Masalembu atau Masalembo sebagai Pengantar Analisis Wacana “Soca”
Mendengar Masalembu atau Masalembo (kab. Sumenep, Madura) selalu berhubungan dengan misteri perairan, karena keberadaanya di pulau Jawa selalu berkaitan dengan namanya perairan segitiga bermuda. Saya jauh sebelumnya sudah mendengar nama kepulauan tersebut sebelum terjadinya kecelakaan pesawat pada 1 Januari 2007, yang mana juga di perairan itu banyak terjadi serangkaian kecelakaan transportasi yang bisa dilacak sejak 7 Januari 1981, 29 Desember 2006, hingga 19 Mei 2017 (lih. https://indocropcircles.wordpress.com/2011/12/01/misteri-segitiga-masalembo-segitiga-bermuda-versi-indonesia/, yang anehnya cukup bertentangan dengan serial televisi yang ditayangkan di Net TV, Masalembo (lih. https://www.youtube.com/watch?v=9TnbEsdYC8c), yang dibantah penduduk asli Masalembo sendiri bahwa pulau tersebut bukan pulau pedalaman yang sangat menyeramkan, sekalipun listrik tidak hidup selama 24 jam penuh (lih. https://www.youtube.com/watch?v=JWQ_z92oMT0); yang mungkin serial Masalembo yang dimaksud hasil pengolahan antara data fiktif dan imajinasi.
Entah kenapa pikiran saya bekerja secara aktif ketika bertemu dengan Awal Dharmawan (mahasiswa karawitan), yang berasal dari Masalembo, di mana kepulauan tersebut cukup unik dan letaknya sangat jauh keberadaannya di Pulau Madura, yang sangat berdekatan dengan dua pulau lainnya yakni Pulau Masakambing, Pulau Karramian, di mana penduduknya juga ada didominasi tiga suku yang jumlahnya hampir relatif sama, di antaranya Madura, Bugis, dan Mandar (lih. http://news.unair.ac.id/2019/04/30/hal-hal-yang-perlu-kamu-ketahui-tentang-pulau-masalembu/). Bahkan Awal Dharmawan selalu menjelaskan kalau pulang kampung selalu menunggu waktu kapal laut bersandar. Jika terjadi ombak tinggi, ia pun harus menunggu di seberang pelabuhan hingga mendapatkan informasi kalau cuaca lebih baik dari sebelumnya. Peristiwa yang dialaminya sudah menciptakan dramaturgi; ke mana harus memesan tiket kapal laut dan ke mana juga harus mencari informasi seputar perairan, dan rumah siapa atau di mana yang menjadi tempat menginapnya selama berhari-hari sebelum pulang kampung?
Hal yang paling menarik menjadi pertanyaan saya, sebelum Awal Dharmawan hendak menyelesaikan tugas akhirnya; bagaimana praktik metode penciptaannya? Apakah ia berangkat dari riset biografi Masalembu yang penuh misteri, atau riset hubungan dirinya (sebagai orang Madura) dengan suku Mandar dan Bugis yang merupakan satu kesatuan dalam pulau, atau mengawali praktik kerjanya dari hal yang diketahui tentang Masalembo (semisal historical dan biografical antara ketiga suku; Mandar, Bugis, dan Madura), atau mencari arsip-arsip Masalembu yang mungkin sudah hilang, atau hal lainnya yang tidak banyak diketahui oleh masyarakat pada umumnya, termasuk saya yang tumbuh dan berkembang di Bangkalan, Madura (pada umumnya). Sejujurnya saya cukup menunggu dalam praktik kerja dramatuginya; sebelum akhirnya Awal Dharmawan memutuskan; membaca stigma negatif orang Madura (yang menurut saya sudah terbaca bagaimana komposisi musiknya), sekaligus banyak “celah” yang dapat diperdebatkan dalam kerangka dramaturginya.
