(PENGALAMAN MEMBACA “CEMAS” KARYA DAVID EAGLEMAN)
Suatu ketika saya pernah menonton acara Suluk Maleman yang disiarkan di TV 9. Saat itu, acara yang dipandu oleh Habib Anis, sedang memperlihatkan seorang narasumber (namanya tidak saya ketahui tetapi ia mengaku seorang wartawan). Narasumber itu mengatakan kalau sebelum ditiupkan ke dalam tubuh manusia, ruh Syekh Abdul Qodir J adalah seorang korektor dari kitab Lauh Mahfuz. Jadi, katanya—seingat saya, beliau diberi hak oleh Allah swt. untuk mengoreksi takdir-takdir dari segala ciptaan-Nya yang telah tertuang dalam kitab tersebut. Saya tidak dapat membicarakan detailnya dan silakan dicari keabsahan dari informasi ini karena bukan itu inti yang ingin saya bicarakan.
Tentu saja saya terperangah dengan informasi yang diberikan oleh si narasumber. Dari dahulu saya penasaran dengan aktivitas ruh yang diciptakan oleh Allah swt. sebelum masuk ke dalam jasad. Apakah mereka hanya bermain-main di taman syurga? Atau ruh tersebut sebenarnya sudah berfungsi sebagai sesuatu di dalam tatanan alam semesta ini?
Kelahiran seorang manusia diyakini akan memutus seluruh informasi yang ruh miliki ketika berada di alam ruh. Kita menjadi bayi yang tidak tahu apa-apa. Seperti dalam film Lucy, bahwa semakin tinggi tingkat presentasi penggunaan otak pada seorang manusia, maka ia akan semakin terhubung dengan informasi tentang jagat raya. Namun, sebab kita bukanlah orang yang bisa menggunakan otak kita sampai 100% dan… kita tidak ingin memasukkan begitu banyak narkoba ke aliran darah, kita menjadi tidak bisa mengakses informasi yang kini tidak kita miliki.
Lantas, bagaimana kita bisa mendapatkan informasi tersebut? Sampai saat ini penelitian ilmiah belum sampai pada tahap menjawab itu. Tentu saja teks-teks agama menjadi kunci dari minimnya informasi ilmiah kehidupan sebelum dan sesudah mati. Sebagai contoh, sebuah kisah religi mengatakan kalau hidup ini bagaikan pejalan yang sedang menemukan sebuah pohon rindang dan beristirahat sejenak di bawahnya, lantas ketika lelah hilang si pejalan kembali melanjutkan perjalanan. Kisah itu berupa analogi kalau kita adalah sesuatu yang terus bergerak dan kematian bukanlah akhir. Hanya saja, pertanyaan yang muncul selanjutnya ialah bagaimana kita bisa membayangkan analogi yang betul-betul sederhana itu?
Di tengah begitu banyak kebenaran dari teks-teks agama mengenai hidup sebelum dan setelah mati, landasan imajinasi kita untuk membayangkan bagaimana kebenaran-kebenaran itu bekerja terkadang tidak terjembatani sama sekali. Kita dibuat bingung. Bagaimana hidup yang hanya sekali dan seringkali mengaduk-aduk perasaan kita ini jangan terlalu dimaknai dalam-dalam. Kalimat Kehidupan setelah mati adalah abadi dan di sanalah kita akan kembali, membuat banyak orang mengernyitkan alis. Kita menjadi sangsi sebab kita memang tidak memiliki pengalaman apa-apa sebagai manusia untuk menjajal kehidupan selain di muka bumi.
Fiksi seringkali menjadi model alternatif yang membantu kita untuk membayangkan bagaimana kebenaran-kebenaran teks agama bekerja. Bagaimana itu terjadi? Saya akan membahas sebuah cerita pendek (lebih pendek dari cerpen konvensional) garapan David Eagleman yang berjudul Cemas diterjemahkan oleh Doni Ahmadi. Cerita ini saya temukan dalam Sepilihan Fiksi vol.1 #dirumahaja yang dibagikan secara gratis di sini (tetap harus memiliki akses internet dan masih bisa diunduh sampai saat ini) dalam bentuk buk-el. Buku ini diniatkan untuk menemani siapapun yang ingin membaca dan sedang mengarantina diri di rumah.
Dalam cerita itu, digambarkan kalau setiap kita adalah seorang raksasa dengan tinggi puluhan ribu kilometer yang pekerjaannya adalah menjaga alam semesta agar selalu dalam keseimbangan. Jika sedikit saja cacat dalam melakukan pekerjaan, maka alam semesta bisa runtuh. Bayangkan! Sudut pandang kita adalah keutuhan alam semesta, sebuah hal yang sangat besar tentunya.
