Cerpen Mahwi Air Tawar

Setiap kali angin menggiring suara riak kecipak ombak jauh ke tepi, selalu, Riyantina terkenang pada senandung kidung, irama tembang serta musik pengiring tarian gandrung yang rancak.

Begitu selalu. Sedari pagi dini hari, sejak ia datangi pantai, serajut kenangan berpaut. Silih berganti. Datang tanpa dijelang. Pergi tanpa permisi. Ah, siapakah sesungguhnya bisa memilah pun memilih atas suasana alam, yang terlukis secara alami. terbentang sejauh mata memandang.

Sepotong senja merah kesumba. Persis, desisnya, pelan. Perahu-perahu berayun perlahan. Menyakitkan, keluhnya. Tapi, terkesiap ia, seketika. Ya, seketika: Hamparan ombak itu menjelma sebuah panggung, dan Riyantina, bersama penari gandrung lainnya sedang manggung. Berlenggak-lenggok hingga tanpa sadar penonton yang semula khidmat menikmati senandungnya, pun turut berjingkrat meniru gerakan tubuh serta jemari manisnya saat memelintirkan ujung selendang merah kesumba. Tak terkecuali jenjang lehernya, bergidik pelan ke kanan dan ke kiri membuat penonton semakin nakal saling senggol bahkan sengaja beradu pinggul. Persis, desisnya, mengulang, sembari memperhatikan gerakan perahu-perahu.

Sungguh, segala yang tertangkap pandang begitu nyata. Seakan tangan takdir menuntunnya meniti jalan-jalan tersembunyi: Tempat terindah yang pernah ia miliki. Tapi kepalang, tidak lama berselang, saat satu-satu mesin-mesin perahu dihidupkan, suara mesinnya santer terdengar. Menggemuruh, juga buncahan buih. Membucah, berhamburan. Dan sesaat berselang, suara lain serupa dentuman menyambar datang dari arah barat membuatnya kaget dan segera menutupi wajahnya dengan selendangnya. Tak lama setelah dentuman kembali suara lain menyusul. Tidak asing, tentu. Ya, suara lengking tangis histeris miris.

Ibu…, erang, Riyantina. Bersengguk senik. Jelmaan lain begitu saja serupa senja merah kesumba, berpendar selaksa percikan darah di antara gegumpal awan. Meringis ia dalam tangis. Merasai jerit kesakitan ibu beserta neneknya saat terpanggang api, saat tertubruk reruntuhan rumahnya yang dibakar sepasukan orang tidak dikenal beberapa tahun silam. 

***

“Malam itu, Tina tidak ada. Semua bingung mencarimu, termasuk Luki. Ketua rombongan kelompok tari gandrung.” tutur seseorang nadanya getir. “secara tidak sengaja, saya menemukanmu tergeletak di semak dalam keadaan telanjang.”

“Telanjang?”

“Ya, kamu telanjang.” 

“Rumahku dibakar?”

Ibu, bapak. Mustahil. Bukannya sebelum tidur malam itu, Ibu berpesan, agar aku serius dalam latihan sehubung akan diselenggarakannya pertunjukan dalam rangka perayaan ulang tahun Kota Blambangan?

“Berikan yang terbaik. Nenekmu sore tadi nitip selendang ke Luki, bila kamu butuh diminta.”

Ah, alangkah pendek pesan itu, Ibu, gumamnya dalam diam tak tertahan. Rinai-rinai gerimis merambati lesung pipinya yang tirus.

“Siapa membakar?”

“Mereka.”

“Siapa mereka?”

“Lima orang berpakaian hitam-hitam.”

Sebuah ingatan berkelebat. Ya, sore menjelang malam setiba dari latihan nari. Riyantina melihat bapaknya kusut. Duduk tak beranjak di beranda. Tidak biasa. Bertanya pun tidak. Ya, bagaimana tidak? Bukannya setiap sepulang dari latihan, Riyantina selalu ditanya, perihal latihan, kapan pentas? Tidak. Malam itu, bapaknya tampak termenung murung. Dan saat disapa, bapaknya bergeming. Satu hal yang membuatnya gelisah: sebagai mantan penari gandrung, bapak Riyantina sering berseloroh. Bahkan ketika keadaan genting pun. Tapi kenapa sore itu bapak murung?

“Bapak, Ibu, dan Nenek ke mana?” suaranya lemah.

“Mungkin Ibu dan Nenekmu ketika  itu tidur…” suara seorang itu terbata dan serak. “Mungkin…, Ibu dan Nenekmu tak sempat menyelamatkan diri saat rumahmu dibakar.” lanjutnya suaranya berat. “Dan…, Bapakmu sampai sekarang belum diketahui keberadaannya, entah di mana.” 

“Ibu dan Nenek mati. Bapak?” kunang-kunang berkelebat meniti lapik matanya yang sesekali mengatup. Sepasang kakinya bergetar. Jatuh terhuyung. Lama Riyantina tidak sadar, hingga siang menjelang, setelah seseorang mendatangkan seorang dukun, Riyantina pulih meski sesak di dadanya masih terasa.

***

Sejak kematian ibu dan neneknya. Dan bapaknya yang sampai sekarang tidak kunjung datang, Riyantina ditampung oleh Luki, ketua kelompok tari gandrung. Selama itu, Riyantina masih ikut menari meski terpaksa. Memang, sejak raibnya orang-orang terdekat serta rumahnya yang hancur dibakar. Ia tidak selihai dulu dalam menari. Setiap gerakannya terasa kaku, sekaku hatinya yang pilu. Kalau Riyantina dapat giliran menembang, suaranya sumbang dan amat berat, seberat rindunya pada ibu, bapak dan neneknya yang sekarat.

