Cerpen Alif Febriyantoro

Aku tidak tahu pasti bagaimana semua ini bermula. Ketika membuka mata, aku menemukan tubuhku sudah terbaring di sebuah jembatan yang lengang. Di atas kepalaku, langit tampak cerah. Angin menyibak gumpalan awan dan dari situlah muncul sinar matahari. Aku berdiri dan memperhatikan sekeliling. Betapa terkejutnya aku setelah mengetahui bahwa aku sedang berada di salah satu jembatan yang menjadi penghubung antara gedung-gedung yang menjulang tinggi, yang di sekitarnya air seperti telah berkuasa. Aku seperti berada di sebuah kota yang dibangun di tengah laut. Sebentar. Apakah ini laut?

Aku penasaran. Maka aku berjalan ke tepi jembatan. Ternyata jarak antara jembatan dan permukaan air sangatlah dekat sehingga saat menjuntaikan kaki, dengan leluasa kakiku ini masuk ke dalam air. Kurasakan airnya, tawar. Jika ini bukan laut, lantas apa? Entahlah. Sejauh mata memandang, aku hanya melihat hamparan air yang begitu luas, yang membentang dan seperti tak ada ujungnya. Ketika kupandang lama batas cakrawala, tiba-tiba saja pikiranku melambung jauh. Ada sesuatu yang mengganjal di dalam kepala. Aku tak bisa mengingat kejadian sebelum aku sampai di tempat ini. Ingatanku seperti tenggelam. Aku tak mampu mengingat siapa diriku sebenarnya. Meskipun sudah kualihkan pandangan dan menatap wajahku di permukaan air, yang dalam cerminan itu dapat terlihat jelas wajah seorang laki-laki yang masih muda, yang memiliki hidung mancung, sepasang alis yang hitam tebal, atau rambut yang sama hitamnya, namun tetap saja, aku tak mampu mengenali diriku sendiri.

Siapakah aku? Nama, nama, nama. Aku berusaha mengingat lagi, mencari nama-nama di antara huruf-huruf.  Nama. Siapakah namaku? Sial! Apakah aku hilang ingatan? Apakah sebelum sampai di tempat ini kepalaku membentur sesuatu sehingga aku lupa segalanya? Tapi mengapa tak ada sedikit pun memar di kepala atau di sekujur tubuhku? Tak ada rasa sakit. Aku merasa baik-baik saja. Dan kalaupun memang benar aku hilang ingatan, lantas kenapa aku masih bisa mengingat kata-kata dan bisa berkata-kata?

Aku semakin bingung. Aku tak bisa membedakan mana yang nyata, antara apa yang ditangkap oleh kedua mataku dan apa yang sedang aku pikirkan. Aku melamun cukup lama, berusaha untuk menggali dan terus menggali kedalaman pikiranku sendiri. Namun sial. Tak ada yang bisa aku temukan.

“Ayah!”

Tiba-tiba muncul sebuah suara yang seperti ditujukan kepadaku. Aku terperangah dan membalikkan badan.

“Ayah dari mana saja?”

Apa? Ayah!? Apakah aku berhalusinasi? Di hadapanku tampak dua gadis kecil. Mereka mempunyai wajah yang sama. Mata yang sama. Hidung yang sama. Mereka gadis kembar. Ayah? Apakah mereka anakku? Jika benar, itu berarti aku sudah menikah. Oh, siapakah istriku?

“Ibu cemas, Ayah tidak pulang selama tujuh hari.”

Nah. Semuanya semakin jelas.

“Ayah….” Mereka menarik-narik ujung bajuku. “Ayo pulang. Kasihan Ibu, nangis terus setiap hari.”

Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, mereka menarik kedua tanganku. Kemudian secara bersamaan, kami pun meloncat dari jembatan. Lantas tercebur. Aneh. Di dalam air, kedua mataku bisa melihat dengan jelas. Sangat jelas. Seperti ada selaput bening yang melindungi bola mataku. Dan aku melongo, seakan-akan tak percaya dengan apa yang kulihat di bawah sana: sebuah kota yang hidup, sebuah kota yang menyala-nyala. Kucoba memutar kepalaku dan menoleh ke permukaan. Masih terlihat bayangan gedung-gedung itu, yang ternyata terhubung langsung dengan kota di bawah sana, sehingga tampak seperti sebuah pipa yang begitu panjang dan besar. Aku berenang di antara pipa-pipa ini. Semakin dalam aku menyelam, bagian-bagian dari kota itu pun semakin terlihat jelas. Sebuah kota yang tersusun rapi. Lengkap dengan jalanan yang meliuk-liuk, sebuah taman dengan bunga-bunga, dan orang-orang yang berenang dengan bebas. Oh, apakah mereka benar-benar hidup di dalam air? Aku semakin tidak mengerti. Tetapi aku seperti terbius dengan semua keindahan ini. Sampai-sampai aku baru sadar, bahwa sejak tadi, entah bagaimana caranya, aku bisa bernapas di dalam air. Busyet!