Analisis Wacana Stigma Negatif “Masyarakat Madura”
Tulisan di bagian ini dan selanjutnya sebagian besar merupakan deskripsi karya seni Awal Dharmawan sebagai syarat meraih gelar sarjana seni di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya, jurusan karawitan pada 19-20 Juli 2019 (pendopo agung), yang digabungkan dengan subjektivitas pandangan saya bukan dari sudut perspektif karawitan, tetapi lebih kepada analisis wacana dalam tinjauan dekonstruksi yang menjadi objek kekaryaannya. Meskipun saya juga akan menghubungkannya sesekali saja dengan bunyi yang ditawarkannya untuk menjawab stigma negatif orang Madura (yang menurut saya bukan hal yang menarik lagi jadi pembahasan). Sebab wacana itu sudah dengan sendirinya terbantahkan melihat banyaknya orang Madura, yang berperilaku santun, lemah lembut, dan berbudi pekerti layaknya orang Jawa pada umumnya dan bahkan situasinya bisa berbalik. Barangkali saya juga berbeda pembacaannya dengan para penguji yang sudah meluluskannya, sekalipun bagi saya Awal Dharmawan sangat layak meraih gelar sarjana seninya, sekali lagi saya mengucapkan selamat!!!
Awal Dharmawan mengawali latar belakang karyanya; dengan mengulas sate dan soto sebagai potensi kuliner Madura yang sangat diakui, yang kemudian disandingkan dengan tradisi Carok, yang sudah banyak dibahas banyak peneliti dari luar negeri ketika membicarakan Madura akan berkaitan dengan Carok (Hub de Jonge) maupun penulis kita (Mien Ahmad Rifai, Latif Wiyata, Kuntowijoyo, Abdur Rozakj, Muhammad Syamsudin, dll.), bahkan saya sendiri coba menulis naskah drama Carok (Bengkel Penulisan Naskah Drama Dewan Kesenian Jakarta 2013 & UWRF 2016), yang mengkritisinya sebagai warisan penjajah Belanda dan sepatutnya tidak diglorifikasi secara berlebihan di lingkungan akademis, khusunya. Untung saja banyak pula para akademisi yang memberikan catatan kritis terhadap tradisi Carok dalam jurnal, skripsi, tesis, maupun disertasi sekalipun terus mengalami tegangan. Stigma negatif orang Madura buat saya selalu beriringan dengan wacana perilaku masyarakat Madura pada umumnya dalam kehidupan sosial dan budayanya yang justru paradoks. Hanya saja banyak peneliti menjadikan objek kecemasan dan ketakutan dalam membaca masyarakat Madura cenderung menjadi studi analisis.
Sebagian orang merasa bahwa ketika akan berkunjung ke Madura mereka takut akan terjadinya tindak kekerasan. Mereka berhadapan dengan masyarakat yang kasar, kaku dan mudah untuk diajak berkelahi. Tidak jarang dikarenakan hal tersebut orang akan mengurungkan niatnya untuk berkunjung ke wilayah Madura (Awal Dharmawan dalam deksripsi karya seninya).
Wacana ini kita coba analisis dan perbandingkan dengan kajian tekstual lainnya yang berhubungan dengan sikap, budi pekerti, kearifan lokal, foklor Madura (Emha Ainun Najib: Foklore Madura), maupun tulisan lainnya (lih. Ridwan Ahmad Sukri: Konsep Bapa’ Babu Guru Rato Pada Masyarakat Madura Sebagai Wujud Pengalaman Sila Ke-2 Pancasila, jurnal filsafat, seri ke-30 Oktober 1999, UGM. A. Sulaiman Sadik: Kearifan Lokal dalam Sastra Madura dan Aplikasinya dalam Kehidupan Sehari-Hari, Okara, Vol. I, Tahun 6, Mei 2011, kemudian tulisan Diana Rahmasari, Miftakhul Jannah dan Ni Wayan Sukmawati Puspitadewi: Harga Diri dan Religiusitas dengan Resiliensi Pada Remaja Madura Berdasarkan Konteks Sosial Budaya Madura, Unesa, jurnal psikologi teori & terapan 2014, Vol. 4, No. 2, 130 – 139, ISSN: 2087-1708, dll.); yang tentu saja berbeda analisis wacananya.
