Oleh Haryo Pamungkas
Film pendek Lemantun (2014) besutan Wregas Bhanuteja pertama kali diupload di kanal YouTube ‘Wregas Bhanuteja’ pada 9 April 2020. Sampai catatan ini dibuat, film yang dibuat sebagai tugas akhir S1 FFTV IKJ itu telah ditonton lebih dari 1.400.000 kali dan mendapat acungan jempol 48.000 kali dan pada Mei lalu, sempat tayang di TVRI.
Lemantun atau yang berarti ‘Lemari’ sangat layak masuk daftar-film-yang-mesti-ditonton bukan tersebab ia telah meraih beragam penghargaan festival film semata. Namun, secara terbuka saya harus katakan, bahwa Lemantun, berhasil mengaduk-aduk jeroan emosional saya.
Lanskapnya begitu natural. Cerita yang berangkat dari hal yang begitu dekat—kisah keluarga, movement yang begitu halus, dan instrumen melankolis pada klip-klip yang pas, membuat film pendek ini benar-benar membangkitkan naluri ke-anak-an saya.
Lemantun berangkat dari satu klip yang barangkali klise dan sederhana: orangtua yang membagikan warisan.
(Tetapi, sebetulnya saya yakin tidak ada yang sederhana dari cerita satu keluarga.)
Dan keyakinan itu terbukti, sekurang-kurangnya bagi saya, pada kisah Lemantun. Dikisahkan bahwa Si Ibu hendak membagikan warisan berupa lemari (lemantun dalam bahasa Jawa) kepada anak-anaknya. Lemari yang dibeli setiap si Ibu melahirkan satu anak. Kemudian 5 lemari diundi dan dibagikan kepada masing-masing anaknya. Masalah timbul kemudian. Si Ibu mengharuskan masing-masing lemari diangkut keluar rumah sore itu juga.
Masalah itu sebetulnya hanya untuk Mas Tri, Si Anak Ketiga sekaligus sosok sentral dalam film. Ia belum memiliki rumah dan artinya, harus diangkut ke mana lemari itu?
Tangkap Layar salah satu adegan Lemantun
Sebetulnya semenjak klip awal penonton sudah dapat menebak pesan apa yang hendak disampaikan Wregas dalam film, yakni perbedaan status sosial dan ekonomi dari posisi duduk dan pakaian yang digunakan para pemain. Mas Tri, Si Anak Ketiga, dicitrakan dengan posisi duduk di bawah dan pakaian bernoda—dan senang sekali meringis sambil menunduk.
Selanjutnya secara perlahan-lahan status Mas Tri semakin terkuak: ia belum menikah, belum memiliki rumah—masih menumpang di rumah Si Ibu, dan ‘hanya’ berdagang bensin eceran.
Dalam film Lemantun, Wregas Bhanureja juga cukup matang dalam mengemas apa yang hendak ia ungkapkan. Di satu sesi wawancara, secara terbuka ia mengungkapkan bahwa lemantun atau lemari adalah simbol dari rahim. Rahim yang bukan sekadar tempat ruh ditiup dan janin tumbuh dan kehidupan bermula, tapi yang juga adalah serapan kata Arab; kasih sayang.
Korelasinya menjadi jelas. Sebab lemantun warisan menurut Ibu dibeli ketika ia melahirkan satu per satu anaknya. Menjelang menit akhir, sosok Mas Tri yang meringkuk di dalam lemari warisannya juga dicitrakan seolah-olah bayi yang meringkuk di dalam rahim. Saya benar-benar terpikat dengan klip itu. Seolah-olah saya diajak memahami perasaan Mas Tri yang dicitrakan ‘tidak sukses’ dibanding anak-anak yang lain. Tidak sukses, tentu saja, menurut ukuran materi.
Dalam ukuran lain (yang dicitrakan di akhir film) barangkali Mas Tri jauh lebih sukses. Pada klip inilah Lemantun berhasil membuat saya merenung berkali-kali. Ketika membuat catatan ini, sesekali saya berhenti, dan merenung. Saat di kamar mandi menggosok gigi, ada momen di mana saya harus berhenti sejenak, dan merenung. Saat di kamar dan sedang asyik memikirkan hal-hal remeh, saya kembali merenung.
Saya selalu membayangkan sosok Mas Tri muncul di depan saya, lengkap dengan pakaian bernoda, tubuh kurus, dan pembawaan gemar meringis-nya. Kemudian sosok itu tersenyum plong ke arah saya, seolah-olah hendak mengatakan sesuatu, seolah-olah seperti manusia yang baru saja diganjar by pass ke surga.
Di banyak tempat di dunia ini (saya yakin sebetulnya) barangkali sosok seperti Mas Tri itu banyak sekali. Yang kerja-kerjanya ‘tak dianggap’ sebab masyarakat telanjur memiliki standar materi sebagai patokan pertama, bukan yang lain, bukan kasih dan bakti. Hormat saya untuk sosok-sosok seperti Mas Tri di mana pun mereka berada.
Haryo Pamungkas, Mahasiswa FEB Universitas Negeri Jember