Nurillah Achmad

Ranah surealis kerap dipilih cerpenis dalam menentukan pola kisah yang hendak disampaikan. “Sepotong Senja untuk Pacarku” milik Seno Gumira Ajidarma, misalnya. Menjelma sebagai cerita yang sangat menarik dalam kancah cerpen Indonesia modern. Tampaknya, Alif mencoba teknik yang sama melalui Kota Air dan Ingatan yang Tenggelam.

Sebagai cerita surealis, saya menangkap dua inti pembahasan di dalamnya, yakni Air dan Ingatan. Tokoh “Aku” yang direpresentasikan sebagai sosok amnesia, mengajak pembaca menyelami Kota Air yang letaknya di bawah sana. Alhasil, dunia yang tampak mustahil dalam sudut pandang manusia pada umumnya, dinarasikan sebagai realitas yang betul-betul tampak nyata, seperti dikutip berikut ini:

Di dalam air, kedua mataku bisa melihat dengan jelas. Sangat jelas. Seperti ada selaput bening yang melindungi bola mataku. Dan aku melongo, seakan-akan tak percaya dengan apa yang kulihat di bawah sana: sebuah kota yang hidup, sebuah kota yang menyala-nyala. Kucoba memutar kepalaku dan menoleh ke permukaan. Masih terlihat bayangan gedung-gedung itu, yang ternyata terhubung langsung dengan kota di bawah sana, sehingga tampak seperti sebuah pipa yang begitu panjang dan besar. Aku berenang di antara pipa-pipa ini. Semakin dalam aku menyelam, bagian-bagian dari kota itu pun semakin terlihat jelas. Sebuah kota yang tersusun rapi. Lengkap dengan jalanan yang meliuk-liuk, sebuah taman dengan bunga-bunga, dan orang-orang yang berenang dengan bebas. Oh, apakah mereka benar-benar hidup di dalam air? Aku semakin tidak mengerti. Tetapi aku seperti terbius dengan semua keindahan ini.

Rangkaian kisah yang bersifat absurd ini, mengingatkan saya pada Kota Atlantis yang disebut-sebut sebagai kota yang hilang dan tenggelam hanya dalam semalam. Berangkat dari dua buku karangan Plato, Timaeus dan Critias yang ditulis sekitar 360 Sebelum Masehi, peneliti menyebut Atlantis sebagai negara kuat nan maju, sehingga banyak arkeolog mencari keberadaan kota ini. Beberapa kota yang ditemukan terkubur di daerah utara Cadiz, Spanyol dipercayai sebagai letak Atlantis. Sayangnya, ahli geologi meragukan penemuan tersebut dan bersepakat bahwa Atlantis adalah sebuah misteri.

Lantas, apakah dengan kesimpulan ahli geologi yang menyisakan rahasia ini, dapat mengekalkan cerita Alif bahwasannya sastra bukan refleksi wajah kehidupan? Tentu saja tidak. Kota-kota yang tenggelam tak melulu soal Atlantis. Terdapat banyak kota yang karena faktor bencana alam, runtuh dan tenggelam selama ratusan dan ribuan tahun di dasar laut. Beberapa di antaranya telah diteliti dan diakui keberadaannya, salah satunya Heracleion yang terletak di lepas pantai Mesir di Laut Mediterania.

Berangkat dari penemuan ini, saya berkesimpulan bahwa imaji dan fakta terkadang memiliki perbedaan garis tipis. Adakala kisah dalam sebuah cerita berangkat dari realitas, dan ada pula kisah dalam cerita menjadi realitas. Tidak menutup kemungkinan, kota yang tenggelam milik Alif menjadi kenyataan pada masa depan. Mengingat, ulah manusia pada masa kini amat mengkhawatirkan. Ketamakan mengeruk alam selalu dipandang sebagai peluang ekonomi, bukan lagi sebagai tempat tinggal binatang yang memberi manfaat untuk kita. Tak heran bencana alam seperti banjir menyergap pemukiman, sebagaimana dipertegas Alif melalui akhir cerpen:

Sementara jauh di bawah sana, entah bagaimana caranya aku bisa melihat semuanya. Dunia telah dikuasai air. Tak ada yang tersisa selain hanya pohon-pohon yang mengambang berserakan.

