Akhmad Idris

Dalam budaya patriarki, laki-laki selalu dianggap superior dan hal sebaliknya bagi perempuan. Polarisasi seperti ini lah yang menciptakan opini publik seperti (dalam masyarakat Jawa) perempuan dalam hidup hanya perlu menguasai keterampilan 3M, yakni macak (berhias diri); masak (urusan dapur); dan manak (melahirkan seorang bayi). Sementara tugas-tugas ‘berat’ yang tersisa—yang lebih menguras pikiran dan tenaga—lebih cocok disematkan kepada seorang laki-laki. Tak pelak satu di antara tokoh feminis dunia dari Inggris, Adeline Virginia Wolf (1929) dalam bukunya A Room of One’s Own menyebutkan bahwa pada masa itu perempuan masih menjadi korban dari laki-laki, baik secara sosial maupun fisik. ‘Cerita lama’ seperti ini pun berhasil dimanfaatkan dengan baik oleh para sastrawan sebagai ide kreatif. Sebagai bentuk mimesis (tiruan dari realita karena sastra manifestasi dari kondisi masyarakat), Aristoteles (1961) dalam karyanya Poetics menyebutkan bahwa karya sastra dibuat oleh penciptanya dengan cara mengimitasi objek yang bisa berbentuk peristiwa atau tindakan-tindakan manusia dalam dunia nyata.

Pada akhirnya, semua karya-karya sastra dengan ide-ide feminisme tersebut ingin menunjukkan kuasa seorang pria atas wanita dan kekuasaan itu harus dilawan atas dasar keadilan atau yang biasa disebut dengan istilah ‘kesetaraan’ dalam feminisme. Pria selalu kuat, sedangkan wanita selalu ‘terjerat’. Betulkah seperti itu? Seorang filsuf Prancis kelahiran Aljazair, Jacques Derrida (1997) dalam bukunya Of Grammatology menawarkan sebuah metode baru yang membantah kebenaran tunggal, yakni dekonstruksi. Bagi Derrida, tidak ada makna yang tetap/absolut/tunggal dalam teks sastra, sebab makna selalu berubah sesuai dengan yang diciptakan oleh pembaca sendiri lewat melacak trace (jejak) sebagai penyebab kemunculan sebuah makna. Pernahkah terpikir bahwa sebenarnya laki-laki yang telanjur bergelar maskulin dan perempuan itu feminin, sebenarnya juga merasa terkekang dengan maskulinitas itu sendiri, sehingga membuat laki-laki merasa perempuan lebih bebas (berkuasa) dalam mengekspresikan kesedihan dengan feminitasnya? Jika memang ‘fakta lain’ yang jarang terungkap di permukaan adalah seperti itu, maka masih layakkah laki-laki dipandang superior?

Di dalam karya sastra bercorak feminis sendiri, oposisi biner antara superioritas pria dan inferioritas wanita ditunjukkan dalam beberapa hal. Satu di antaranya adalah laki-laki dianggap bebas karena bisa melakukan pekerjaan apapun di luar rumah, sementara perempuan harus tulus dan ikhlas mengabdi di dalam rumah dengan pola 3M (Macak, Masak, dan Manak). Oposisi biner ini semakin memperjelas perihal kuasa pria atas wanita. Satu di antara karya sastra dari penulis Indonesia yang menampilkan oposisi biner di atas dalam karyanya adalah Perempuan itu Pernah Cantik (cerpen karya Mashdar Zainal, diterbitkan oleh Jawa Pos pada 28 Juli 2019).

Anggapan laki-laki yang bebas beraktivitas di luar rumah, sedangkan perempuan yang terkungkung di dalam rumah  terdapat dalam cerpen Perempuan itu Pernah Cantik. Tokoh utama ‘Ia’ dalam cerpen Perempuan itu Pernah Cantik diceritakan sebagai seorang istri yang sebelum menikah memiliki paras cantik dengan bukti pernah menjadi juara kontes kecantikan tingkat kota dan sering diundang jamuan makan di hotel bintang lima, namun semuanya berubah setelah ‘Ia’ menikah dengan seorang lelaki yang menjadi suaminya. ‘Ia’ merasa terpenjara serta bosan dengan kesibukannya sebagai ibu rumah tangga yang harus memasak, mencuci, dan merawat anak. Seperti yang terlihat pada kutipan berikut,

“Kalau sedang jengkel, ia akan menyeret bak cuci berisi pakaian basah itu dari kamar mandi sampai ke bawah pohon mangga. Tak peduli bak plastik itu akan retak atau terbelah dua….. Kejengkelan dan rasa lelah yang sangat membuatnya jadi begitu”

Agaknya Mashdar Zainal (penulis) ingin menunjukkan ketakberdayaan seorang perempuan ketika sedang dihadapkan dengan peran barunya sebagai seorang pendamping laki-laki yang harus melaksanakan semua kewajibannya, tak peduli suka maupun murka. Diksi ‘kejengkelan’, ‘lelah’, dan ‘sangat’ sudah cukup menunjukkan rasa tertindas seorang perempuan di dalam rumah.

Selaras dengan tujuan awal, bahwa tulisan ini bertujuan untuk menolak kebenaran tunggal tentang superioritas pria dalam kuasanya atas wanita dengan menggunakan metode dekonstruksi ala Jacques Derrida. Jika pada oposisi biner 1 telah disebutkan bahwa laki-laki dianggap bebas dan berkuasa karena dapat beraktivitas di luar rumah (berbeda dengan perempuan yang terpenjara di dalam rumah dengan tugas-tugas rumah tangga) lewat tokoh Suami dalam cerpen Perempuan itu Pernah Cantik, maka kali ini akan ditunjukkan sekaligus dibuktikan bahwa tokoh Suami dalam cerpen tersebut justru merasa tertekan dengan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga yang harus memenuhi segala kebutuhan keluarga. Berikut bukti kutipan atas ‘rasa tertekan’ itu,

“Sesekali ia sangat ingin duduk di dekat lelaki itu sambil bercerita, betapa hari-harinya teramat berat dan melelahkan dan ia sangat butuh sandaran untuk beristirahat. Namun, semua itu tak pernah ia lakukan. Sebab, setiap pulang kerja, mata lelah yang sama ia temukan di mata lelaki itu. Di mata suaminya.”

Trace ‘rasa tertekan’ tokoh Suami menjadi sangat jelas lewat kalimat yang diungkapkan oleh istrinya, yakni ‘mata lelah suami’ ternyata sama dengan ‘mata lelah dirinya sendiri’. Jika tokoh ‘Ia’ (istri) merasa jengkel dan bosan dengan kesibukannya di dalam rumah, maka perasaan itu pun juga dialami oleh suaminya yang harus bekerja tak kenal lelah demi menjaga nyala kompor di dapur. Bahasa sederhananya: jika perempuan merasa dikuasai oleh superioritas laki-laki, maka bagaimana jika laki-laki pun tak pernah merasa dirinya berkuasa? Bagaimana jika laki-laki juga sejatinya merasa dirinya tertindas oleh stigma superioritas itu sendiri? Masihkah laki-laki disebut selalu superior? Hal yang ada di dalam pikiran pembaca saat inilah jawabannya.


Akhmad Idris, lahir 1 Februari 1994. Lulusan Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Saat ini menjadi seorang dosen bahasa Indonesia di Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa dan Sastra Satya Widya Surabaya.