Puisi dapat dijadikan pemahaman untuk mengenali sebuah entitas kebudayaan (media puisi adalah bahasa). Tetapi untuk memahami puisi, setidaknya, kita harus memahami konvensi bahasa dan konvensi sastra. Faruk HT, mengutip Riffatere, bahwa puisi adalah aktivitas kebahasaan. Hanya saja bahasa yang digunakan di dalamnya berbeda dari bahasa sehari-hari sebagai akibat dari adanya pengubahan makna, penciptaan makna baru, dan perusakan makna bahasa sehari- hari itu.
Ali Ibnu Anwar sebagai seorang penulis, tidak perlu lagi diragukan produktivitas maupun kualitas tulisannya. Sejumlah bukunya, pernah beberapa kali mendapatkan penghargaan. Sebagai sosok idealis, penulis yang kini menetap di Jember ini, mulai menggali tema lokalitas seabagai nutrisi pelengkap bagi asupan ruhaniahnya. Tentu, dugaan saya, untuk tujuan memajukan kota kelahirannya.
Pada puisi yang berjudul Juru Takwil Pendalungan (klik di sini), penulis lekat sekali menyuguhkan kondisi dan realita sosial yang terjadi, khususnya di daerah Jember. Keberpihakan penulis pada budaya dan tradisi lokal, begitu terasa pada bait-bait puisi ini. Bagaimana kemudian penulis membahasakan sebuah anonimitas menjadi sebuah nomina. Dan sebaliknya.
Tradisi vs Komoditi
Pada bait pertama puisi berjudul Juru Takwil Pendalungan, Ali Ibnu Anwar seakan menggambarkan tentang suatu wilayah yang masih memegang teguh tradisi turun menurun dari nenek moyang. Sebagai budaya daerah yang juga sudah menjadi kuasa modernisme, maka tak ayal lagi, budaya tersebut kemudian diinstitusikan sebagai komoditi dan dikonversi menjadi sebuah alat tukar yang berlaku bagi dunia modern.
Coba kita perhatikan bait ini:
Udara (di daerah) pendalungan (tercium) bau asap kemenyan, (dari baunya tercium seperti) campuran (kemenyan,) (bau) manis (dari) gula dan (bau) asin (dari) garam.
Pada larik ini penulis memberi gambaran suatu wilayah (daerah pendalungan), ada yang membakar kemenyan sehingga baunya tercium oleh penulis. Kemenyan merupakan produk dari budaya lokal yang hingga saat ini masih (seringkali) dipakai dalam acara-acara atawa ritual kebudayaan.
Pada larik : Rumahmu (merasa) gatal – gatal (karena berada) dalam bayang – bayang (penyakit) batu ginjal. Secara struktur kebahasaan, larik ini masih memiliki makna yang tercerabut. Bias. Bagaimana mungkin, sebuah rumah dapat merasakan gatal dan memiliki penyakit gagal ginjal?
Setidaknya, ada beberapa arti dari kata rumah. Tetapi pada larik ini, harus kita sepakati kata rumah tidak dapat berdiri sendiri. Untuk memaknai kata rumah, perlu dikaitkan pada kata lainnya. Coba kita kaitkan pada larik pertama bait puisi ini, bahwa, ‘rumahmu’ ada di dalam wacana ‘udara pendalungan bau asap kemenyan’. Dan bisa kita tarik sebuah benang merah disini, bahwa yang dimaksud oleh ‘rumahmu’ adalah wadah yang masih berada dalam lingkup udara pendalungan, bisa jadi merupakan tempat dimana seseorang bisa melakukan aktivitas tradisi dan semacamnya.
Kemudian, bagaimana mungkin sebuah rumah merasakan gatal-gatal dan gagal ginjal. Penekanan pada larik tersebut bukan pada rasa gatal. Melainkan apa yang kemudian disebabkan oleh rasa gatal itu: menggaruk. Pada larik: (karena berada) dalam baying-bayang (penyakit) gagal ginjal, penulis menekankan pada fungsionalitas dari struktur penyusun rumah. Bahwa garukan itu, rasa gatal itu, disebabkan oleh salah satu bagian dari rumah yang sudah tidak berfungsi dengan baik.
Larik selanjutnya: (Penyakit itu menyebabkan) pandanganmu mulai kabur (dan tak bisa membedakan) antara ke (arah) mana harus menuju atau ke (arah) mana mesti menghindar dari semacam peluru. Subjek ‘mu’, mengalami pandangan yang kabur karena rumah yang menderita gagal ginjal. Sehingga ‘mu’ dalam larik ini kesulitan untuk membedakan arah, ke mana ia harus menghindari ancaman dan mendekati ancaman. Ancaman (peluru) yang ditandakan oleh penulis kemudian menjadi sesuatu yang sangat diinginkan oleh ‘mu’. (Peluru itu) sejenis anggaran yang paling aduhai dalam perhitungan kepalamu.
