Cerpen Moh. Rofqil Bazikh

Kalau memang bukan karena amarah, tidak mungkin Rahing mengobrak-abrik ruangan tamu. Wajahnya merah. Mulutnya tertutup rapat dan tidak berbicara barang sepatah. Ia hanya menggunakan tangannya untuk meraih apa-apa yang ada di depan. Kursi yang semula tidak bersalah kini sudah sungsang. Tidak ada yang bisa menghalanginya. Tidak ada.

Bayonet itu tetap di pinggang Rahing—sebuah senjata kesukaan yang ditemukan di dasar laut. Rahing percaya bahwa bayonet itu yang akan menghabisi semua nyawa musuh-musuhnya. Tidak peduli bagaimana kematian tiba, yang paling penting justru bagaimana nyawa musuhnya lenyap seketika. Sekali lagi, tidak ada yang berani menegur Rahing membawa bayonet ke mana-mana. Bahkan Acang, ayah Rahing, tidak pernah berkata apa-apa pada anaknya.

Diam goblok! Tolol! Barangkali itu yang akan keluar dari mulut Rahing semisal Acang berani menegur tingkah laku Rahing. Bisa jadi juga lebih parah; Acang akan menjemput kematiannya di ujung bayonet. Sementara Rahing dengan sangat tega akan menggorok leher ayahnya. Tetapi itu hanya perkiraan dan tidak pernah terjadi bahkan sampai cerita ini selesai.

Tidak pernah habis pikir, bagaimana Acang kehilangan akal. Kehabisan seluruh kekuatan hanya untuk menghadapi Rahing yang sebetulnya tidak seberapa. Ia tidak mempunyai otot kuat. Hanya bermodal bayonet yang selalu ditodongkan pada orang-orang di pasar, atau pada orang-orang yang berani menatap matanya dengan tajam. Sebagaimana manusia biasa, tidak ada yang berani dihadapkan pada bayonet.

“Kau jangan pernah ikut campur urusanku. Kau sudah tua. Urusi saja perahumu!”

Rahing seperti orang sawan. Ia melekatkan ujung bayonet ke leher ayahnya. Sementara Acang tidak berbicara apa-apa dan hanya membayangkan nyawa yang hampir lepas sia-sia. Rahing mengangkat mata bayonet dan menyelipkan ke pinggangnya lagi. Rahing hanya tersinggung ketika ditatap tajam oleh Acang. Padahal Acang sama sekali tidak bermaksud apa-apa—selain tatapan tulus seorang ayah pada anaknya. Seumpama tadi hendak membanting Rahing, tentu itu bukan perkara sulit. Sebagaimana yang kututurkan di awal, Rahing tidak berotot sama sekali.

Dan perihal bayonet, itu sebenarnya tumpul. Tetapi setumpul apa pun, sedikit banyak dapat menggorok leher dan kulit yang tipis. Sementara Acang kentara bahwa ia penakut. Ia tidak berani membanting Rahing barang sekali. Jika terus begitu, Rahing tidak akan pernah berhenti membuat ruang tamu berantakan. Seberantakan mungkin.

***

Semmang tidak pernah berhenti menyulut rokok. Habis sebatang tinggal hidupkan lagi. Punggungnya memang dibiarkan untuk merapat dengan sandaran kursi. Semmang sering seperti keletihan, meski ia bukan orang yang bekerja berat; hanya sekadar duduk. Atau bekerja, yang dalam mata orang pedalaman, tidak pernah menguras tenaga. Semmang menjadi kepala desa selama tiga periode. Tiga kali dalam pemilihan, Semmang tidak pernah kalah. Suara yang didapatkan tidak pernah sedikit. Selalu unggul lebih dari separuh. Semmang baik hati dan semua pasti akan mengakuinya. Tetapi, kekacauan datang dari Ji Dulla, ayah Semmang. Dan itulah yang membuat orang-orang mulai memandang miring pada jajaran kepala desa dan aparat.

Semmang terus menyulut rokok. Ini yang kesekian kalinya. Di depannya duduk Ji Dulla dengan parang di kedua pahanya. Warga menyangka Ji Dulla mengalami gangguan jiwa. Bagaimana mungkin, orang tua dari kepala desa yang dihormati, ke mana-mana membawa parang dengan tujuan tidak jelas. Ia juga tidak pernah memakai sandal sehingga selalu berjalan dengan kaki telanjang.

Semmang menatap wajah ayahnya. Tatapan sedarah itu bertemu. Tatapan yang sama-sama tajam, dan tidak pernah ada yang lebih tajam. Sammang terlihat mematikan rokoknya sementara Ji Dulla tetap mengeluarkan asap dari bibirnya yang sudah retak tak karuan. Parang itu juga masih nyaman di  atas paha Ji Dulla, meski beberapa menit kemudian ia pindahkan ke meja.

“Hanya karena ulahmu, orang-orang memandangku gak becus,” nada Semmang langsung meninggi.

“Kau masih muda, Cong.. Tahu apa masalah seperti itu?”

“Tetapi kau tidak boleh meremehkan aku sebagai kepala desa.”

“Aku ayahmu dan berhak atasmu.”

“Berhak atasku bukan berarti berhak untuk menindak semua kesalahan rakyatku.”

Ji Dulla diam, tetapi bibirnya masih terus aktif mengepulkan asap. Semmang benar-benar tidak tahan. Suaranya yang agak keras juga di luar batas akalnya. Ia benar-benar kecewa pada ayahnya saat menghajar salah-satu warga yang mengambil pasir pantai secara ilegal. Ji Dulla telah bertindak sebagai hakim di tempat. Semmang tidak tahu hal itu, sebelum akhirnya mendengar dari salah satu aparatnya.