Jika Awal Dharmawan berpandangan bahwa masyarakat lain di luar etnis Madura merasa takut dan tidak suka akan tindakan dan cara bicara dialektika orang Madura, saya rasa perlu studi perbandingan karakteristik kekerasan suku lain. Selain itu ia menilai orang Madura terasa kasar dan kaku seakan kurang bersahabat dengan masyarakat luar, yang juga sangat memungkinkan masih diperdebatkan dengan wacana kekerasan orang Batak, Makassar, Lampung, dan Ambon. Entah kenapa saya selalu berpikir dalam tinjauan dekonstruksi membaca pandangan mengenai stigma negatif. Analisis wacana ini akan berbanding terbalik dalam perwujudannya, sehingga akan terminimalisir karya-karya seni yang hanya berlatar belakang kekerasan masyarakat Madura, termasuk hasil penelitian yang sudah sering kali menjadi studi pustaka bagi para akademisi yang seyogyanya perlu dikritisi sehingga terciptanya iklim intelektualitas berpikir yang terus berkembang dalam pembacaan zaman.
Setiap kali orang asing akan melakukan penelitian di Madura, selalu saja ada orang luar yang akan mencoba untuk mengurungkannnya, karena orang Jawa saja takut berkunjung ke Madura. Beberapa orang mengira bahwa orang asing tidak akan bisa pulang dalam keadaan hidup dari pulau itu (Manusia Madura, Yogyakarta, 2007, hlm. 147).
Pernyataan di atas buat saya hanya semacam mitos jika diperbandingkan dengan beberapa pulau lainnya, yang justru lebih menakutkan dan menyeramkan. Barangkali seperti mitos Masalembu sendiri. Teks ini tidak berusaha menyanggah, karena karya sastra lisan Madura yang dikatakan ‘adilihung’ juga banyak dipertunjukkan, begitu juga dengan tawaran-tawaran musik religiusitas dari Awal Dharmawan: bukan satu tinjauan dekonstruksi, melainkan analisis perbandingan lainnya untuk menjawab stigma negatif tersebut, terlebih untuk menjawab kutipan yang digunakannya; “Orang Madura cepat tersinggung, penuh curiga, pemarah, berdarah panas, beringas, pendendam, suka berkelahi dan kejam. Jika dipermalukan, dihunusnya belati dengan segera membalas dendam hinaan”. (De Java Post 1911, 9-22, dalam Rifai, hlm. 345).
Bagi saya, Awal Dharmawan (presentasi sebelum karya) yang menggunakan kutipan De Jonge dalam tulisannya yang berjudul Streotype of The Madurese, sudah menjawab penelitian lainnya sekaligus sudah menyelesaikan tugasnya sebagai komposer (karena sudah jelas komposisi musiknya mengarah pada sastra lisan Madura, kearifan lokal, dan religiusitas—sekali lagi saya tekankan), karena mengalami disfungsional dalam praktik dramaturginya.
Di balik gambaran yang menyudutkan orang Madura tersebut, sebenarnya mereka memiliki sikap hidup dan nilai tersendiri yang mungkin dipandang keliru oleh orang lain: Pertama, orang Madura sangat percaya diri dan independen, sifat tersebut dapat dinilai negatif oleh etnis lain yang kemudian memandang mereka egoistis. Kedua, orang Madura memiliki sikap terus terang, sikap ini sering menjadi ketidaksopanan di mata etnis lain. Ketiga, orang Madura itu pemberani, keberanian itu tentu positif bagi dirinya sendiri, namun akan menjadi kekurangajaran bagi etnis lain. Keempat, orang Madura itu secara umum ekstrover, kepribadian yang lugu itu sering dianggap kekasaran bagi etnis lain. Kelima, orang Madura memiliki etos kerja yang tinggi” (Taufik dalam Jurnal UMS, Kekerasan dalam Budaya Madura: Pelajaran dari Madura).