Tapi anehnya, meski suaranya terdengar sumbang, tembang yang Riyantina senandungkan justru membangkitkan semangat penonton untuk berbuat, bertindak atas peristiwa bertahun-tahun silam. Dan setiap gerakannya menjelma tangan-tangan gaib menuntun para penonton bertindak, membalas tindakan sekelompok pasukan hitam-hitam. Apalagi beberapa hari berselang setelah rumah Riyantina dibakar, sebuah perintah larangan keras bagi penari gandrung agar tidak menggunakan selendang merah kesumba, yang dihubung-hubungkan dengan warnah bendera sebuah partai, serta larangan menyanyikan lagu genjer-genjer. 

“Lagu ini tidak ada hubungannya dengan partai atau organisasi apapun.” Lantang suaranya menantang, “Kalian jangan takut.” 

“Dalam keadaan genting seperti ini?”

“Ya, kalian harus punya nyali. Pertahankan harga diri.”

“Sampean berani bertanggungjawab kalau utusan pamarentah menangkap?” Orang-orang bergeming saling pandang.

“Tidak. Jangan.” sahut seorang lainnya.

“Ya, benar, sebaiknya kita mengalah dari pada gandrung dimusnahkan.” sambung yang lain.

“Saya bertanggung jawab. Siapapun tak boleh meniadakan gandrung”

“Masalahnya bukan itu. Soal tanggung jawab kita semua bertanggung jawab. Tapi tarian gandrung terancam punah.” seseorang menyambung dari belakang. “sebaiknya kita mengalah.”

“Mengalah. Mengalah, sampai kapan?”

“Sampai keadaan aman.”

“Dasar penakut.” ketusnya bengis.

Hening. Bapak Riyantina yang dikenal sebagai ketua kelompok tari gandrung meninggalkan mereka. Sebagai ketua ia kecewa atas sikap anggotanya. Sementara dirinya pantang. Selanjutnya, ia tetap memintaskan gandrung dan lagu wajib genjer-genjer tetap disenandungkan.

Bahkan, setiap pertunjukan, bapak Riyantina, seusai mengelilingi area pertunjukan dengan menaburkan dupa serta air kembang, konon pagar rahasia. Ia mengawasi dari jauh, kalau-kalau ada mata-mata. Tak perlu ia bertindak secara fisik. Cukup unik. Hanya dengan santet, yang ia dapatkan secara turun-temurun, sesaji, air kembang dupa sudah cukup untuk menghalau tindakan mereka untuk merusak dan mengacaukan pertunjukan.

Begitulah dulu, sewaktu gandrung masih sering dimainkan oleh laki-laki yang berperan sebagaimana perempuan, dan setelah bapaknya tidak lagi aktif menari, ibu Riyantina menggantikannya, sementara bapak Riyantina berperan sebagai pelatih sekaligus merangkap sebagai penata rias bagi penari gandrung termasuk ibu Riyantina sendiri yang mengganti posisinya. Betapa, sebagai keluarga gandrung, bapak serta ibu Riyantina sangat di kagumi oleh masyarakat Using. 

Tapi percayalah, itu tidak sekarang. Ya, sejak peristiwa pembunuhan massal terhadap pemilik ilmu santet dan mantan ketua kelompok tari gandrung, orang-orang yang perlahan segan kepada bapak Riyantina justru membencinya. Katanya, sikap bapaknya bagai api dalam sekam, membuat malu hingga sekarang.

***

Dan tiga bulan setelah peristiwa pembakaran rumahnya, lagi-lagi Riyantina dianggap mencoreng nama baik kelompok gandrung yang diketuai Luki, sebab diketahui dirinya hamil. Memang tidak bisa dipungkiri, ketika suatu malam sebelum Riyantina naik pentas, ia mual-mual, sakit perut, hingga seseorang melaporkan kepada Luki sebagai ketua rombongan, dan dengan ritual yang diturun secara temurun, Luki segera bertindak memberikan segelas minuman, namun kepalang, nasib tidak bisa ditimang. Rasa mual Riyantina tidak kunjung pulih.

Semula, Luki beserta kawan-kawannya mengira, Riyantina kena santet agar tidak bisa konsentrasi saat menari. Bagaimana tidak. Sebagai penari ulung dan selalu dinanti-nantikan tak jarang kelompok-kelompok lain selalu bertabiat buruk.

Tapi kepalang. Riyantina tetap mual. Tiga gelas air pengampuh pemberian Luki sudah habis diminum, namun rasa mual Riyantina semakin menjadi hingga akhirnya ia dibawa ke dokter untuk diperiksa secara medis. Dan sejak itulah Riyantina diketahui kandungannya sudah berusia tiga bulan. Sejak itu pula, Luki, ketua kelompok tari gandrung mengusirnya sambil melempar selendang milik Riyantina yang pernah dititipkan oleh neneknya. Ya, selendang merah kesumba. Hanya itulah satu-satunya yang ia miliki. Sejenak, ia membuka mata. Petang di pantai pun menjelang, suara ombak tak lagi terdengar seperti kecipak serupa decak kekaguman penonton terhadap penari gandrung saat menggoyang-goyangkan pantat. Tapi bergemuruh membuncahkan buih, sesekali ombak pasang, lalu kembali ke hulu bergulung-gulung seperti hendak memuntahkan gelombang.


Mahwi Air Tawar, menulis puisi, cerpen, esai. Redaktur majalah sastra Horison. Kini berdomisili di Jakarta.