Sebuah Malam Setelah Gerimis
Udara sepertiga dini hari mencium kulit. Aku menyelinap, keluar di sebuah bar langganan favorit, tempat menitipkan penat di kepala. Tubuhku serasa sekoci oleng tak bernakhoda. Separuh bir kuteguk habis. Ah, dingin tak juga pergi.
Seekor anjing menggonggong. Kemerisik angin bertandang pelan. Seseorang berdiri menyangga tubuhnya pada tiang penerang jalan. Pakaiannya kumal dan rambut, kumis dan janggut serba gondrong —mungkin juga bulu-bulu lain di bagian tubuhnya. Mungkinkah lelaki itu hendak memalak?
Ia diam, kecuali sorot matanya menatap tajam. Leher botol yang isinya sudah tandas aku cekik kuat-kuat.
“Hay, apa yang kau perhatikan, bodoh!”
“Aku di sini setiap malam. Menemuimu pulang dengan keadaan teler,” lelaki itu tenang.
“Apa pedulimu? Ini hidupku. Bukan hidupmu.”
“Ya, hidupmu bukan hidupku. Tetapi, ceracaumu di sepanjang jalan adalah suara kematianmu?”
“Apa pedulimu.”
“Kau selalu menyeracau menyebut perempuan-perempuan dengan nama tak jelas.”
“Perempuan? Heh, sok tahu.”
“Jodohmu adalah perempuan yang lahir sebulan setelah dirimu lahir,” kalimat terakhirnya memojokkan pikiranku. Berdengung-dengung. Tak sempat kulihat ke mana hilangnya lelaki itu. Mungkinkah hanya ilusi? Barangkali kewarasanku sudah tandas.
Perempuan Bermata Gerimis
Bola itu berputar-putar tak jelas. Biasnya menghablur. Sekelompok orang berjingkrak mengikuti putaran bola di atasnya. Alunan musik naik-turun membuat yang pusing disulap happy. Itulah lelakon orang-orang yang sudah hampir hilang kewarasannya. Lalu, bagaimana dengan yang waras? Akan aku terakan, mumpung kondisiku masih waras untuk sekadar bercerita. Seorang yang masih waras—yang menunggu giliran ketidakwarasannya—duduk pada sederetan kursi merah berbentuk ‘L’. Asbak plastik merah di atas meja hitam. Mereka merokok banyak-banyak, minum banyak-banyak-banyak, bicara banyak-banyak dan tertawa banyak-banyak. Mereka tak perlu merasa malu untuk bertingkah semaunya karena orang-orang yang masuk ke tempat ini sudah membaca salam hangat tulisan di depan pintu masuk: Selamat datang di Bar “Rose”! Area bebas sopan-santun.
Para pemuda lebih menghabiskan tenaganya berjingkrak di bawah spootlight yang dipasang redup-mengkristal. Mereka nge-fly dengan pasangan masing-masing. Berputar di bawah alunan musik nan mengasyikkan. Sepasang kaki mencak-mencak, bokong berputar-putar, dan payudara berguncang-guncang.
Para orang tua dengan setelan jas dasi dan perut buncit memilih duduk pada sederetan kursi merah berbentuk ‘L’. Menunggu perempuan dengan rok setinggi lutut, kaus ketat, atau hanya sebuah lingerie di sekujur tubuh bersenyum manja dan mendekat untuk memulai sebuah percakapan cabul. Bisa dipastikan lakon apa yang dilakukan perempuan itu: menyulut rokok, menyodorkan minuman dan bergelayut manja dengan sebuah belaian liar.
Satu hal yang sama dari keduanya, betapa dari pasangan mata itu terjulur lidah-lidah berahi dalam kunyahan nafsu yang tergesa.
Sebotol bir yang ketiga sudah tandas aku teguk. Aku malas sekadar berjingkrak-jingkrak. Barangkali kewarasanku masih ada atau karena sudah tak ada yang baru lagi di sini. Setiap malam aku tak pernah absen sehingga penjaganya tak perlu berbasa-basi menyodorkan segelas bir untukku.