Saya juga semakin tidak sepakat dengan tawaran Awal Dharmawan yang memetakan perbedaan antara Madura Barat (Sampang dan Bangkalan) dan Madura Timur (Pamekasan dan Sumenep) jika ditinjau dari karakteristik kekerasannya. Salah satu penyebabnya adalah terjadinya persilangan populasi penduduk yang terus bertambah jumlahnya dan memungkinkan mengalami keterbalikan karakteristik, mengingat meningkatnya perkawinan silang antar masyarakat Madura, antara Madura Barat dengan Madura Timur. Tinjauan para peneliti yang menganalisis budi pekerti, kearifan lokal, dan etos kerjanya masyarakat Madura (kinerja dramaturgi) yang menurut saya lebih menarik untuk dilacak hubungan kultural dengan masa lalu, hubungan antropologinya, historis bahasa dan aksara, hubungan psikologisnya, hubungan arsip atau foklornya, asal usul lagu Madura yang populer, menggali kembali kearifan lokal (yang tidak terlacak) maupun mengarsip memori-memori yang mungkin sudah hilang, ketimbang mempermasalahkan aroma kekerasan yang tidak memberikan jawaban atau pengaruh yang signifikan bagi ekosistem globalnya. Apalagi mendudukkan “kekerasan” pada perbedaan wilayah Madura Barat dan Madura Timur, yang justru menimbulkan kesenjangan seolah-olah orang Pamekasan dan Sumenep lebih lembut ketimbang orang Sampang dan Bangkalan. Sepertinya ingin menjelaskan bahwa karakteristik kekerasan orang Madura (yang menimbulkan stigma negatif) itu merupakan masyarakat Sampang dan Bangkalan. Karena tawaran ini akan cukup terbantah ketika dilakukan sistem angket dalam beberapa forum diskusi, di mana Awal Dharmawan tidak mengkorfimasi ulang dalam kerja dramaturginya dengan berbagai macam data yang memungkinkan dapat diakses dari berbagai macam sumber.
Awal Dharmawan memperkuat tawarannya dengan menjelaskan: sebuah bentuk interpretasi mengenai nilai-nilai positif yang dimiliki oleh etnis Madura, yang mengutamakan gotong royong, solidaritas yang sangat kuat, sopan santun, religius, lugu, apa adanya, mempunyai semangat yang kuat, ekstrover, andhap asor, pemberani dan percaya diri. Pernyataan yang pada umumnya sudah dijabarkan oleh para penulis dan peneliti (yang sudah disebutkan tulisan-tulisannya di atas) yang juga dapat dilacak dalam praktik dramaturginya, dan kira-kira pekerjaan kita memulainya dari mana (berdasarkan teks-teks tersebut) sebelum menentukan irama bunyi, dinamika, tempo, tangga nada, maupun alat musik apa saja yang digunakan. Pada umumnya sutradara teater dan film, komposer, koreografer, perupa, performer, dalam praktik penciptaannya yang berawal dari kerja satu tematik (riset, kerja arsip, studi analisis, kajian wacana, dll.) terkadang melupakan urutan-urutan yang berkaitan dengan kerja tematiknya, karena lebih mengutamakan pada orientasi karya sehingga yang terjadi hanya; bentuk yang tidak dapat dibaca praktik penciptaannya, bukan bentuk yang bisa dibaca praktik penciptaannya. Bahkan dari bentuk penciptaannya bisa diidentifikasi kalau kita tidak mengetahui betul, apa yang kita ingin kerjakan dalam penciptaan.