Bait kedua mengindikasikan, jika ‘mu (kau)’ kemudian terpengaruh oleh peluru yang tak bisa dihindari karena peluru itu sangat menggiurkan. ‘mu (kau)’ kemudian bertransformasi dan beradaptasi terhadap peluru yang mengenainya. Lalu kau menjadi (seorang) juru takwil yang (kemudian mengalami) kejang-kejang dalam (acara) festival kebudayaan (di pendalungan). (Kemudian) kau menambal arsip – arsip (kebudayaan yang) bolong (di) dalam ruang (tertutup dan) tanpa penerangan. Transformasi yang dilakukan oleh ‘mu’ ini menjelaskan jika ia sangat erat sekali kaitannya dengan kebudayaan.
Disamping, itu ada ketakutan yang digambarkan oleh penulis pada sosok ‘kau’. Hal ini bisa kita lihat pada bait ketiga larik kedua: (secara) diam – diam, sudah kau siapkan pewarna (untuk reog pendalungan itu) (berkualitas) murahan yang mengandung disinfektan. ‘Kau’ telah membuat sebuah langkah antisipatif terhadap sesuatu yang akan mungkin terjadi atau paling tidak menurutnya akan terjadi. Agar jika hal tersebut memang benar-benar terjadi, sosok ‘kau’ tidak ikut terdampak (fungsi dari disinfektan).
Pada larik selanjutnya, kita juga menemukan sebuah cara yang dilakukan oleh si tokoh ‘kau’ untuk melegitimasi orasi pada awal bait kedua yang ia buat. (Kemudian) sebuah nama kaupinjam untuk mengisi rumah (budaya yang) kosong yang penuh hantu dan bau-bau, (hantu dan bau) yang hanya pandai menakuti seorang anak kecil dengan pemikiran yang masih lembab. (Meminjam nama adalah) sebuah upaya (dalam) merayakan penemuan (tradisi/kebudayaan) yang (akan) terasa buruk untuk diingkari.
Pada bait selanjutnya, penulis menyampaikan bagaimana sebuah tradisi kemudian dijadikan sebuah alat bagi ‘kau’ untuk memenuhi hasrat duniawinya. Ojung. (Karena aku ingat) Oh, Ojung! (Ojung adalah) tubuh-tubuh tahan pukul yang saling menghindar dari luka-luka imitasi. (sedangkan luka Ojung itu) seperti luka hangus pada roti yang baru (saja) keluar dari mesin panggang. Luka hangus (pada tubuh seniman Ojung itu) yang kauharap bisa mengganjal perutmu dari rasa kelaparan paling liar. Penulis memberikan penekanan pada komodifikasi oleh si tokoh ‘kau’. Bagaimana rasa sakit dari para seniman ojung kemudian dikonversikan sebagai pengganjal perut yang lapar.
Kita berlanjut pada bait terakhir puisi ini. Di larik pertama, bait terakhir ini, kita dapat menemukan kemiripan diksi dengan larik pertama, bait pertama. Penanda kemenyan, gula dan garam. Repetisi ini pastinya dimaksudkan sebagai penekanan. Selain itu, pada bait ini penulis telah memunculkan oposisi pronomina. Jika pada bait-bait sebelumnya penulis hanya memberikan gambaran, maka pada bait ini penulis memberanikan untuk berkonfrontasi dengan tokoh ‘kau’, dengan intensitas lebih. Di bait ini penulis berupaya menggugat tokoh ‘kau’. Mari kita baca bait berikut:
(aku bertanya padamu) seberapa sering kaucampur bulir gula dan serbuk garam dengan kemenyan untuk menggelar ritual (yang ada) dalam proposal, (yang kemudian kau jadikan) sebagai pembersih lantai (di) rumahmu (?). (rumahmu adalah) tempat nama-nama bertemu dan beradu gagasan (kebudayaan yang) kehilangan biografi.
Kemenyan, gula dan garam, sebagai bagian dari tradisi simbol kesukuan, kemudian diinstitusikan menjadi nama-nama yang dicantumkan dalam proposal. Bagaimana kemudian nama-nama dalam proposal itu hanya dijadikan sebagai alat untuk membuat rumah ‘kau’ terlihat lebih indah dan harum. Meskipun, nama-nama yang sudah tercantum itu tidak memiliki sejarah yang kuat.
Nama-nama kemudian hanya menjadi indentifikasi, pembeda satu dan lainnya. Karena garis keterbedaan itu kemudian akan melahirkan konfrontasi satu dan lainnya. Tidak ada yang tahu mana yang kuat dan yang menang. Kita hanya akan selalu melihat ada nama-nama baru akan ada keberbedan baru yang selalu mengandung kuasa. Lalu, apakah kita masih membutuhkan nama?

Ebhi Yunus, pegiat seni dan budaya, tinggal di Jember. Aktif membina teater beberapa sekolah di Jember.
Chukup pak ebhi, chukup