MENULIS BIOGRAFI
Seperti langit yang selalu berganti warna, kini aku gubah sebuah irama dari sobekan kalender. Aku ingin berhenti peduli pada pagi yang mengetuk pintu kamar. Aku ingin suara ini tidak menyentuh telinga lain.
Sebab aku dibenci oleh kehidupan itu sendiri. Sejak aku berpisah dengan biru laut, sejak samar mercusuar menjelma gedung kantor. Sebuah bentuk paripurna dari perasaan putus asa dan tidak ingin menyakiti.
Kau pernah menemukanku sembunyi di lemari kata ini dan kata itu. Kau sudah berkali-kali mengingatnya untuk sekali lagi kau lupakan. Entah sejak kapan kau belajar melupakan aku yang bahkan lebih akrab dari kemacetan di tiap jalan pulangmu.
Di luar sana, aku adalah orang asing bagimu dan bagi dunia. Atau aku dengan bahasa tidak terdaftar yang selalu menyanyikan sunyi. Tanpa rumah dan sendiri di kampung halaman.
Sobekan kalender menyakiti aku dan kamu. Henti sebentar. Aku telah menghapus kamu. Tidak ada yang lebih pandai mengelak dibandingkan aku.
Aku sungguh benci ketika pagi kembali mengetuk. Aku terpaksa bunuh diri dalam irama sobekan itu, dan lahir sekali lagi besok.
Aku lahir menjadi suara alarm gawaimu yang membisikkan kamu cantik. Meski telah menghabiskan malammu pada lengan orang lain.
**
Aku pernah tinggal di harimu sebelum kau sobek kalender itu. Aku pernah tinggal di buku harianmu sebelum kau lempar ke gudang.
Dan aku memilih hidup di kota yang sama, agar aku bisa merindukanmu.
Dan kamu adalah langit yang penuh doa.
Dan aku adalah laut yang penuh limbah.
Saya hampir saja melupakan bentuk asli dari keramahan manusia. Sejujurnya tak seorang pernah merasakan kesendirian kecuali tahanan. Kamu dan semua terjeruji dengan tragis pada luasnya lautan pikiran yang selalu saja berpikir serba aku. Sedang saya dicabut hingga ke akar di mana saya sendiri dipaksa tidak menyebut nama pemberian Ayah. Akan tetapi luasnya dunia saya raih meski hidup bukan milik saya lagi.
Sejak kecil laut dan langit mengajarkan arti betapa telanjang dan memalukannya kebahagiaan itu. Betapa memalukannya saya yang merias hari-hari berkisar di antara mereka. Saya pernah menjadi pelayan Tuhan baik berderma atau mengirim hambanya agar lekas bertemu. Saya tidak peduli jika saya melupakan nama bunga yang mekar di tiap musim atau nama mata uang yang saya buang ke jamban. Bagi saya, untuk hidup adalah menjilat kematian juga untuk bahagia berarti bersetubuh dengan kedukaan.
**
Hari itu saya berpikir untuk belajar melaut karena di tiap manusia ada nelayan kecil bahagia yang selalu menari. Di tiap oksigen yang dipinjam ada laut yang harus dijinakkan. Kadang ombak menggedor lambung kapalmu atau nelayan kecilmu. Jangan goyah dan tetaplah berlayar melewati lautan dosa.
Kejujuran saya adalah palung mariana yang gelap dan tidak dipasangi lampu. Keras karena dihiasi karang namun menggebu birahi bagi sepasang ikan halibut. Sedang kekosongan yang saya pelajari hanya bisa diisi dengan menunggu dan berharap.
Bolehkah saya membaca kamu sekali lagi? Ataukah saya perlu memanggil aku agar barang yang tertinggal lekas diangkut? Kini saya bertanya, bila ikan di laut hanya bisa memilih untuk memburu dan diburu. Sedang sebagai manusia bisakah kita berhenti memilih antara cinta sejarah atau lampu masa depan dan memulai hidup?
**
Aku sudah mengajarkanmu anakku, untuk benar-benar hidup hanya berarti menunggu dan berharap.

MH Rasid merupakan nama pena dari Muhammad Husni. Mahasiswa Ilmu Sejarah UI. Anggota Kolektif Literasi Makara (Kolim!). Menulis sajak dan esai di waktu senggang. Dapat dihubungi melalui surel: husni.ar.id@gmail.com