Sifat-sifat yang sudah dijabarkan Awal Dharmawan sebetulnya sudah membuka ruang dramaturgi untuk memulai kerjanya; yang bisa dicari adalah contoh-contoh solidaritas masyarakat Madura atau kegotongroyongan dalam peristiwa sosial bermasyarakat, kesopansantunan semacam apa yang dipraktikkan masyarakat Madura ketimbang masyarakat Jawa, kereligiusan semacam apakah yang membedakan dengan religiusitas masyarakat Jawa, Makassar, Minang, atau masyarakat lainnya, dan peristiwa sosial apa saja yang mencerminkan bahwa masyarakat Madura bisa dikatakan lugu, etos-etos kerja bagaimana yang mengidentifikasi bahwa mereka orang Madura (bukan lainnya) dan berbagai pencarian lainnya yang nantinya dapat didata maupun dikurasi dalam penciptaan. Sehingga jawaban tersebut merupakan fakta lapangan yang menjadi hasil riset dalam analisis wacana stigma negatif masyarakat Madura, yang pastinya akan berhubungan dengan banyak medium dari segala macam peristiwa tersebut, akan juga berkaitan dengan elemen bunyi yang dihasilkan, sehingga ilustrasi bunyi yang ditawarkannya betul-betul menjawab stigma negatif dan menggiring penonton atau pendengar bunyi pada jarak yang sangat dekat dengan tawaran-tawarannya.
Hasil penelitian dan pengkurasian data dari sebuah kerja dramaturgi tentu sangat berhubungan erat dengan bentuk atau visualisasi pertunjukan dan film, alat musik yang digunakan oleh komposer, material-material yang digunakan oleh perupa atau koreografer, maupun medium yang dipilih performer.
Visualisasi tentu saja merupakan pengejewantahan kerja dramaturgi yang dilacak secara runut dan tersistem dengan baik. Pada realitas praktik penciptaan, banyak pula para sutradara teater dan film, perupa, koreografer, performer, maupun komposer mengabaikan kerja-kerja dramaturgi karena terlebih dulu atau buru-buru menyusun alur pertunjukan dan skenario film, komposisi musik, visual seni rupa, ketimbang melacak setiap hubungan kerja satu dengan lainnya, antara tematik dengan komponen-komponen yang berkaitan. Ibarat membeli handphone baru; tentu kita akan berpikir dan memetakan agar barang yang kita beli layak dipakai dan tidak terjebak pada praktik penipuan. Karenanya kita mempelajari dan melacak setiap data yang berhubungan dengan nama toko, historisnya, bagaimana transaksinya, maupun kompensasinya, dan lain sebagainya. Karya pun juga diperlakukan seperti demikian; agar tidak terjebak dalam kebutaan dan ketidaktahuan dari praktik yang diciptakannya.
Sehubungan dengan irama bunyi, elemen, material alat musik, komposisi, dalam konteks tematik yang hendak diusung Awal Dharmawan, justru saya balik bertanya; apakah bunyi-bunyi yang dihadirkan dalam pertunjukannya sudah menjawab stigma negatif orang madura, apakah “Soca” sudah menjadi bagian praktik dramaturgi dari tawaran-tawaran yang sudah dikemukakan, karena dalam analisis wacana menurut saya masih terlalu banyak “rongga” untuk menjawab dan mengkurasi data-data yang sudah dijabarkan mengenai religiusitas, etos kerja, sopan santun, kegigihan, yang menurut saya secara garis besar justru semakin berjarak dengan dalam tinjauan kajian analisis wacana, sehingga saya sebagai orang Madura tidak mampu menghidupkan sifat-sifat itu melalui tawaran-tawaran bunyinya; karena religiusitas pada praktik sosial tidak hanya bertumpu seberapa banyak ia mengaji, seberapa sering ia melantunkan ayat suci Alquran, yang memungkinkan bisa dilakukan pelacakan kembali dari data-data yang sudah diutarakan.