Di usia yang masih tergolong muda, aku sudah mulai memasuki periode sinis pada dunia. Aku hanya ingin hidup di dunia angan-angan. Aku muak oleh kepalsuan-kepalsuan yang dibangun di sekelilingku. Hidup sekadar bermodal harapan tidak cukup karena yang terpenting adalah kenyataan dan kenyataan telah membuatku kecewa.
“Hai, namaku Angel Agustin. Bos menyuruhku menggodamu.”
Sebuah sentuhan lembut rebah di punggungku. Gaya mukadimah untuk sebuah percakapan cabul kaku sekali.
Namanya menghadirkan gempa di batin. Getaran ini bukan tanda asmara, sekadar memaknai arti sebuah nama. Ya, perempuan itu sedikit memiliki kemiripan nama dengan perempuan yang kerap kubayangkan dalam sebotol bir di tanganku.
Entah dari mana perempuan itu, tiba-tiba berdiri di belakangku. Rambutnya lurus dengan tubuh agak kurus. Wajahnya cantik tetapi muram. Tubuhnya molek tetapi bahasa tubuhnya jelek. Penampilannya lebih minor dari karyawan lain. Biasanya, hanya orang baru yang memiliki tampilan semacam itu. Kendati hanya bermodal kelenturan lidah, pekerjaan seperti itu sangat membutuhkan tenaga, pikiran, dan hati.
“Tak perlukah kau berbasa-basi sebentar?”
“Aku orang baru. Tak tahu basa-basi dan tak senang basa-basi.”
“Begitukah? Hem, kapan kau akan mendapatkan banyak uang bila sikapmu begitu.”
“Aku tak menjual diri.”
“Kau tak suka pekerjaanmu?”
“Aku menikmatinya. Hanya butuh adaptasi.”
“Oh, ya. Benarkah?”
Aku menarik lengannya dari keramaian menuju gudang dekat wastafel. Seorang lelaki tambun berdiri di sebuah pintu mengacungkan jempol. Aku tahu bahwa jempol itu merupakan hadiah atas ‘kelelakianku’.
“Lepaskan!” teriaknya. Ada kepanikan pada gigitan di bibirnya.
“Ini bukan gayamu. Ceritakan apa yang terjadi?”
“Apa pedulimu? Bukankah orang-orang di kota ini sama busuknya?”
“Ayolah, aku tak seburuk itu,” pintaku.
Seketika ia mengatupkan kedua tangan pada mukanya. Ia mengadu menghambakan uang untuk mencukupi ibu dan kedua adiknya. Ia diajak seorang teman lelakinya yang menyelesaikan kuliah semester terakhir di kota ini. Namun, temannya mendamparkannya ke bar ini. Ia menolak, tapi ancaman menemukan kematian jika menyia-nyiakan satu peluang kerja yang sudah nyata-nyata diterima tak bisa ditolak.
“Tinggal pilih, dapat uang atau jadi gelandangan,” jelasnya menyadurkan pernyataan temannya. Ceruk di matanya mengalir deras. Kejujuran airmata itu memaksa aku ingin memberikan tempat yang layak, bukan di tempat ini.
“Aku paling tak tega melihat perempuan menangis. Berhentilah. Ini kartu namaku. Kalau mau, besok aku patiskan kau bekerja di tempatku. Bagaimana?” Ia tak menjawab. Wajahnya menyorongkan kebingungan. Mungkin juga perasaan ragu. “Percaya atau tidak, itu urusanmu.”
Aku menghabiskan waktu semalaman bersamanya. Kami menjadi orang terakhir yang meninggalkan bar yang hanya meninggalkan dua aroma kesunyian: bir dan parfum.
Gerimis di Pintu Butik
AC di kamar mendadak seperti mati begitu kudapati jarum jam menunjukkan pukul sepuluh. Padahal, jam kecil berbentuk ketupat itu sudah aku setel berisik agar membangunkanku pada jam tujuh. Langkahku ringan mendekati gorden jendela dan menyibak kain tipis itu cukup kasar. Kamar yang kurang pencahayaan membuat cahaya melesat kilat. Sementara di luar, gerimis tak tentu arah menghindari tatapanku.
