Cerpen Kiki Sulistyo

Saya mencium bau laut ketika baru saja masuk ke kamarnya. Dinding kamar dicat biru tanpa hiasan apa-apa. Tidak pula ada benda satu pun di ruangan itu. Kamar kosong sepenuhnya. Dia berdiri membelakangi dinding, punggungnya menempel persis di bawah daun jendela. Lampu yang terang benderang menumpahkan sinarnya, hingga saya merasa sedang berada di sebuah galeri dan dia adalah benda seni yang sedang dipamerkan. Tapi bau laut ini, dari mana datangnya?

Saya bertemu dengannya tadi sore, beberapa jam lalu. Sebenarnya saya tidak bertemu dengannya, melainkan menemukannya. Saya baru saja pulang menghadiri pembukaan pameran lukisan seorang kawan. Karena udara sejuk sebab sebelumnya hujan telah mencuci kota, saya putuskan untuk berjalan kaki. Di trotoar depan gereja saya lihat dia duduk berselonjor kaki. Saya yang menyusuri trotoar harus melewatinya sebab tak mungkin berjalan di badan jalan saat ramai kendaraan berlalu lalang. Saat itu memang saat orang pulang kerja, membawa beban hidup yang belum akan hilang meski malam akan menjauhkan mereka dari moncong majikan.

Dalam jarak yang makin dekat saya mulai menatapnya lebih tajam, punggungnya dibungkukkan dan matanya terpejam. “Permisi,” kata saya. Dia diam saja. Saya ulang perkataan, dia tetap diam. Dengan ragu-ragu saya coba sentuh bahunya sambil melihat sekeliling kalau-kalau sebenarnya dia tidak sendirian. Tapi tak ada siapa-siapa di sekitar, orang-orang yang berkendara bahkan sama sekali tak berminat melirik kami. Dia masih juga diam meskipun sentuhan telah berubah jadi tepukan, dan tepukan berubah jadi guncangan. Tentu mulanya pelan, lama-lama kian kencang. Dari satu tangan yang tak membuat perubahan, ke dua tangan yang juga tak mengubah apa-apa. Barulah saya mengerti, orang di depan saya ini sedang tidur. Tidur? Mungkin pingsan. Pingsan? Mungkin mati. Wah, celaka kalau ini orang mati.

Baru saja saya berpikir begitu, tiba-tiba dia tergagap, memiringkan tubuhnya ke kiri ke kanan seperti orang yang memang baru tersadar. Matanya nyalang melihat sekitar. “Kenapa kau ada di sini?” tanyanya. Saya? Kenapa dia bertanya tentang saya padahal tak sedikitpun saya mengenalnya. “Sekarang antar aku pulang!” serunya. Dia mengenakan gaun hijau animasi. Di rambutnya yang kemerahan ada jepitan berbentuk ular. Bibirnya putih seperti garam. Saat itu petang sudah turun, lampu-lampu jalan mulai dinyalakan. Bintang-bintang bermunculan bagai ketombe. Gerimis kembali turun, jarum-jarum air yang halus itu tertabur dengan ringan.

Saya menurut saja dan tak berkata-kata ketika dia menyeret saya setengah berlari di trotoar. Pada satu titik dia menyetop taksi. Kami naik, dia membanting pintu dan berseru ke sopir, “ke rumah!” Sopir taksi itu sama sekali tidak bertanya di mana rumah yang dimaksud, seakan-akan dia sudah tahu. Saya perhatikan dari belakang sopir taksi itu mirip sekali dengan kawan saya yang lukisan-lukisannya sedang dipamerkan. “Bro?” tanya saya tak sengaja. Sopir menoleh, “Hei, apa kabar, bung?” Orang di samping saya menyambar, “Jangan berbincang dengan penumpang. Jalan saja.” Sopir diam, saya juga diam. Kami melaju dalam diam. Sementara di luar hari berangsur-angsur gelap seakan taksi ini adalah mesin yang menarik tirai untuk menghalangi cahaya.

Sampai di depan sebuah rumah kami turun, saya mau menyapa lagi sopir taksi tadi untuk memastikan bahwa dia adalah kawan saya. Tapi orang bergaun hijau sudah menyeret saya dan taksi segera meluncur meninggalkan tempat. Saya bahkan tak melihat ada pembayaran. Kami masuk rumah dalam keadaan sedikit basah, hujan menderas ketika dia baru membuka gerbang. Tak ada apa-apa dalam rumahnya, baik di teras atau ruang tengah. Ketika dia mengajak saya masuk ke ruangan yang sepertinya kamar tidur, saya mulai mencium bau laut.

Bau laut selalu memabukkan, mungkin karena masa remaja saya habiskan di tepi laut, mabuk bersama kawan-kawan. Bau laut jadi seperti badai alkohol. Di dalam kamar itu sebentar kemudian kepala saya sudah terasa berputar-putar. Saya lihat orang itu membuka gaunnya sampai telanjang. Saya tidak bisa memastikan dia laki-laki atau perempuan. Masih bersandar di dinding dibentangkannya tangan dan kakinya seperti sketsa dalam pelajaran anatomi. Jendela di atas kepalanya tiba-tiba terbuka. Dari sana saya lihat sopir taksi melongokkan kepala.

“Aku sangat menghargai kesediaanmu untuk menemaninya. Tapi aku harap kau bisa menahan diri.” Saya tidak tahu apa yang dimaksudkannya. Dia masih memakai seragam taksi, seragam biru laut.

“Saya tidak paham maksudmu,” ujar saya.

