Seperti biasanya, nanti malam aku akan pergi ke tengah laut bersama Sopian. Sebenarnya tidak teramat tengah, karena dasarnya masih pasir, bukan lumpur. Artinya, tengah laut dalam pengertian memang di tengah, tetapi masih terbilang dangkal. Di sana, kami menyelam dan memilih botol yang paling menarik bentuknya, meski boleh saja kalau mau diambil secara acak. Botol-botol itu berisikan sebuah surat, semacam doa yang ditulis orang-orang untuk semesta; dengan harapan supaya cinta mereka abadi, supaya mendapatkan uang yang banyak, atau supaya cepat dikaruniai anak. Umumnya mereka yang sudah memiliki pasanganlah yang melakukan itu, dengan menyewa perahu dari para nelayan, mereka berlayar ke tengah laut waktu sore.
Kebanyakan pemuda di kampungku tidak bersekolah. Orangtua kami hanya mengumpulkan uang hasil penjualan ikan untuk kebutuhan sehari-hari, seperti membeli beras dan air bersih. Mereka tidak berpikir bahwa sekolah adalah segalanya, yang menentukan bagaimana nasib baik kami kelak. Kami dilatih agar menjadi nelayan yang cakap, atau setidaknya dapat mengendalikan perahu saat badai datang. Oleh sebab itu, membaca surat-surat dari botol, semacam menjadi pelampiasan yang menggembirakan bagi kami. Kami akhirnya tahu rasanya berlaku sebagai orang yang berpendidikan tanpa perlu duduk di dalam kelas.
“Bagaimana kemarin rupanya Eni setelah kamu kasihkan surat?” tanyaku pada Sopian.
“Percuma. Dia tidak banyak mengerti. Masih ada kalimat-kalimat yang dia tidak bisa baca.”
“Ajak saja dia malam ini. Kita kenalkan padanya beberapa kata yang belum dia tahu.”
“Minggu lalu aku dapat surat dari botol urang-aring, dan…”
“Bagaimana bunyinya?”
“Begini: ‘terimalah sepotong senja itu, hanya untukmu, dari seseorang yang ingin membahagiakanmu. Awas, hati-hati dengan lautan dan matahari itu, salah-salah cahayanya membakar langit, dan kalau tumpah airnya bisa membanjiri permukaan bumi’1.”
“Itu lumayan bagus.”
“Sebelumnya aku juga berpikiran begitu. Tetapi Eni, dia seperti yang kuceritakan tadi,” keluh Sopian lalu menyeruput kopinya.
“Nanti kubantu kamu mencari botol kecap. Biasanya botol kecap berisi surat-surat panjang.”
Botol kecap menjadi barang langka bagi kami. Hanya orang-orang berduit yang mampu membelinya dari pedagang bakso. Pernah suatu ketika kami mendapatkan botol kecap, dan membaca surat di dalamnya. Benar-benar surat yang panjang, dengan beberapa coretan di sejumlah bagian kalimat. Misalnya potongan kalimat dari surat itu yang cukup berkesan buatku: “Sumi, aku bersumpah bersaksi di hadapan seisi laut dan bumi, bahwa aku mencintaimu. Aku bersumpah, selama laut masih bergelombang, dan air tidak digantikan api, seterusnya aku adalah milikmu.”
Sisa kalimat yang lain aku lupa. Kami memasukkan isi surat itu kembali ke dalam botol, lalu menenggelamkannya, lalu menertawakannya. Bukan bermaksud mengejek karena mungkin kalimat itu terdengar konyol, justru karena kami kagum. Kalimat itu membuat kami merasa tersanjung karena berhasil menemukannya. Sungguh kalimat yang bagus. Pernah juga Sopian ingin membuat kalimat dengan menirukan gaya serupa, namun gagal. Masih terasa hambar, katanya.
“Kalau Eni ikut, berarti kita cuma bertiga, jumlah ganjil tidak disarankan untuk menumpang perahu,” kataku.
“Kemungkinan Seno juga ikut, jadi empat orang.”
“Seno? Maksudmu anaknya Sukab dan Hayati2?” Sukab dan Hayati adalah sepasang kekasih yang pernah menjalin cinta terlarang karena keluarga mereka tidak merestui. Tapi mau dikata apalagi, Hayati terlanjur mengandung Seno, anak Sukab. Seno lahir dengan sehat, saat ini sudah masuk tahun ketiganya di sekolah dasar. Kedua orangtuanya bersusah payah mencari biaya untuk kelanjutan hidup anak itu.
“Betul.”
“Tetap saja terhitung tiga kalau kita hanya membawa bocah ingusan itu.”
“Tak masalah. Aku yang bertanggung jawab bila terjadi sesuatu.”
Menjelang magrib, kami segera mengemasi jala yang kami jahit sejak tadi pagi. Ini jala milik bapakku. Aku meminta tolong Sopian untuk membantu menjahit sejumlah bagian yang bolong. Maklum, jala ini usianya lebih tua ketimbang diriku. Lebih dari dua puluh tahun lalu, jala ini dibuat oleh kakekku.