Kedua gadis kembar ini berenang di sebelahku, satu di sebelah kanan dan satu di sebelah kiri. Mereka sama-sama menggenggam tanganku, rambut mereka terurai bersama air dan helai demi helainya bagai meliuk-liuk sangat lamban. Seolah-olah aku menyaksikan sebuah transisi waktu yang bergerak normal, kemudian menjadi pelan, dan semakin pelan. Kutatap mereka sekali lagi. Dan mereka membalasnya dengan senyuman. Manis sekali. Aku menduga, ibunya pun sama manisnya. Ah, aku jadi tidak sabar.

“Kita hampir sampai, Yah!”

Hah! Mungkinkah!? Mungkinkah mereka yang mengatakan itu kepadaku? Bukankah kami sedang berada di dalam air?

“Ayah kenapa diam saja?”

Busyet! Mereka benar-benar bicara. Tapi anehnya mulut mereka tertutup. Malah lebih terlihat diam daripada orang-orang pendiam. Lebih sunyi daripada kesunyian. Dan anehnya lagi, entah bagaimana caranya, aku dapat mendengar mereka berbicara. Busyet!

Sementara tubuh kami terus meluncur ke bawah. Begitu lancar dan mulus. Ternyata tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai ke dasar. Atau mungkinkah karena suasana begitu menyenangkan, sehingga aku tidak begitu peduli dengan waktu? Kulihat lagi ke atas, permukaan itu sudah hilang. Seperti tertutup oleh kabut. Di atas, hanya tampak pipa-pipa itu yang kini bentuknya lebih mirip seperti rambut yang terurai. Namun ada sesuatu yang membuatku tertahan. Jauh di sudut atas sana aku seperti melihat separuh lingkaran raksasa yang merah membara, yang perlahan-lahan seperti masuk ke dalam air. Apakah itu matahari? Mungkinkah di dalam air hukum waktu juga berlaku? Jika benar, sebentar lagi matahari itu akan menghilang dan digantikan oleh bulan. Oh, aku tak bisa membayangkan, bagaimanakah pergerakan bulan yang tercelup ke dalam air, dan cahayanya yang keperak-perakan itu membias ke seluruh kota, kemudian bintang-bintang muncul dan bertebaran di antara air?

Semua keanehan ini membuatku terdiam kaku. Namun gadis kembar ini menarik-narik tanganku lagi. Sepertinya mereka tidak sabar. Kami pun berenang kembali. Melewati lorong-lorong, berpapasan dengan orang-orang, melewati rumah-rumah, toko-toko, sebuah taman dengan bunga-bunga, bangku-bangku, dan lampu-lampu yang berjajar di sepanjang sisinya. Setelah belok kiri dan melewati enam rumah, sampailah kami di sebuah rumah berdinding biru dengan pagar yang sama birunya. Di beranda, tampak meja bundar dengan dua kursi di kanan dan kirinya. Ya, pastilah ini rumahku. Pastilah di dalam sana istriku sudah menunggu. Barangkali dengan wajah yang begitu cemas, ia akan segera berenang ke arahku lantas memeluk tubuhku dengan erat. Namun lagi-lagi aku tertahan. Aku bingung, apa yang harus kujelaskan kepadanya?

“Dari tadi Ayah diam terus, seperti patung.”

“Iya. Seperti patung yang tenggelam.”

Wajah mereka sama-sama cemberut. Aku juga tidak tahu kenapa aku hanya bisa terdiam. Lidahku seperti membeku. Atau apakah aku belum tahu bagaimana caranya bicara di dalam air?