Kita yang raksasa itu akan mendapatkan liburan setelah tiga abad berturut-turut bekerja. Tujuan liburannya yaitu menjadi manusia (merujuk pada teks: berarti menjadi mahluk dimensi terendah) dan menjajal pengalaman hidup di bumi. Lalu, setelah libur telah tiba, mulailah pengalaman menjadi manusia berlangsung.
Kematian sebagai manusia menjadi akhir dari liburan. Setelah melepaskan diri dari tubuh manusia, kembali kita menjadi raksasa. Sayangnya selain pengalaman menjadi manusia, kita juga mendapatkan perasaan cemas yang tergambar dalam paragraf terakhir seperti berikut:
Hal-hal semacam itulah yang dapat kita bawa selama liburan di Bumi, penuh dengan sedikit drama dan ribut-ribut kecil. Relaksasi mental yang berharga dan tak bisa diungkap dengan kata-kata. Dan ketika kita dipaksa melepaskan diri dari tubuh kecil kita yang lemah, adalah bukan hal biasa saat kita berbaring lesu ditengah sepoi-sepoi angin surya di komuni selestial, dengan peralatan penuh di tangan, melihat segenap semesta, dengan mata berkaca, mencari sesuatu yang tidak ada artinya.
Mari masuk ke dalam pemaknaan cerpen ini. Ada beberapa tafsir yang bisa dibahas di sini. Pertama, para raksasa itu lebih menghendaki kehidupan remeh di bumi. Kedua, Saya pribadi condong ke sini, kalau kecemasan yang didapati para raksasa pekerja itu lantaran mereka menjaga keutuhan semesta hanya demi kehidupan remeh di bumi, yang setelah mereka lakukan, ternyata hanyalah mencari sesuatu yang tidak ada artinya.
Dalam keraguan, saya menjadi yakin karena dua kalimat pertama cerita ini sedikit menyindir kalau “Sebagai manusia kita banyak menghabiskan waktu untuk mencari sesuatu yang besar, pengalaman penuh makna. Dan kehidupan pasca-kematian mungkin akan sedikit mengejutkan ketika tubuhmu perlahan habis.” Tentu saja ini yang dimaksud menjadi raksasa penjaga alam semesta. Dengan memaknai teks secara utuh, saya merasa kalau tafsiran yang kedua lebih dekat. Hal itu dikarenakan kita yang raksasa menjadi mampu untuk memandang secara objektif apa-apa yang telah kita lakukan sebagai manusia: sesuatu yang tidak ada artinya.
Pemahaman terhadap teks akan kembali kepada apa yang paling dekat dengan pembaca. Saya memilih tafsiran demikian karena saya punya pertanyaan bagaimana hidup sebelum dan sesudah mati, dan bagaimana cara untuk tidak terlalu memusingkan hidup yang mulia sekaligus tidak mulia ini seperti yang dianjurkan oleh agama. Mungkin saja ada juga pembaca yang mendapatkan pemahaman lain dari dua tafsiran yang saya tawarkan di atas. itu tidak menjadi soal. Sah-sah saja selama bukti-bukti di dalam teks mendukung tafsirannya.
Kembali ke sub-tema yang tertuang dalam judul, dalam banyak kasus tertentu, fiksi membantu kita untuk mengkongkretkan apa-apa yang masih abstrak. Ia memberi tangga untuk bisa mendapatkan pemandangan yang tepat dalam mengartikan sesuatu. Pengalaman membaca Cemas memiliki dua arti bagi saya.
Pertama, entah Eagleman pernah mendengar atau tidak perihal kisah ruh Syekh Abdul Qodir J, kesamaan konsep yang termaktub pada kedua cerita itu membuat saya merasa gembira. Pasalnya, sejauh ini saya belum menemukan (atau tidak benar-benar mencari) pendukung cerita perihal ruh yang sebelum menyatu dengan tubuh sudah memiliki andil dalam tatanan alam semesta. Itu membuat kisah ruh Syekh Abdul Qodir J yang awalnya sangsi di pemahaman saya—seketika sirna pasca membaca Eagleman.
Kedua, tentunya, menambah daftar imajinasi alternatif saya perihal hidup selain di bumi dan juga, sedikit banyak, melengkapi kepingan puzzle dalam konstruksi pikiran saya untuk membuat saya lebih memahami bagaimana teks agama bekerja.

Mochamad Nasrullah (1993) sedang tinggal di Jember. Novelnya berjudul Balada Supri (Penerbit anagram: 2019). Bisa dihubungi lewat nasrullah.burung@gmail.com.