Bulir-bulir gerimis tempias di lantai. Mengingatkan aku pada pertemuan semalam. Bodohnya, aku hanya memberikan kartu nama dan menikmati cerita-ceritanya tanpa bertanya di mana ia tinggal. Apakah pertemuan akan tercipta lagi? Bila ia tertarik bekerja untuku, pasti datang. Tetapi bagaimana kalau tak tertarik?
Ponsel berdering. Di layar tertulis calling…MS Angel. MS singkatan dari My Soulmate. Napasku tiba-tiba menjadi berat. Bagaimana mungkin aku melupakannya. Mengubah namanya saja di layar ponsel tak sempat.
“Ya.”
“Mas, baru bangun?”
“Aku kecapaian.”
“Capai? Bukankah akhir-akhir ini tak pernah kudapati bekerja sampai lembur? Kau juga sudah memangkas jadwal keluar kita.”
“Sudahlah. Tak usah dibahas. Ada apa?”
“Ada yang mencarimu.”
“Siapa?”
“Datang sendiri ke Butik.”
“Perempuan?”
“Sudah aku duga…” Seketika percakapannya putus. Lagi-lagi desahku berat.
Angel adalah kasir di butikku. Tetapi hubunganku dengannya sudah lebih dari kasir—sebagaimana singkatan MS pada layar ponsel. Perempuan berhidung mungil itu terlahir sebagai perempuan berzodiak Leo. Identitas kelahirannya bisa ditemui pada namanya yang berakhiran Agustina. Ya, Angel Agustina.
Aku menyukai tipe perempuan yang aktif dan sedikit cerewet. Sebuah ramalan zodiak menyebutkan jika perempuan yang memiliki tipikal sifat semacam itu adalah putri Leo. Satu hal yang perlu diwaspadai dari putri Leo bahwa di balik senyum dan aksinya menyimpan misteri yang cukup sulit diterka dalam persoalan keuangan dan asmara. Ini sudah kurasa. Kebebasan materi yang aku longgarkan telah membentuk Angel menjadi perempuan modis. Angel menghabiskan uangku—hasil jual butik—untuk bersenang-senang. Tidak bermaksud menuduh, tetapi neraca pendapatan pada beberapa bulan terakhir ada sedikit kejanggalan.
Asmara? Banyak sumber yang mengatakan bahwa Angel selingkuh! Entah kenapa, kendati banyak temanku yang melapor tengah mendapatinya bersama lelaki lain, ada ketidakpercayaan yang benar-benar menguras tenaga keraguan. Barangkali karena aku sudah berancang-ancang merencanakan pernikahan, sehingga ini bisa kusebut sebagai badai pernikahan.
Ataukah barangkali karena aku terlahir sebagai putra Cancer?
Seorang perempuan keluar dari butik. Ia berjalan beriringan dengan seorang lelaki, bersilang lengan. Begitu melihat adegan itu, hatiku histeris: Angel! Haruskah aku memutuskan sekarang karena telah bulat melihat dengan mata sendiri? Kubiarkan ia pergi dengan membiarkan emosi membusuk di dalam tubuhku.
Tulisan closed di depan pintu mengernyitkan dahiku. Seharusnya Angel bekerja. Owh, ada Angel di dalam.
Sial! Dikunci. Angel keterlaluan.
Gerimis Air Mata
Angel Agustin hanyalah nama samaran di bar itu. Nama aslinya Agustiningsih, semalam ia cerita. Titin sudah bisa bersikap terbuka padaku.
Aku harus menyelesaikan dua persoalan: Titin dan Angel. Sudah aku terka Angel akan menuntut kepatenan posisinya sebagai kasir sebagaimana yang kujanjikan—bahkan pernah aku singgung soal butik yang bisa jadi miliknya. Urusan Angel belakangan. Urusan Titin kusebut jauh lebih penting karena menyangkut keselamatannya. Tak mudah berhenti bekerja di bar itu, apalagi masih seumuran jagung.