Usai menelisik problema Kota Air, selanjutnya saya akan coba menelusuri Ingatan yang Tenggelam. Dalam kehidupan yang penuh beragam tafsir ini, dunia kejiwaan memiliki otonomitasnya sendiri. Ia memiliki ruang khusus yang tidak dapat diproduksi tingkah manusia pada kehidupan sehari-hari, kecuali ia bermasalah dengan jiwanya sendiri.

Lihatlah tokoh “Aku” yang mempertanyakan ingatannya tersebut:

Siapakah aku? Nama, nama, nama. Aku berusaha mengingat lagi, mencari nama-nama di antara huruf-huruf.  Nama. Siapakah namaku? Sial! Apakah aku hilang ingatan? Apakah sebelum sampai di tempat ini kepalaku membentur sesuatu sehingga aku lupa segalanya? Tapi mengapa tak ada sedikit pun memar di kepala atau di sekujur tubuhku? Tak ada rasa sakit. Aku merasa baik-baik saja. Dan kalaupun memang benar aku hilang ingatan, lantas kenapa aku masih bisa mengingat kata-kata dan bisa berkata-kata?

Sebagai cerita yang mengeksplorasi ruang batin dan jiwa, Alif memperlihatkan tingkah laku tokohnya sebagai bentuk kewajaran. Berperan sebagai sosok yang tak dapat mengingat apa-apa, maklum apabila tokoh “Aku” kelimpungan akan diri sendiri. Dalam dunia nyata pun, orang yang kehilangan ingatan, jamak bertanya-tanya akan siapa ia dan mengapa ia.

Dengan pemahaman mendasar terhadap segi kejiwaan, cerpen ini berhasil menyajikan sikap, tingkah laku dan suasana tokoh “Aku” menjadi menarik. Alif berhasil meletakkan porsi kejiwaan secara benar. Tentu apabila tidak hati-hati dan cenderung berlebihan, tidak menutup kemungkinan munculnya sikap atau perasaan antipati terhadap tokoh “Aku”.

Saya kira, cerpen ini layak diapresiasi atas segala usaha yang dilakukan Alif. Hanya saja, terdapat dua adegan yang terus-menerus membuat saya bertanya-tanya. Adegan pertama terletak pada peristiwa di mana tokoh “Aku” berada di halaman rumah dan membuka pintu, ternyata ia menemukan sosok pria berjubah hitam dengan tudung yang sama hitam yang akhirnya membawanya terbang─tanpa sempat bertemu dengan sang istri padahal ia sangat ingin menemui. Sedangkan adegan kedua, ketika tokoh “Aku” berada di atas dan melihat dunia tenggelam. Ia dapati seorang perempuan yang begitu dikenal, tapi ingatan tak mampu menjangkau.

Barangkali Alif sengaja tidak mempertemukan tokoh laki-laki dengan sang perempuan sebagai bumbu cerita. Barangkali pula, ia menaruh adegan ini sebagai ketidakmungkinan seseorang untuk bertemu dengan orang yang pernah dicinta. Atau jangan-jangan, saya terlampau buru-buru menyimpulkan hal semacam ini? Ah, entahlah. Mungkin Alif memiliki latar belakang sehingga adegan semacam ini lahir sebagai buah karya. Tentu, hanya Alif dan Tuhan yang sanggup menjawabnya.


Nurillah Achmad

Nurillah Achmad. Menyantri di TMI Putri Al-Amien Prenduan, Sumenep sekaligus alumni Fakultas Hukum Universitas Jember. Emerging Writer Ubud Writers & Readers Festival 2019. Menerbitkan kumpulan cerpen, Cara Bodoh Menertawakan Tuhan (Buku Inti, 2020). Saat ini tinggal di Jember, Jawa Timur,