Nyaris setahun pandemi Covid-19 mewabah di negeri kita, belum ada obat pasti yang diyakini dapat menyembuhkan virus dari Tiongkok itu. Semua aktifitas dipaksa menyesuaikan dengan situasi, bahkan tak sedikit yang malah mati. Termasuk kegiatan kesenian, khusunya seni pertunjukan.
Kondisi demikian, tidak mematahkan dalang wayang tavip, Budi Ros untuk mementaskan lakon “Kampung Beringin”. Proses kreatifnya tetap berjalan. Meski tidak dapat menggelar pertunjukan secara langsung, karena terkendala aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), pihaknya tetap menggelar pementasan wayang tavip secara daring, pada tanggal 3-4 Oktober lalu.

Pergeseran aktivitas seni pertunjukan yang biasanya dapat ditonton secara langsung, menuntut para seniman untuk membuka kran aktivitas seni dengan cara pandang baru. Sebab, kini penonton hanya bisa menyaksikan dari rumah. Maka, pertunjukan Budi Ros kali ini, mengandalkan chanel Youtube Indonesia Kaya.
Dalam pentas tersebut sang dalang berupaya membawa gaya mendalang masa lalu, yaitu dalang jemblung yang piawai menyampaikan cerita tanpa wayang. Hanya mendongeng. Namun, dengan merujuk pada konsep kekinian, aspek visual menjadi sangat penting dalam wayang tavip. Sehingga, visualisasinya pun disesuaikan perkembangan zaman.
Pertunjukan Kampung Beringin ini merupakan karya kolaborasi Budi Ros dan M Tavip, dibantu asisten dalang Sir Ilham Jambak, Yesa Andika, Tony G Achmad, Logo Situmorang yang juga menata grafis bersama Sekar Dewantari yang juga tampil sebagai aktris.
Sarat Kritik
Lakon Kampung Beringin mengisahkan sebuah desa bernama Kutowaringin. Desa itu gempar karena pohon beringin besar yang menjadi ikon desa ditebang. Warga sangat kehilangan bahkan sedih, tetapi perintah tebang datang dari Pak Kades.
Ada dua alasan pohon itu ditebang. Pertama, karena pohon itu, nama Kutowaringin yang nyaris tidak dikenal warga desa sekitar, yang lebih dikenal adalah Kampung Beringin, nama yang terkesan kampungan. Kedua, pohon tua konon terlalu banyak dihuni setan dan setan itu sudah merasuki Agnes Winarni, putri tunggal Pak Kades. Akibatnya sangat fatal. Gara-gara kesurupan Agnes Winarni gagal main sinetron.
Seminggu kemudian rasa kehilangan warga mulai reda. Namun, gegeran terjadi lagi. Para penunggu Kampung Beringin yang tergusur, marah. Kesurupan massal pun terjadi. Lewat mulut warga yang kesurupan, baik anak-anak maupun orang tua, mereka bersama-sama bersuara untuk mendapatkan pohon beringinnya kembali.
Waktu berlalu, pohon-pohon beringin itu pun tumbuh subur. Nama Kutowaringin dilupakan dan Kampung Beringin makin berkibar. Anehnya Pak Kades tidak peduli lagi. Gagal menjadi pesinetron, Agnes Winarni menjelma menjadi penyanyi dangdut kondang dengan goyang aneh. Goyang kejang kesurupan namun banyak warga yang mengikuti goyangnya.
Pada setiap pentas di desa manapun, Agnes rajin menyampaikan pesan Ayahnya untuk menanam pohon beringin, supaya desa semakin hijau.
Pertunjukan wayang tavip “Kampung Beringin” secara daring, memang terasa berjarak. Sebab, sebagaimana pertunjukan wayang, respon langsung dari audien merupakan salah satu interaksi yang mampu membangun suasana. Akan tetapi, keberjarakan itu mampu disiasati dengan latar suara “yoi, yoi, yoi,…”.
Agar mampu menangkap rangkaian cerita, pertunjukan ini memanfaatkan mata kamera, dari tiga sisi. Kelemahan pertunjukan secara daring, yaitu menampilkan sisi detail visual yang tersaji di atas panggung. Akan tetapi, dengan konsep videografi yang oke, Kampung Beringin mampu menampilkan secara detail setiap bagian yang dirasa perlu. Di sinilah mincul sensasi baru dalam menikmati pentas wayang.
Lagi-lagi, semapan apapun pertunjukan yang memanfaatkan mata kamera, tidak serta merta mampu menjawab batasan antara “pertunjukan” dan “film”. Ada alternatif lain, yang bisa melebur batasan tersebut?

Rubiakto, penikmat seni dan wartawan. Tinggal di Depok, Jawa Barat.