Cerpen Haryo Pamungkas

Ia hanya lelaki tua yang menjual kesepian. Kesepian yang dibesarkan dengan baik di rumah kecilnya. Kesepian yang tumbuh sejak dua puluh tahun lalu; semenjak istrinya meninggal dunia dan kedua anaknya hanya sibuk mengirim uang dan kabar sesekali dari luar kota. Meski kehidupan tuanya terpenuhi secara materi, namun, adakah itu cukup untuk mengganjar kesepian hari tuanya?

Maka ia berpikir, di suatu senja yang gerimis, ketika ia menatap lekat titik-titik air dari balik jendela. Kesepian ini, gumamnya, dan ia telah memutuskan,

“Betul. Lebih baik kesepian ini kujual saja, siapa tahu ada yang membutuhkan,” pikirnya optimis.

Maka pada senja yang gerimis itulah, ketika ia menatap lekat titik-titik air di luar sana, ketika suara dan aroma hujan mengundangnya dalam pusaran kesepian yang lebih besar, ia resmi menasbihkan diri menjadi penjual kesepian. Ia membungkus kesepian dalam ingatan; dalam kenangan dan waktu yang ia pikir, semua orang pasti memilikinya. Namun ia tak akan ditemukan di pasar-pasar tradisional atau ruko-ruko modern sebab ia menjajakan dagangannya dari pintu ke pintu, dari rumah ke rumah wajah tuanya menyapa si pemilik rumah dengan ramah, kemudian menawarkan barang dagangannya dengan pasrah.

“Saya ingin menjual kesepian, apakah Anda ingin membelinya?” tanyanya, selalu, di tiap-tiap rumah yang ia datangi.

Tapi begitulah, kesepian adalah kesepian, ternyata cukup sulit untuk menjualnya sebab beberapa orang sudah memiliki kesepian yang sama. Atau bahkan, kesepian yang lebih besar dari miliknya. Bahkan beberapa penghuni rumah yang ia datangi justru menganggap lelaki tua itu gila.

“Kesepian? Dijual? Kebodohan macam apa ini?” tanya seorang lelaki muda dengan sinis. Lalu cepat-cepat menutup pintu rumahnya dengan kasar. Brakk!

Mendapat perlakuan semacam itu, lelaki tua itu hanya tersenyum, kemudian membatin, “Biarlah. Ia masih muda dan cara berpikirnya masih menggebu. Untuk itulah ia belum merasakan …”

Dari waktu ke waktu, ia masih mendapati penolakan. Kesepian yang ia jual belum satu pun ada yang membayar. Tetapi ia lelaki yang cukup optmistis dan sadar sejak awal bahwa menjual kesepian mengandung banyak penolakan, tapi bukan berarti tidak ada satu pun peluang untuk terjual.

“Maaf, saya tak ada waktu untuk membayar kesepian yang Anda jual,” kata salah satu perempuan muda yang tinggal di kompleks perumahan, ketika lelaki tua itu menggetuk pintu rumahnya dan berkata hendak menjual kesepian. Ia terlihat seperti seorang perempuan yang sibuk, seperti kebanyakan pekerja di kota ini.

Lagi-lagi, lelaki tua itu kemudian tersenyum, lantas berkata,

“Baiklah kalau begitu. Tak apa, Anda bisa membayarnya kepada orangtua Anda.”

“Maksud Anda?” perempuan muda itu terlihat keheranan. Apa maksudnya?

Tapi lelaki tua itu tak menjawab, ia hanya menganggukkan kepala sebagai tanda permisi. Dan perempuan itu masih bergeming di depan pintu, seperti mengingat-ingat sesuatu yang jarang. Ketika tubuh lelaki tua itu telah mengilang di kelokan perumahan, perempuan itu seperti baru menyadari sesuatu. Sesuatu yang selama ini ia tempatkan di ruang berdebu dalam ingatannya.

Benar, kesepian! Kesepian yang bukan miliknya, tapi berhubungan langsung dengannya. Kesepian nun jauh di sana, kesepian milik …

   ***

Dari hari ke hari ia terus menjajakan kesepiannya. Tentu saja bukan untuk uang, kesepian yang ia jual tidak mengarah ke sana. Ada sesuatu yang lebih, yang baginya, menjadi semacam kerja kemanusiaan. Sesuatu yang dapat mengingatkan, bahwa kesepian hari tua benar-benar menyakitkan dan bahkan, sekadar uang belum mampu mengobati sepenuhnya.

Hingga pada satu hari, ia tak sengaja melewati perusahaan yang cukup besar di tengah kota. Ia mengamati gedung bertingkat entah itu dalam-dalam, kemudian membatin, “Ah benar. Sepertinya orang-orang di tempat ini butuh daganganku,” yakinnya. Maka ia langsung masuk ke dalam, berkata kepada satpam bahwa ia ingin menjual kesepian. Tentu saja satpam itu menjadi berang, ia digaji untuk mengamankan perusahaan. Termasuk untuk hal-hal dapat memangkas waktu dan kinerja perusahaan.