“Kamu hanya pesan kopi?” tanyaku.
“Nasi lauk ayam tambah kerupuk dua,” jawab Sopian.
Setelah membayar semua pesanan kami, aku pulang untuk mengembalikan jala. Sementara Sopian tetap menunggu di warung. Sebuah warung yang berada tidak jauh dari pantai. Dari warung itu, kami masih bisa mendengar suara debur ombak.
***
Dari jauh aku bisa melihat wajah Sopian dan Eni terpapar lampu petromaks yang digantung di sudut warung oleh Mbah Muhri, pemilik warung yang suaminya hilang di laut tiga puluh tahun silam. Menurut cerita, saat itu baru masuk musim hujan, dan air laut menenggelamkan bibir pantai. Pria itu menghilang, tetapi tidak beserta perahunya. Perahunya ditemukan oleh para nelayan yang baru pulang menangkap ikan. Ada tulisan: “Muhri menunggu di rumah” pada badan perahu, yang menjadi tanda perahu itu adalah milik seseorang. Seseorang yang dikenal hampir semua nelayan, berkat kebaikan istrinya yang selalu membolehkan nelayan berhutang kopi. Pria itu meninggalkan Mbah Muhri dan Irwan, anak lelakinya.
Meski menjadi yatim, anak itu tidak putus semangat, dia berangkat ke Malaysia dan mengirim uang untuk ibunya setiap bulan. Kabar terakhir dari Mbah Muhri, bahwa Irwan akan pulang dalam waktu dekat untuk membantunya berjualan di warung. Katanya, dia juga membawa seorang gadis asal sana.
“Mari berangkat,” ajakku.
“Kita harus menunggu Seno,” kata Sopian.
“Kalian tidak membungkus kopi?” tanya Mbah Muhri.
“Tentu. Saya yang bayar,” timpal Eni.
Seno datang dengan napas memburu, bersamaan dengan kopi yang sudah selesai dibungkus dalam sebuah kantung plastik bening. Tanpa bertanya perihal semua persiapan, karena memang tidak ada yang perlu dipersiapkan selain senter dan niat belajar, kami langsung berangkat.
Kami berjalan kaki menuju pantai. Seno menyelimuti tubuhnya dengan sarung, Sopian membuka jaketnya untuk Eni, aku dan Sopian menghangatkan tubuh dengan merokok sebanyak mungkin.
Kecuali Eni, kami mendorong perahu hingga menyentuh permukaan air, lalu melepas talinya dari tiang penyangga. Di badan perahu ini ada tulisan: “nelayan senior”. Bukan aku atau bapakku yang menulisnya, tapi Kakek. Kakekku dulu adalah nelayan yang pintar. Dia bahkan menyelesaikan sekolah dasarnya. Dia juga yang mengajari para nelayan membaca dan menulis, sehingga mereka bisa memberi nama pada perahu mereka. Karena itu, kakekku dipanggil senior, dan atas dasar tersebutlah membikin kesimpulan sendiri dengan menulis dua kata itu di badan perahunya.
Dalam perjalanan, kami bertemu dengan sejumlah teman. Mereka juga melakukan hal yang sama dengan kami.
“Siapa itu?” tanya Eni.
“Sapardi, dan yang satunya…,” aku mencondongkan kepalaku, sampai agak keluar dari badan perahu, tetapi tetap saja orang itu tidak terlihat, dia terlalu menunduk, “entahlah, tidak terlalu jelas.”
“Itu Sutardji,” sahut Sopian.
“Oh, dia.”
“Sapardi adalah satu-satunya pemuda yang berhasil menembus kuliah dari kampung kita, kan? Kenapa dia di sana?”
“Mungkin mau mengajarkan Sutardji membaca dan menulis. Bukankah keluarganya miskin? Maksudku dia lebih miskin daripada kita.”
Sopian mengangguk. Saat melintas di dekat mereka, kami melambaikan tangan dan menyapa sekadarnya. Kami melihat mereka duduk berhadap-hadapan, dengan senter yang sedang menyorot sebuah kertas di tangan Sutardji.
“Hahaha…”
“Kenapa kamu tertawa, Seno? Memangnya kamu lebih pintar dari dia?” Eni membentak Seno.
“Cara membacanya lucu,” Seno menahan mulutnya, namun suara tawanya terlanjur sampai ke telinga Sutardji. Sapardi berdehem, Seno diam, dan Sutardji kembali melanjutkan bacaannya.
Sampai di tengah laut, aku dan Sopian mengikatkan senter di kepala masing-masing. Memasang sepatu renang, kemudian menyeburkan diri. Kami menyelam sampai ke dasar laut. Nampak sejumlah botol tertimbun pasir sehingga menyisakan bagian kepalanya saja, ada juga yang dalam posisi terbalik. Dan beberapa lagi pecah.
Karena tak bisa berlama-lama, kami pun memilih yang paling mencolok di antara semua yang terlihat. Aku mendapatkan botol kecap, sementara Sopian mendapatkan botol bir. Kedua botol itu berjarak hanya sedepa, dan keduanya seakan berusaha mencuat ke satu sama lain.