Entahlah. Sudah terlalu banyak pertanyaan yang aku tanyakan kepada diriku sendiri. Maka tanpa ragu-ragu kubuka pagar dan kumasuki halaman. Di sekitar kakiku yang mengambang, rumput-rumput bergoyang, abu-abu halus beterbangan. Kemudian dengan sangat pelan dan penuh perhitungan, kubuka pintu rumah ini. Di sekitarnya muncul gelembung-gelembung kecil. Kudorong terus dan, betapa terkejutnya aku saat melihat sosok pria berjubah hitam dengan tudung yang sama hitamnya. Siapakah orang ini? Oh, apakah istriku selingkuh?

Belum selesai menyudahi keherananku, tiba-tiba saja angin datang begitu cepat. Sehingga tanpa disadari ia menjelma menjadi badai dan menghempaskan segalanya. Blush!! Mendadak semuanya menghilang; barang-barang, atap rumah, dinding-dinding, pintu dan jendela, semuanya menghilang, termasuk dua gadis kembar tadi. Busyet! Tak ada lagi rumah, bunga-bunga, atau taman, lampu-lampu, atau semua orang yang sempat kulewati tadi. Bahkan seluruh kota dengan pipa-pipa yang meliuk-liuk di dalam air itu pun lenyap tak tersisa. Matahari yang tercelup itu pun menghilang. Semuanya benar-benar hilang. Tetapi anehnya aku dan sosok yang semakin terlihat menyeramkan ini tak bergerak sedikit pun. Kami sama-sama mengambang dalam ruang hampa yang luas membentang, yang barangkali jika ditelusuri tak akan pernah sampai ke ujungnya.

Aku terdiam dengan tatapan kosong. Semua terjadi begitu saja. Sementara sosok aneh ini perlahan mendekat. Ada sesuatu yang membuat jantungku berdegup lebih kencang ketika ia menggamit pundakku. Sialan! Aku tak bisa bergerak. Kemudian ia membentangkan sepasang sayap dan dengan cepat membawa tubuhku terbang. Busyet! Ternyata di dalam air sayap masih berfungsi dengan baik. Dalam sekali kedip, aku sudah menembus permukaan air. Dalam sekali kedip, aku sudah berpindah tempat. Apakah dengan menutup mata kita dapat berpindah dari suasana ke suasana, dari peristiwa ke peristiwa, sehingga kita dapat mengumpulkan ingatan demi ingatan, kenangan demi kenangan?

***

Sudah begitu jauh tubuhku meninggalkan permukaan. Namun tetap saja aku belum mengerti dengan semua keanehan ini. Semuanya serba mendadak. Begitu pula dengan dua gadis kembar tadi. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba mereka muncul lagi dan kini terbang bersamaku.

“Halo, Ayah. Akhirnya kita bertemu lagi.” Seperti sebelumnya, senyum mereka masih sama.

Aku tak tahu harus berkata apa. Lagi-lagi aku hanya bisa terdiam. Sementara jauh di bawah sana, entah bagaimana caranya aku bisa melihat semuanya. Dunia telah dikuasai air. Tak ada yang tersisa selain hanya pohon-pohon yang mengambang berserakan. Dan sorot mataku tiba-tiba saja tertuju ke salah satu pohon itu. Di sana terlihat jelas tubuh seorang laki-laki yang tersangkut di antara cabang-cabang pohon. Beberapa perahu karet kemudian mendekat bersama kerumunan orang yang memandangi laki-laki itu penuh dengan kemirisan. Dan entah kenapa dari kerumunan orang-orang itu, hanya ada seorang wanita yang seperti sangat aku kenal. Aku pun mencoba memutar ingatan. Namun sungguh, aku tak dapat mengingat. Siapakah wanita itu, yang meski dalam guyuran hujan masih terlihat jelas air matanya yang mengalir, melewati pipi, ke dagu, sampai akhirnya jatuh satu demi satu lantas membasuh darah yang berlumuran di ujung cabang pohon, yang tampaknya begitu runcing sehingga mampu menembus batok kepala manusia?

Sedangkan di langit, hujan dan darah tak ada bedanya. (*)


ALIF FEBRIYANTORO, lahir di Situbondo, 23 Februari 1996. Buku-bukunya antara lain, 60 Detik Sebelum Ajal Bergerak (Kumpulan cerpen, 2017), Romila dan Kutukan Ingatan (Kumpulan cerpen, 2019), dan Sebelum dan Setelah Hujan, Sebelum dan Setelah Perpisahan (Kumpulan cerpen, 2020).