Melacak Hubungan Musikalitas dengan Kerja Dramaturgi
Awal Dharmawan memanfaatkan gamelan berlaras slendro sebagai bahan/instrumen karyanya yang dipadukan dengan mini chamber orchestra yaitu berupa ansambel alat musik gesek (violin, viola, cello dan contrabass) serta alat musik tiup berupa saxophone yang diharapkan agar menambah kekayaan warna bunyi. Selain itu, harapan Awal Dharmawan kalau penggabungan tersebut dapat menjadi sebuah pertunjukan konser musik yang harmonis dan kekinian tanpa meninggalkan unsur-unsur esensi musikalitas Madura. Akan tetapi jika dikaitkan dengan rujukan yang digunakan dalam menjawab stigma negatif orang Madura, maka kerja dramaturginya nampak tidak dilacak sama sekali. Praktik penciptaannya hanya bertumpu pada analisis wacana yang berada di ambang permukaaan, kemudian terfokus keinginannya untuk mewujudkan bentuk dan hanya pada keinginan lainnya untuk memasuki era milenial. Kita terkadang terjebak kerja-kerja dramaturgi yang tidak berurutan dan berhubungan satu sama lain; sehingga tidak dapat menjadi satu kesatuan operasi sistem gagasan para pengkarya.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, kerja dramaturgi bukan mendudukkan pada situasi dramanya, tetapi mengarah kepada rangkaian tindakan dalam mewujudkan gagasan sesuai dengan visi dan misi pertunjukan/pengkaryaan. Jika musikalitas hanya sekadar dihubungkan dengan era milenial; tanpa melakukan kinerja dramaturgi yang berkaitan dengan visi dan misi karya, tampak kita hanya melihat pintu masuk dramaturgi dari luar rumah saja. Karena kita tidak berani membukanya dan melihat di dalam rumah ada apa saja, ruang apa saja yang bisa kita masuki, atau bagaimana hubungan ruang satu dengan ruang lainnya, dan kenapa dapur harus berada di paling belakang atau mungkin kenapa kamar mandi berada di luar rumah (bagi sebagian orang Madura yang masih menerapkan tradisi taneyan lanjhang; tentu semuanya memilik motif kerja yang kuat. Sehingga hasil komposisi musik pun hanya berhubungan dengan bunyi, irama, tempo, nada, harmonisasi, dinamika, dan lain sebagainya.
Bahkan bunyi yang dihasilkan dari gamelan Jawa laras slendro yang dipadukan dengan instrumen musik barat (nada pentatotis) hanya terjebak pada teori harmoni karawitan (gembyang, kempyung, salagumun) maupun teori musik barat. Saya semakin melihat bahwa karya ini tidak memiliki susunan metode penciptaan yang signifikan sekalipun bunyi-bunyi dari berbagai macam alat musik gesek, kontur melodi, cukup menjadi satu pertunjukan musik yang bisa dinikmati saja. Bukan memberikan jawaban dari stigma negatif orang Madura. Saya hanya melihat pertunjukan “Soca” semacam harmonisasi musik, penggabungan teknik klasik dan modern, dalam penerapan wilayah nada minor yang dimulai dari nada La=2 dalam gamelan slendro dengan La=D# pada musik barat dan nada mayor dimulai dari nada Do=3 dalam gamelan slendro dengan Do=F# dalam musik barat, kemudian tampak melodi disesuaikan dengan penggarapan yang dianggap cocok. Bukan satu studi akademis penciptaan musik yang mengacu pada analisis wacana, sehingga semua elemen juga saling berhubungan dengan data-data yang sedang terjadi dalam kajiannya.
Dramaturgi yang bekerja hanya terfokus pada wilayah tangga nada, semisal nada F# yang dipakai dalam musik barat dengan wilayah nada pada gamelan slendro tersusun sebagai berikut; F# disesuaikan dengan nada 3 (Lu) dalam gamelan slendro, G# disesuaikan dengan nada 5 (Mo) dalam gamelan slendro, A# disesuaikan dengan nada 6 (Nem) dalam gamelan slendro, C# disesuaikan dengan nada 1 (Ji) dalam gamelan slendro, D# disesuaikan dengan nada 2 (Ro) dalam gamelan slendro, yang tampak dipikirkan kerjanya bahwa nada-nada tersebut dijadikan dasar untuk membuat sebuah komposisi musik barat, seperti misalnya; dua tangga nada pada musik barat yaitu tangga nada F# dan Bb. F# (6 Kres) untuk mengiringi komposisi karawitan yang jatuh pada gong nada 1 (Ji), 5 (Mo) dan 3 (Lu). Komposisi karawitan yang jatuh pada gong 2 (Ro), dan 6 (Nem) diiringi dengan nada dasar Bb (2 Mol).