Ini sama saja dengan melumuri wajahku dengan tahi, batin Semmang.  Namun, Ji Dulla tetap ngotot bahwa apa yang dilakukannya sudah benar, karena ia menghajar orang bersalah dengan mencuri pasir yang sudah jelas-jelas dilarang dalam aturan pemerintah desa. Tetapi yang disayangkan Semmang karena ia sendiri sebagai kepala desa tidak tahu akan hal ini.

“Daripada kau banyak menceramahi orang tua, mending kau persiapkan taktikmu untuk pemilihan mendatang. Rahing anaknya Acang akan menjajarimu di pemilihan mendatang. Dan itu sudah pasti. Di sana sudah mulai mempersiapkan semuanya. Karenya kau tak usah menceramahi orang tua.”

Semmang diam dan bibirnya tidak mengeluarkan asap sama sekali.

***

Jika Rahing sudah mengarahkan bayonet itu kepadaku, aku memilih diam. Aku selalu teringat pesanmu agar menjaga anakmu satu-satunya. Meski kutahu bahwa Rahing masih menuruni benih dari Ji Dulla, keparat itu. Ia sebenar-benarnya ayah dari Rahing yang keras kepala. Namun semasa hidupmu, kau tidak pernah membuka suara. Kau seperti orang dilanda ketakutan untuk membongkar semuanya—sehingga tidak ada satu pun yang tahu bahwa Rahing seayah dengan Semmang, si kepala desa tiga kali itu.

“Kita kasta bawah. Ji Dulla tidak mungkin mau mengakuinya.” begitu sering kau bilang.

Sementara pengkhianatan tetaplah pengkhianatan. Dan aku menerimamu hanya sekadar saudara, bukan sebagai suami. Meski dalam batok kepala Rahing, aku adalah ayahnya. Suami darimu. Tidakkah kau merasa, hari ini kampung kita mulai berantakan? Ji Dulla itu semakin berulah dengan menghajar orang-orang yang salah di matanya.

Dan setiap hari, Rahing yang juga keturunannya, selalu menodongkan bayonet. Mengancam membunuhku manakala aku berani menasihatinya barang sepatah kata. Dari kecil anak itu memang tidak pernah tahu aturan. Kau tentu masih ingat, bagaimana aku harus saling tonjok dengan tetangga hanya karena Rahing mencuri mangganya.

Meski dia bukan anakku, tetapi sebagai anakmu selalu kuhargai. Aku hanya kasihan, ketika kau dengan mata berkaca-kaca bercerita kepadaku. Dan tanpa berpikir panjang, aku menikahmu. Mengganti Ji Dulla yang sama sekali tidak bertanggung jawab itu. Rahing lahir sebagai anak yang nakalnya tidak pernah kita pikirnya sebelumnya. Tidak pernah ada di kepalaku dan kepalamu, bahwa kelak Rahing setiap hari akan mengancam membunuhku. Dengan bayonet yang ditemukannya di laut, sama sekali memang tidak pernah terpikirkan di batok kepala kita.

Kini sebagai sebuah perlawanan dari anakmu, Rahing. Ia akan mencalonkan diri sebagai kepala desa—duduk berjajar dengan Semmang. Mereka bersaudara, meski beda rahim. Tetapi, darah yang mengalir di tubuh keduanya sama; darah Ji Dulla. Keparat di desa kita itu sampai sekarang tidak pernah berubah. Meski pencalonan itu hanya kabar burung yang digaungkan untuk menakuti Ji Dulla dan Semmang.

Aku yang hanya setiap hari bekerja sebagi nelayan dan selalu mengemudikan perahu. Mengarungi laut yang luas, sekali-kali menantang maut yang ganas. Kau tidak pernah tahu, di sebuah subuh paling remang, aku tidak menemukan perahuku. Sungguh raib betul di ujung dermaga. Aku pulang dengan perasaan tidak terima, perahu yang selama ini menjadi tulang punggung sudah tidak dapat kutemukan bentuknya.

Siang-siang, Rahing marah sebagaimana biasa. Aku diam agar kemarahan itu tidak bertambah. Ia tahu bahwa perahuku hilang seperti ditelan bumi. Bagaimanapun, hidupku dan hidupnya masih bergantung pada perahu. Rahing mempunyai pikiran yang cerdas selain arogan dan terlihat ganas.

“Mereka melepas perahu kita,” tangan Rahing membanting gelas plastik di meja.

Kepalaku dipenuhi beragam kepedihan. Aku membayangkan Ji Dulla melepas perahu malam itu agar membuat hidupku dan Rahing semakin berat. Dengan begitu, tidak ada yang bisa menyaingi Semmang di pemilihan kepala desa. Meski, sekali lagi kukatakan kepadamu, itu hanya kabar burung yang dibesar-besarkan. Tetapi Ji Dulla tidak berpikir bahwa Rahing masih anaknya. Masih anakmu. Mereka sungguh melepas perahu, sebagaimana dahulu melepas benih ke dalam rahimmu.

Yogyakarta, 2020


Rofqil

Moh. Rofqil Bazikh merupakan mahasiswa Perbandingan Mazhab UIN Sunan Kalijaga dan bermukim di Garawiksa Institute Yogyakarta. Menulis puisi di pelbagai media cetak dan online.