Kusuruh kasir baru itu membuat surat pengunduran diri untuk kubantu mengurusinya. Aku kenal betul watak si Jarot, pemilik bar. Surat pengunduran diri cuma kamuflase. Aku urus sendiri karena si Jarot pasti akan memalak yang bersangkutan dengan beberapa lembar uang. Dengan begitu, korbannya adalah aku. Si Jarot meminta uang 15 juta sebagai mahar Titin. Hanya 10 juta yang bisa kubayar dengan jaminan 5 juta lagi sebulan kemudian. Titin tak perlu tahu soal ini.
Sekarang persoalan Angel.
“Begitu caramu memperlakukanku?” Bentak Angel mengarahkan telunjuk kiri ke arah Titin. Suasana ruang butik tegang. Titin, perempuan kemayu itu menggigit bibir.
“Balasan pada orang yang doyan menyimpan bangkai,” jawabku dingin.
“Apa karena perempuan itu?”
“Kebohonganmu! Titin tak turut campur.”
“Kau, lelaki anjing!”
“Kalau aku anjing, kamu? Serigala? Kadal? Simpanse?”
Tak ada lagi yang diucapkan Angel. Ia pergi meninggalkan setetes air mata. Aku tidak tahan melihat perempuan menangis. Tapi aku tekan perasaan itu dalam-dalam agar tak mengalir kepada orang yang salah. Mata Titin juga berembun dan menguap karena tersudut. Aku sadar, airmata siapa yang patut aku bela.
Senyum Titin setiap kali menyambutku saat membuka pintu butik cukup ampuh meringankan beban pikiran; pada Angel dan pada Si Jarot. Kelopak matanya berkaca-kaca ketika aku sodorkan gaji pertamanya bulan ini. Ungkapan haru terus keluar dari celah sempit bibirnya hingga diriku merasa menjadi malaikat.
Titin minta izin tiga hari pulang kampung. Rasa kangen sudah tak tertahankan. Selama tanpa Titin, aku tak menunjuk karyawan lain sementara waktu menggantikannya. Aku jalankan sendiri posisinya. Hidupku serasa mapan lagi. Disiplin waktu dan pekerjaan berangsur kembali. Sampai hari ke dua, seorang karyawan—sambil mengulang maaf—memberi secarik kertas. Isinya sangat ringkas: Maaf, Aku tak bisa kembali bekerja. Titin.
Aku pikir tulisan itu hanya lelucon kecil. Tiga hari, Titin tak kembali. Lima hari. Seminggu. Ponselnya tak aktif. Sepuluh hari kususul. Aku telusuri semua alamat yang pernah Titin sebutkan, tapi keberadaannya tak terlacak. Perasaan patah dan dibohongi dua kali menghinggap.
***
Gerimispun Berhenti
Lampu spootlight seperti kilat menyambar-nyambar. Musik berdentam keras menghantam dada. Sepatu-sepatu hak tinggi berjingkrak-jingkrak di kilap lantai. Aroma bir dan parfum membungkus percakapan cabul. Entah, berapa botol yang telah aku teguk, seperti seekor unta yang kehausan.
Seorang perempuan mendekat. Membawa segelas bir.
“Hai, butuh teman?”
“Tidak! Pergi! Jangan ganggu.”
“Ayolah. Jangan kasar pada perempuan. Namaku Yani. Yuanita Agustin. Kamu?” Tangannya disodorkan tepat di depan muka. Aku mengernyitkan alis, ia mengangkat alis. Sebuah isyarat segera merespon pertanyaannya.
“Juli. Juliansyah.”
Semoga tak ada sebuah kebetulan lagi yang terjadi. []
Jember, 24 Juni 2018

Fandrik Ahmad, jurnalis dan cerpenis yang telah mempublikasikan karya di beberapa media, seperti Suara Merdeka, Suara Pembaruan, Jurnal Nasional, Nova, Jawa Pos, Kompas, dll. Menerbitkan Novel Asmara Anak Asrama (Surya Pustaka, 2019). Kini tinggal di Jember, Jawa Timur.