Bahkan Awal Darmawan dalam kerja dramaturgi tangga nada, sudah mengetahui betul perbedaan frekuensi. Misalnya terdapat pada nada F# dalam musik barat dengan nada 3 (Lu) dalam gamelan slendro, serta nada G# dalam musik barat dan nada 5 (Mo) dalam gamelan slendro. Selanjutnya Awal Dharmawan sudah menyusun kerja dramaturgi (tangga nada) pada keunikan komposisi musiknya; ia memikirkan frekuensi nada yang sedikit berbeda tidak akan terasa fals ketika kelompok string dimainkan secara bersama-sama dengan gamelan. Berbeda lagi ketika violin bermain solo dengan Scale F# Mayor akan terasa fals ketika diiringi oleh gamelan. Maka jelas kalau saya boleh menyimpulkan dari pelacakan ini; kinerja dramaturgi yang dapat dibaca pada pertunjukan “Soca”, hanya wilayah penyusunan tangga nada bukan kepada gagasan berdasarkan daftar pustaka/indeks (sebagai jawaban dari stigma negatif orang Madura) yang cenderung tidak diriset secara detail sehingga fokusnya pada bentuk dari sebuah pertunjukan irama musik.
Akhirnya saya justru lebih yakin bahwa pertunjukan “Soca” ini menempatkan pada harmonisasi dan keselarasan tangga nada dalam wacana yang digelisahkan, bukan menempatkan wacana ke dalam perpaduan antara musik klasik dan modern. Soca yang berarti dalam bahasa Madura halus; adalah mata (kalau secara kasar, matah), yang dipandang Awal Dharmawan sebagai mata rantai manusia, untuk membandingkan mana yang benar, dan mana yang salah. Justru mata saya melihat; bahwa kerja karya pertunjukan tidak selalu mendorong pengkaryanya pada hal-hal yang hanya didengar, dirasakan, dan dilihat secara bersama-sama, bukan mengungkap di balik pendengaran, penglihatan, dan perasaan kita pada satu fenomena atau sebuah wacana yang dinarasikan ke publik melalui musik. Sehingga nantinya kita selalu terbiasa mengutamakan kinerja dramaturgi pada tekniknya. Akan tetapi sebaliknya, kinerja dramaturgi yang difokuskan pada pelacakan data atau analisis wacana dengan menyampingkan bentuk (berkaitan dengan tangga nada, irama, melodi, dll.) tidak semerta-merta adalah kebenaran. Karena tentunya data akan sejalan secara beriringan dengan visualisasi pertunjukan, data tidak akan hadir berdiri sendiri jika betul-betul cermat dalam risetnya dimana bentuk akan mengiringinya pelan-pelan di balik penggalian data dari wacana yang hendak dinarasikan untuk mengkritisi, menjawab, atau hanya sekadar mendeskripsikannya, dan berbagai keinginan lainnya oleh para pengkarya.
Bentuk Karya dalam Beberapa Medium, dan ‘Gamang’ dalam Stigma Negatif
Dalam visualisasi bentuk pertunjukan musik “Soca”, seperti melihat konser mini gamelan yang dipadukan dengan mini chamber orchestra yang dibungkus dengan alur (tangga dramatik) yang menurut saya tidak menjadi penting ketika dalam proses riset penciptaannya benar-benar dilacak dan dianalisis dengan baik. Justru sangat memungkinkan kinerja dramaturgi baru (berpijak pada fokus riset tertentu) akan terlacak ketimbang kinerja dramaturgi (pada wilayah alur). Kita sebagai pengkarya pada umumnya masuk kepada satu dilematis penciptaan rancangan alur, seakan-akan sebuah cerita (tangga dramatik) menjadi hal yang penting. Padahal cerita (tangga dramatik) bisa hadir karena adanya pelacakan data dan analisisnya yang diolah terlebih dulu. Kita bisa saja melepaskan ikatan cerita, tapi melalui tindakan yang akan menemukan alurnya sendiri bagi para pendengar, dan penikmat musik. Data-data yang disajikan sangat memungkinkan untuk menciptakan ceritanya, apalagi berhubungan dengan sastra klasik Madura yang penuh petuah, pribahasa (Parebhasan), terdengar juga tembang Maenan, ataupun tembang yang bersifat jenaka, sudah menciptakan alur gagasannya. Saya ingin menekankan bahwa menjalankan struktur dramaturgi tentu berbeda dengan membuat plot musik. Inilah letak perbedaannya penciptaan yang memiliki metode kerja ketimbang penciptaan yang tidak memiliki praktik kerja dramaturgi secara sistematis.