“Hah, bir? Bagaimana bisa?” tanyaku heran.
“Tadinya kukira ini botol kecap, warnanya sama.”
“Kenapa kalian begitu heran? Apakah ini bukan hal yang biasa terjadi?” tanya Eni, dengan mulut dipenuhi bau bawang.
“Kamu mengunyah bawang?” tanyaku.
“Supaya tidak masuk angin,” jawabnya menyeringai.
“Apa kamu juga mabuk laut, Seno?” tanya Sopian.
“Tak usah pikirkan aku. Cepat bacakan surat-surat itu. Aku mau menulis sesuatu untuk dipamerkan di sekolah.”
Aku membuka botol kecap itu yang ditutup begitu rapat dengan lempengan logam seukuran koin, lalu mengeluarkan isinya: sebuah kertas yang sudah menguning. Sebentar, masih ada lagi, kataku. Kami saling memandang setelah melihat sebuah cincin jatuh dari dalam botol. Sebuah cincin yang dibungkus dalam kantung plastik berukuran kecil sekali. Di badan cincin, terukir sepasang kata: “Muhri” dan satu kata lain yang tidak terbaca sempurna. Karat dan semacam goresan membuatnya terhapus. Sayang sekali, kata Eni. Aku memberikan surat itu pada Seno, dan meminta ia membacakannya:
“Dengan ini, saya bersumpah untuk tidak menunggumu lagi, kekasih. Betapa pun rindu akan membuat saya terluka. Maaf karena saya harus tetap melahirkan bayi ini, saya tidak peduli meski kamu sudah berzina lagi dengan perempuan lain. Izinkan saya mencari lelaki yang lebih baik darimu. 1960.”
Kami bergeming beberapa saat. Seno membaca dengan nada yang semula tinggi, kemudian menjadi lirih menjelang akhir tulisan. Sopian menyeka air mata sambil bersandar di bahu Eni. Eni mengernyitkan dahinya, bagai masih mencerna sebuah kenyataan yang sulit.
“Apa kau bisa merahasiakan ini, bocah?” tanyaku pada Seno. Meski sebenarnya pertanyaan ini berlaku untuk kami semua yang berada di perahu sekarang.
Aku menggulung kertas itu, dan memasukkan serta cincinnya ke dalam botol. Kami sepakat tidak membahasnya lagi. Mari lanjut mempelajari tulisan yang satunya, kataku. Tanpa diaba-aba, Sopian membuka tutup botol bir itu, dan mengeluarkan kertas yang lebih baru ketimbang sebelumnya. Kuning, tapi tidak sekuning surat Mbah Muhri. Ditambah sebuah pulpen. Pulpen itu seakan tak dibutuhkan lagi sehingga dibuang sekaligus ke dalam botol. Saat membaca kata pertama, Sopian langsung membelalak ke arahku, lalu melihat tulisan itu lagi, kemudian menatapku lagi. Aku segera meraih surat itu, dan membacanya:
“Muhri, saya mengira kamu adalah cinta sejati saya. Saya mengira, kamu telah melahirkan dan membesarkan anak kandung saya. Saya mengira, saya adalah lelaki yang sejak awal kamu rencanakan untuk menemani masa tuamu. Akhirnya saya mengetahui kenyataan, bahwa saya adalah lelaki yang kebetulan menyelamatkanmu dari hubungan gelap. 1983.”
***
Malam ini kami pulang lebih cepat setelah puas membaca delapan surat. Sementara dua surat dari botol kecap dan bir itu telah kami letakkan kembali secara bersisian dan kami sudah berjanji melupakan isinya.
Sepanjang jalan pulang, aku dan Sopian tidak berbicara apa-apa, selain meminum kopi dan merokok sebanyak mungkin. Kami melintasi laut yang gelap, yang hanya diisi oleh suara perahu yang menciptakan gelombang-gelombang kecil di sekitarnya, ditambah suara gigi Eni yang masih sibuk mengunyah bawang. Sementara Seno begitu girang, dan terus bergumam sepanjang perjalanan, berbicara dengan dirinya sendiri tentang sebuah cerita yang akan ditulisnya: “aku akan memberinya judul ‘cinta di atas perahu cadik’3”
Aku dan Sopian bersitatap, lalu melempar senyum pada anak itu.***
*Catatan:
1 dikutip dari buku Seno Gumira Ajidarma: Sepotong Senja untuk Pacarku (Gramedia, 2017)
2 Sukab dan Hayati merupakan nama tokoh dalam cerpen Seno Gumira Ajidarma: Cinta di Atas Perahu Cadik.
3 Cinta di atas Perahu Cadik adalah cerpen Seno Gumira Ajidarma yang termaktub dalam buku cerpen kompas pilihan 2007.

Robbyan Abel Ramdhon, lahir di Mataram, 5 Januari 1998. Sejumlah cerpen dan essainya terbit di berbagai media cetak dan daring. Juga bergiat di Komunitas Akarpohon. Media Sosial: Robbyan Abel R (FB) / Robbyanabel (Instagram/Twitter)