Cerpen Ruly R

Eti Ncus jenak duduk di depan meja rias. Bedak putih merk Fanbo sudah diusap sebelumnya, di seluruh wajah, lantas menambah di pipi kanan-kiri. Lipen merah bata diolesnya. Mengatup-membuka bibir, tiga kali Eti Ncus melakukan itu. Rambut panjangnya yang sedikit bergelombang tergerai sempurna. Pin berbentuk bunga mawar mekar di dada kiri baju pentasnya dilirik, lantas tatapannya kembali pada cermin di hadapannya. Eti Ncus memejamkan mata, berdoa di tengah kegugupannya untuk tampil di atas panggung malam ini.

Sebenarnya, sudah biasa Eti Ncus nampil dari panggung ke panggung, namun pentas malam ini berbeda baginya. Dia akan menghibur pengunjung alun-alun kota dalam peringatan ulang tahun kota. Hal ini menjadi pengalaman pertama baginya.

“Akhirnye,” gumam Eti Ncus. Ingatannya bergerak begitu jauh ke belakang, pada waktu yang terlampau lama, ketika dulu ia naik panggung di alun-alun kota Depok karena menjadi juara tiga lomba cerdas-cermat sekolah dasar se-kota Depok. Terlalu lama kenangan itu mengendap di benak Eti Ncus, hampir terserak, lantas dilupakannya. Namun, karena pentas malam ini, dia kembali teringat pada masa itu. Masa di mana ibunya yang hanya penjual rujak begitu haru penuh bangga atas prestasi anaknya kala itu.

“Kudu yakin,” gumam Eti Ncus sembari rakus menarik napas dan mengeluarkannya penuh kelegaan, “ini buat nyak,” lanjutnya penuh yakin.

Wajah dan senyum ibu kembali menghampiri benak Eti Ncus. Dia teringat akan sesuatu yang pernah ibu katakan tentang cita-cita yang harus terus dikejar tanpa kenal lelah dan putus asa. Itu kalimat pertama yang diingat Eti Ncus. Yang kedua dan ini yang menjadi peringatan ibunya berkali-kali pada putri semata wayangnya adalah jangan sampai salah pilih lelaki. Bagaimana juga hidup Eti Ncus dan ibu jauh dari kebahagiaan karena ayahnya adalah lelaki yang tidak bertanggung jawab. Tujuh bulan umur Eti Ncus, lelaki itu pergi begitu saja tanpa pernah mengirim kabar, apalagi permintaan maaf pada Eti Ncus atau ibu. Dendam dan kegeraman jelas mengakar di hati ibu. 

Mata Eti Ncus berkaca-kaca, bulir halus air mata mulai menetes, jatuh pada gaun putih yang dia sewa di salon kecantikan langganannya. Kedua telapak tangannya dia tutupkan pada matanya, sesekali mengusap agar air mata tak membanjir, namun hal itu sia-sia. Setiap ingatan Eti Ncus jatuh pada ibu, dia merasa tidak ada orang lagi yang mendukung dan mendoakannya. Ibunya telah meninggal dua tahun lalu sebelum malam ini, namun tentang ibu menjadi segala yang selalu sukar ditolak Eti Ncus. Dia berias kembali, membereskan dandanan yang sebelumnya sudah terlihat sempurna, namun sedikit luntur karena air mata.

Suara sepeda motor yang berhenti di luar petak kontrakan membuyarkan lamunan Eti Ncus.

“Ti. Ti. Udeh siap, Ti?” teriak seorang lelaki ditingkahi suara ketukan pintu.

“Bentar, War,” jawab Eti Ncus sekenanya. Dia hafal itu suara Anwar Saleh yang memang menjadi penjemputnya saban akan pentas. Tangan Eti Ncus kembali mengusapkan bedak di kedua pipinya. Lantas gegas keluar petak kontrakannya, menemui Anwar Saleh.

“Kenape, Ti? Abis nangis, ye?”

Eti Ncus menggeleng pelan.

“Itu mate lu merah. Kelilipan? Biar kate di sinetron gitu?”

“Yuklah cabut.” Eti Ncus mengalihkan pembicaraan dengan sedikit memaksa agar gegas berangkat takut kalau telat.

Anwar Saleh menyelah motor Fiz-R yang dibawanya, suara cempereng keluar dan  asap knalpot membanjir.

“Kagak pelan-pelan aje nih, Ti. Pentas spesial, baju ame dandanan jangan ampe rusak, kan?”

“Udeh cepet aje. Jan ampe telat ke sononye. Bakal latihan bentar di sane.”

“Deket ini. Gampang dah, Ti. Latihan kek amatir aje,” kelakar Anwar Saleh.

Eti Ncus tidak terlalu menggubris ucapan Anwar Saleh. Sudah hampir lima tahun Eti Ncus mengenal lelaki yang memboncengkannya dan terlampau sering Anwar Saleh melempar guyonan padanya.

Bekerja bersama di Cantik Nada yang punya moto nggak cantik nggak asyik, membuat keakraban mereka bertambah rekat, ibarat biduan dan saweran. Gosip-gosip yang bertebaran di antara para kru Cantik Nada kalau Anwar Saleh kesengsem Eti Ncus, namun yang ditaksir tidak pernah menggubris. Sekali waktu, gosip itu sampai di telinga ibunya, dan Eti Ncus menerima omelan juga nasihat. Kala itu, Eti Ncus hanya menjawab kalau itu hanya omongan teman-temannya yang tidak perlu dirisaukan. Baginya, Anwar Saleh hanya sebatas teman kerja, tak kurang, apalagi lebih. Eti Ncus jelas ingat meski sudah mengenal Anwar Saleh begitu lama, namun lelaki itu belum sekalipun mengutarakan perasaannya pada biduan yang terkenal dengan goyang jarum suntik.

Terang lampu-lampu kota berpendar. Udara dingin kota menusuk tubuh Eti Ncus dan Anwar Saleh. Mulut masing-masing membisu. Tiga kelokan lagi mereka akan sampai di alun-alun kota yang akan padat oleh para penggemar dangdut, yang sebagiannya pasti sudah siap dengan pundi-pundi sosial untuk Eti Ncus.

“Ntar abis pentas, gue mau ngomong, Ti.”

“Kagak jelas, War,” sahut Eti Ncus karena di sisi mereka melintas beberapa sepeda motor berknalpot blong dikendarai anak-anak muda berambut pirang. Suara knalpot mereka begitu memekakan telinga. Anak-anak muda itu juga membuat Anwar Saleh terpaksa memelankan laju sepeda motornya.

“Ya udeh. Ntar aje.” Sedikit teriak Anwar Saleh.

Alun-alun kota Depok sudah riuh-ramai. Lampu disko penuh warna berputar-putar, cahayanya menerangi panggung.

“Lu tadi ngomong ape, War?” tanya Eti Ncus begitu mereka tiba beberapa jarak di belakang panggung.

Anwar Saleh sejenak diam.

“Ye bengong. Buruan nape!” bentak Eti Ncus pada lelaki di hadapannya.

“Ntar abis pentas aje, Ti.”

“Lah, buruan! Telat nih. Ntar lu lupa lagi.”

Anwar Saleh masih saja diam.

“Bentar lagi gue mau naek panggung nih. Buru ngomong! Sekarang!” paksa Eti Ncus yang terlampau penasaran.

Anwar Saleh merogoh saku celana, mengeluarkan kotak berbentuk hati berwarna merah benderang.

“Ti, lu mau nggak jadi bini gue?”

Eti Ncus hanya mematung mendengar itu.

“Ya, ini yang kita tunggu-tunggu.  Bintang yang namanya sudah tidak asing. Artis kelahiran Depok, nama harum mewangi. Sebentar lagi masuk dapur rekaman dan lagunya akan terdengar sampai seluruh penjuru Nusantara. Penuh bangga dan tepuk tangan kita sambut….. Eti Ncusss… Cantik Nada, nggak cantik, nggak asyik,” panggil MC di atas panggung. Eti Ncus masih saja mematung. Berkelebat banyak hal di benaknya.


Ruly R, bergiat di Komunitas Kamar Kata Karanganyar. Mahasiswa di STKIP PGRI Ponorogo. Novel terbarunya berjudul Kalah (Rua Aksara, 2020). Bisa disapa di twitter @ruly_r_ surat-menyurat: riantiarnoruly@gmail.com