“Kau terlalu mabuk. Kau telah tergoda.”

“Saya tidak mabuk dan tidak tergoda. Lagipula kenapa kau berbicara lewat jendela?”

Sosok di bawah jendela menggerakkan jari-jarinya, memanggil saya untuk mendekat. Saya bergerak menghampirinya, bau laut semakin kuat. Di luar hujan terhunjam lebih deras, sopir taksi yang masih melongok lewat jendela basah kuyup. Sosok itu memeluk saya kuat-kuat, sepasang tangannya seakan membelit, saya nyaris tak bisa bernapas. Saya cemas, sosok itu terasa seperti hendak menelan tubuh saya. Benar saja, mulutnya menganga, kian lama kian lebar,  dan dengan satu hentakan melahap kepala saya. Saya tak bisa bergerak, seluruh tubuh saya terisap masuk ke dalam mulutnya. Samar-samar saya dengar sopir taksi berseru, “Kau telah berbuat dosa, tempat untukmu tiada lain adalah dunia!”

Pelan-pelan saya merasa seperti kabut yang terus membesar menjadi gumpalan raksasa, berputar pada sebuah poros. Putaran itu lama-lama menyebabkan bagian-bagian kecil dari saya terlempar ke luar dan berkumpul membentuk cakram sendiri. Cakram itu, bagian-bagian kecil dari diri saya, sekonyong-konyong meledak membentuk galaksi dan nebula-nebula. Selama kurang lebih empat koma lima milyar tahun, nebula-nebula itu membeku dan membentuk galaksi tersendiri, galaksi bima sakti. Sementara sisa-sisa diri saya dari peristiwa ledakan itu mengalami kondensasi hingga membentuk gumpalan yang mendingin dan memadat menjadi planet-planet. Ada satu sel saya yang tersisa dari peristiwa ledakan besar itu. Sel itu jatuh di salah satu planet, menyentuh air, dan bergerak-gerak.

Maka berdirilah saya sekarang, di sini, menatap lukisan sepasang manusia telanjang tergantung di dinding galeri. Di sekitar saya ramai sekali orang melihat-lihat. Baru saja pameran ini dibuka oleh menteri kebudayaan, Seno Gumira Ajidarma. Saya lihat Pak Menteri dikerubungi orang, sebagian pastilah ajudan-ajudannya, sebagian lagi para wartawan. Di samping pak menteri saya lihat kawan saya, si pelukis yang sedang pameran. Sesekali saya lihat dia tertawa-tawa, suaranya keras sekali, sepintas saya lihat taringnya berkilat dan samar-samar seperti ada tanduk di kepalanya, tanduk yang tak kelihatan lantaran kepalanya ditutup topi tinggi.

Dari pintu galeri saya lihat seseorang berjalan tergesa. Dia mengenakan gaun hijau animasi. Di rambutnya yang kemerahan ada jepitan berbentuk ular. Bibirnya putih seperti garam. Jelas, dia sedang bergegas menuju saya.

“Hei, bagaimana penampilanku tadi?”

“Bagus,” jawab saya.

“Sekadar bagus?”

“Penampilanmu memukau, tubuhmu lentur seolah melawan gravitasi. Kalau Albert Einstein menonton pertunjukanmu, dia juga pasti terpukau seperti saya.”

“Ha ha ha, kamu akan menulis soal penampilanku kan?”

“Pasti. Tapi ada satu hal yang mau saya tanyakan.”

“Apa itu?”

Baru saja saya hendak bertanya, mendadak serombongan orang menghambur ke arahnya. Dia menyambut dengan riang, seperti bocah ingusan. Mereka berpeluk-pelukan, saling mencium, dan tertawa-tawa. Galeri semakin ramai, saya hendak bergerak menjauh dari rombongan itu, tapi karena galeri sudah penuh, saya memilih berjalan ke pintu keluar. Sayangnya terlalu banyak orang di ruangan ini hingga kami berhimpit-himpitan. Makin lama makin kuat himpitannya. Suara-suara di sekitar yang semula jelas kini sekadar berdengung. Hanya suara tertawa kawan saya yang tetap terdengar jelas. Suara tertawa itu seakan berasal dari pita rekaman, diputar berulang-ulang sebagaimana para marbut memutar rekaman pengajian. Tubuh saya seolah berada di tengah gelombang, terombang-ambing dibawa arus. Saya mulai mencium bau laut. Bau laut selalu memabukkan, mungkin karena masa remaja saya habiskan di tepi laut, mabuk bersama kawan-kawan. Bau laut jadi seperti badai alkohol.  Sebentar kemudian kepala saya terasa berputar-putar. Gelombang orang-orang mengempaskan saya ke pantai kesadaran dan menyeret saya kembali ke tengah ketidaksadaran.

Entah bagaimana arus itu kemudian membawa saya dekat sekali dengan Pak Menteri. Tubuh saya dan tubuhnya berdempetan, seperti kembar siam. Saya bisa mendengar dengan jelas ketika dia berbisik,

“Alina, ceritakanlah padaku tentang laut.”

Maka saya pun bercerita tentang laut.

Mataram, 1 November 2020


Kiki Sulistyo, lahir di Kota Ampenan, Lombok.Meraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 untuk kumpulan puisi Di Ampenan, Apalagi yang Kau Cari? (Basabasi, 2017) dan Buku Puisi Terbaik Tempo 2018 untuk Rawi Tanah Bakarti (Diva Press, 2018). Kumpulan puisinya yang terbaru berjudul Dinding Diwani (Diva Press, 2020).