Saya pun akhirnya bercermin pada diri sendiri yang cenderung ‘ribet’ dengan bentuk karya tanpa mengecek kembali kerja dramaturginya dalam mewujudkan gagasan, kaitannya dengan mengkritisi sebuah pandangan yang berkaitan dengan stigma negatif orang Madura. Karena mediumnya lebih dulu bersarang di kepala; seperti seperangkat alat musik gamelan berlaras slendro yang terdiri dari kendang, bonang babok, bonang penerus, demung, saron, peking, gambang, gendher penerus, siter, kempul dan gong (tampak membebani pikiran), tanpa melacak terlebih dulu apakah seperangkat alat musik tersebut sudah memenuhi visi dan misi berkesenian kita. Apakah kita sudah cukup mengetahui falsafah setiap alat musik yang sudah terkonstruksi di kepala tanpa meriset segala macam peristiwa sosial di Madura; berkaitan dengan pandangan tersebut, atau berdasarkan hasil penelitian yang sudah diteliti dan diselidiki sebelumnya.
Begitu juga dengan alat musik gesek yang digunakan Awal Dharmawan seperti violin sebanyak delapan buah, tiga alat musik viola, tiga buah alat musik cello dan contrabass, alat musik tiup yaitu saxophone alto dan saxophone tenor; yang tampak dalam pertunjukan “Soca” dengan harapan warna bunyi yang variatif dalam penggabungan tersebut. Suara clef, nada sopran, nada alto, suara treble, nada tenor, menjadi pretensi hasil bunyi yang cukup dipertimbangkan dalam kaitannya dengan dramaturgi tangga nada, ketimbang memikirkan dramaturgi sehubungan dengan narasi atau stigma negatif orang Madura. Karenanya sekali lagi saya menggarisbawahi dari semua pertunjukan yang saya lakukan, tidak akan menjadi hal yang signifikan dalam pembacaan disebabkan orang melihat dan merasakan tidak adanya data dalam satu peristiwa dan tindakan di atas panggung, jika praktik penciptaannya benar-benar tidak dapat diketahui dengan baik dan benar.
Praktik penciptaan dalam ranah akademis barangkali bukan hanya meletakkan pada teknik, tetapi proses mengolah wacana dalam satu ekosistem, berpikir atas perancangan problematika atau fenomena yang sedang terjadi. Justru saya berpikir terbalik ketika membaca dalam tinjauan dekonstruksi (lih. teori dekonstruksi, bisa menggunakan Derrida berdasarkan bukunya Muhammad Alfayadl, Gaayatri Spivak, Cristhoper Noris, dll.), peristiwa kepulauan Masalembu dengan tiga etnis yang mendominasi yakni Madura, Mandar, dan Bugis didudukkan pada satu rancangan demografis; keharmonisan, kerukunan, dan keterhubungan antara satu dengan lainnya sekalipun mempertahankan tradisi rumah adatnya masing-masing menjadi jawaban yang paling penting untuk dilacak sebagai alat untuk “membunuh” stigma negatif tersebut (yang seyogyanya ditinjau kembali secara data) agar validitas wacana benar-benar terjaga dalam praktik penciptaan, sehingga visi dan misi berkesenian kita akan terwujud.

Arung Wardhana Ellhafifie, Dramaturg, periset, yang kini menempuh pendidikan pascasarjana di ISI Solo.