut. Kelas-kelas itu cukup efektif dalam penciptaan sehingga golongan tadi yang saya singgung terlalu kuat. Bagaimana memutus rantainya dengan wacana kritis, diskursus-diskursus, oral presentation dan lain-lain tanpa adanya drama?

Bordieu dalam Fashri menjelaskan sistem simbol mampu melakukan semua ini karena ia beroperasi sebagai sistem representasi. Lewat simbol simbol (bisa bahasa, wacaba, gambar dan semacamnya) kita mengungkapkan pikiran, konsep, dan ide-ide kita tentang sesuatu (ibid., 21). Maka sebetulnya tergantung bagaimaba cara kita merpresentasikannyq. Jikalau kita terlebih dulu dibebani dengan golongan-golongan, maka jangan harap apa yang hendak dilakukannya akan menuai hasil di masa yang akan datang. Tidak ada perjuangan yang terhormat dan tidak terhormat, tidak ada perjuangan yang turun ke jalan tidak terhormat, bukan berarti perjuangan dengan bahasa yang frontal tidak terhormat, kalau selamanya masih ada suara suara sumbang, masih banyak drama di belakangnya, maka segalanya berakhir kusut, karena jauh di balik kuasa simbol yang kita lihat, dominasi kelas memilik dramanya yang jauh lebih cerdik dan menggonggong.

Sebagai akhiran, saya ingin kutip Bourdieu tentang pertanyaan sosiologi, bahwa pertarungan kita menyajikan beberapa invarian yang bersifat transhistoris (ibid., 304).


Arung Wardhana Ellhafifie, Dramaturg, periset, yang kini menempuh pendidikan pascasarjana di ISI Solo.