Tapi lelaki tua itu terus meyakinkan, dengan wajah tua ramahnya ia terus berkata,

“Saya hanya hendak menawarkan kesepian, Nak Satpam. Saya kira orang-orang di sini membutuhkannya.”

Tiba-tiba, dan ini sungguh tiba-tiba, entah karena iba atau apa, wajah dan sikap satpam itu berubah. Tak lagi mengernyitkan dahi dan bersikap seolah-olah akan menantang mengusir lelaki tua itu. Semacam ada sesuatu yang ia dapatkan kembali, yang selama ini sudah bercongkol dalam ingatannya. Tapi apa? Satpam itu termangu, berpikir dalam-dalam, sambil terus mengamati lelaki tua itu, yang berjalan tertatih dengan tongkatnya dan berkata padanya hendak menjual kesepian.

Lelaki tua itu masih menunggu jawaban ketika satpam itu masih saja melamun dan bergeming di hadapannya. Ia berusaha membuyarkan lamunan si satpam dengan menyentuh bahunya, menggoyang-goyangkannya, kemudian berkata pelan,

“Apakah saya boleh menawarkan dagangan saya ke dalam?” ulangnya.

Satpam itu masih bergeming; sama sekali tak berkata apa-apa. Baru sekitar 2 menit kemudian, tanpa menjawab pertanyaan si lelaki tua, ia langsung masuk ke dalam pos jaga, menutup pintunya, dan dari luar terdengar suara sesenggukan yang samar.

Lelaki tua penjual kesepian itu melenggang masuk ke dalam perusahaan, berkata kepada satpam di depan pintu bahwa ia telah memiliki janji. Ia sengaja berbohong untuk menghindari perdebatan yang lebih. Lalu, oleh satpam penjaga pintu ia diarahkan menuju resepsionis. Baru kepada perempuan cantik itu ia berkata hendak menjual kesepian kepada orang-orang di sini,

“Nanti, Anda-anda tak perlu membayarnya kepada saya,” kata lelaki tua itu, kemudian ia melanjutkan, “Kesepian ini saya bungkus dalam ingatan; dalam kenangan dan waktu. Untuk itu, bayarlah kepada orangtua Anda,” pungkasnya kemudian. Perempuan cantik itu hanya melongo mendengar perkataan si lelaki tua. Barangkali, pikirnya, kesepian memang sudah bisa jual.

Dan begitulah: hari ketika lelaki tua itu diperbolehkan menawarkan kesepian yang ia jual pada seluruh pekerja di perusahaan yang bertingkat entah itu. Awalnya ia memang tak diterima dengan baik, tapi dibantu oleh satpam di pos jaga dan perempuan cantik resepsionis untuk meyakinkan, hampir seluruh pekerja menerimanya dengan baik.

“Kesepian ini saya besarkan sendiri, saya bungkus sendiri, saya jual bukan untuk uang. Kesepian ini saya bungkus dalam ingatan; dalam kenangan dan waktu yang saya kira, Anda-anda di sini juga pasti memilikinya. Jangan bayar kepada saya …”

***

Kisah lelaki tua yang menjual kesepian itu semakin lama semakin banyak terdengar. Mulanya oleh seluruh penduduk kota, lalu kota di sebelahnya, dan di sebelahnya lagi. Hingga koran-koran memuatnya sebagai berita utama: ada seorang lelaki tua yang menjual kesepian. Kini, ia juga sering diundang untuk menawarkan dagangannya di tempat-tempat di luar kota, mengisi seminar-seminar kesepian, dan di mana pun, kisah dan usahanya menjual kesepian banyak diperbincangkan.

 Kesepian lelaki tua itu seakan-akan tak pernah habis. Semakin hari semakin banyak kesepian yang  bisa ia tawarkan kepada orang-orang. Sebab meski kisah dan usahanya menjual kesepian sudah banyak diperbincangkan, kisah itu nyatanya tak sampai ke telinga kedua anaknya. Mereka hanya dan masih sibuk mengirim uang, kabar sesekali jika sempat, dan pulang ke rumah kecil itu setahun sekali. Itu pun hanya beberapa hari. Singkat, sebab waktu adalah uang, barangkali begitu pikir mereka.

Kesepian yang dibesarkan lelaki tua di rumah kecil itu semakin membesar, membesar, dan membesar setiap waktu. Kesepian itu yang kelak akan ia jual sebagai pengingat: bahwa kesepian hari tua benar-benar menyakitkan dan untuk membayarnya, tak cukup sekadar uang.

Maka, untuk hari-hari setelahnya lelaki tua itu terus menjual kesepian; kesepian yang dibesarkan dengan baik di rumah kecilnya. Kesepian yang tumbuh sejak dua puluh tahun lalu; dan kesepian yang dibungkus dalam ingatan; dalam kenangan dan waktu. (*)


Haryo Pamungkas, lahir di Jember. Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember.