Judul: orde batu | Penulis: Ali Ibnu Anwar | Penerbit: Bukuinti | Cetakan: Pertama, Juli 2020 | Tebal: 78 halaman | ISBN: 978-623-94015-2-8

Oleh Iqbal Al-Fardi

Saya baru dua kali meneguk kopi yang saya pesan di kedai itu. Sebatang rokok lintingan dhewe baru separuh terbakar. Butuh beberapa hisap lagi menuju habis. Mendadak selarik puisi Ali Ibnu Anwar berkelebat dalam ingatan saya, “Musim kemarau adalah musim tembakau adalah musim rindu para petani yang pirau”. Ya, potongan kalimat dalam puisi berjudul musim tembakau seakan menari-nari bersama kepulan asap tembakau di depan wajah saya. Dan akhirnya berhasil menggugah  saya untuk menulis ulasan antologi puisi orde batu yang terbit beberapa bulan lalu.

Saat membaca judul buku antologi itu, saya sempat menduga isinya adalah puisi-puisi tentang Rock Balancing Art atau seni menyusun batu. Namun setelah membaca tiga puluh empat puisi dalam buku itu, dugaan saya itu keliru. Secara garis besar, antologi itu memuat isu-isu lokal, masyarakat urban, dan pengalaman pribadi penulisnya.

Isu lokal menjadi tema utama dalam buku itu. Dari tiga puluh empat puisi, terdapat dua puluh tujuh puisi mengenai isu lokal, yang disadari atau tidak, kerap tenggelam di tengah hiruk pikuk isu nasional. Misalnya soal kehidupan petani dan ekspoitasi alam. Keduanya adalah hal yang biasa atau lumrah dan sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Namun di tangan Ali, topik-topik yang terkesan biasa disulap menjadi larik-larik puisi yang renyah, enak dibaca dan tentu saja, khas.

Ali mengangkat tema tentang bencana alam pada beberapa puisinya. Setidaknya ada lima puisi: risalah kawah, mantra bumi gowa, kontemplasi tsunami, riwayat, dan kicau burung, yang menyoal bencana alam.

Kebakaran hutan Riau pada tahun 2019 menjadi peristiwa yang begitu mencekam dan menyisihkan memori buruk yang begitu kuat bagi masyarakat di sana. Tebalnya asap “karhutla” tak hanya menganggu ruang gerak manusia. Kehidupan flora dan fauna juga. Dengan jahitan kata yang khas, Ali mengangkat peristiwa tersebut dari sudut pandang seekor burung.

Dalam puisi kicau burung, saya bisa merasakan kobaran api yang menjilat apapun di sekitarnya. Terbayang pepohonan tempat burung-burung membuat sarang terbakar, hangus dan bertumbangan, hingga mereka lari terbirit sambil menjerit melilit luka dalam genangan air matanya. Dalam puisi itu juga tergambar kesedihan si burung akan masa depannya, telur-telurnya dan anak-anaknya yang ludes dilumat kobaran si jago merah. Si burung pun hanya bisa terus berkicau. tapi suaranya terbakar api yang menyala dari tangan-tangan ingkar

Membahas isu lokal, belum lengkap kiranya jika belum menyentuh masyarakat lokal. Penyabit rumput contohnya. Dalam masyarakat Madura sering dikenal sebagai tukang ngarit. Mereka mencari rumput untuk pakan ternak. Kebanyakan dari mereka menjual rumput pada peternak hewan. Dan pekerjaan tersebut sudah menjadi mata pencaharian bagi masyarakat lokal. Menariknya, Ali mengangkat problematika mereka ke dalam puisinya yang berjudul penyabit rumput.

Kompleksitas problematika kehidupan penyabit rumput itu tak luput dari sorotan Ali. Gambaran pekerjaan si penyabit rumput di siang hari dibungkus dengan nuansa alam yang menawan: dengan jarum-jarum rindu, kaujahit embun di serat daun randu. menjadi payung merindangi punggungmu dari terik matahari menyayati dada bumi. Sedangkan dalam kondisi ekonomi di bawah rata-rata, anak-anak mereka menambah beban mental dan pada urat rumput itu, napasmu semakin tawar. bersiul-siul menjadi harapan pesing dalam isi kepala anak-anakmu. Anak-anak mereka pun enggan untuk begaul dengan sawah dan rerumputan. Sehingga, nasib dan mimpinya pincang di ujung puting pacarnya.

Selanjutnya, juga menulis tentang gumuk. Istilah tersebut sangat lekat dengan daerah Jember. Daerah tersebut juga dikenal sebagai kota seribu gumuk. Pada umumnya kita mengenal gumuk dengan bukit. Maraknya pertambangan pasir menyebabkan nasib gumuk berada di ujung tanduk. Ali merespon keadaan tersebut dengan puisinya yang berjudul batu kelumpang

Selain sebagai kritik terhadap eksploitasi gumuk, Ali juga menarasikan kehidupannya di desa. Alam dan masyarakat telah menjalin hubungan yang begitu kuat. Sampai-sampai siul burung membawa bau terasi bakar dapur ke tegalan. Interaksi Ali dengan alam sekitar memoles masa kecilnya sebegitu asik. Meski kadang kala ia merejang deduri. tergores nyeri. ia tak peduli. Hingga beranjak dewasa pun, ia tetap memeluk erat alam sekisut kulit pohon memeluk erat serat kayu. tak lama lagi, mata mesin pengeruk akan memberinya mimpi buruk tentang gumuk menjadi satu musabab puisi ini lahir.

Kurang sah kiranya jika membahas puisi tanpa menyertakan karakter penulisannya. Pada antologi puisi ini, Ali bermain rima dengan sangat ketat. Ia juga menyertakan narasi yang kuat seperti pada penggalan puisi yang berjudul risalah kawah berikut: anak-anak solfatara dadanya meletupkan lelava // Membangun doa di tangan kaldera. Bisa kita perhatikan bagaimana kepiawaian Ali dalam bermain rima. Jika pada puisi lama rima datang pada akhir baris. Namun, Ali menggunakan rima dalam dan luar. Ia juga meletakkan rima pada setiap satu atau dua kata.

Seperti pisau bermata dua. Usaha untuk membentuk pola rima yang ketat membutuhkan kejelian dalam memilih kata. Bahkan ada kasus di mana Ali harus memilih sebuah kata yang cukup asing, ialah kata sangsai dalam puisi toh.

Munculnya kata sangsai pada paragraf keempat baris kedua berpotensi menggangu keutuhan makna pada paragraf terakhir. Kata tersebut dapat mengecoh pembaca dalam proses memahami puisi karena di KBBI tidak ditemukan arti kata sangsai. Namun, setelah mencarinya di Google, saya baru menemukan artinya: sengsara. Mungkin kata sangsai harus dipilih tersebab Ali sedang menjaga rima dalam perangaimu yang sangsai, agar seteguh perisai. Dan hal ini tentu saja adalah risiko untuk memadukan rima.

Buku Orde Batu dipoles dengan ilustrasi yang digambar oleh Arief Enpe. Ada sebelas ilustrasi yang menyertai puisi ali dan satu ilustrasi sampul buku. Penambahan ilustrasi yang khas ini memunculkan imajinasi tersendiri bagi pembaca. Usaha tersebut juga menambahkan nilai estetika. Secara garis besar, buku orde batu menyuguhkan bukan hanya topik yang menarik, melainkan juga kekhasan gaya tutur Ali. Seolah-olah Ali tengah menghidangkan menu makanan utama dan penutup. Jika topik pembahasannya menjadi hidangan utama, maka formulasi rima dan narasi berupa makanan penutup yang lezat.


Iqbal Al-Fardi, pegiat seni dan mahasiswa Universitas Negeri Jember yang senang melakukan pengembaraan kopi dan tembakau